Bencana, Mitigasi, dan Keseharian Kita

Kolom

Bencana, Mitigasi, dan Keseharian Kita

Fitri Wijayanti - detikNews
Senin, 07 Jan 2019 13:30 WIB
Foto: Antara
Jakarta - Keindahan bukit dan gunung yang menjulang tinggi menghias langit. Pantai yang berbibir pasir putih dan berselimutkan dua gelombang Samudera Pasifik-Hindia serta angin yang berembus lirih dari dua benua Asia dan Australia. Segala keindahan itu tercipta karena kita berada pada jalur cincin api dunia atau yang lebih dikenal dengan ring of fire, sebuah jalur tempat dan berkembangnya gunung api yang juga berhimpitan dengan jalur gempa bumi teraktif di dunia. Di balik kekayaan dan keindahan itu, terdapat pula potensi bencana letusan gunung api, gempa bumi, tsunami, dan longsor yang datang kapan saja.

Kita memang ditakdirkan tinggal di negeri yang indah dan kaya raya sekaligus potensi bencananya yang siap datang setiap saat. Tapi sayangnya, dari awal kita telah mengetahui potensi bencana alam datang setiap saat, mitigasi bencana masih tambal sulam. Dalam mengarungi tahun 2019 yang diprediksi bencana akan selalu menyapa kita, maka penguatan mitigasi bencana harus dilakukan agar tak kembali mengulangi kesalahan yang sama. Penguatan mitigasi bencana tak hanya dalam aspek strategis yang melulu didominasi pemerintah, tapi kita sebagai warga negara yang berkeadaban juga bisa melakukan mitigasi bencana secara taktis dalam keseharian hidup kita.

Perjalanan sejarah telah membuktikan pada kita bahwa bencana geologi yang menimpa Indonesia tak hanya bersifat nasional, tapi juga bersifat global. Meletusnya Gunung Tambora di Pulau Sumbawa abad ke-19 (tahun 1815) telah menghancurkan alam sekitar dan berdampak terhadap beberapa negara di Eropa yang berakibat kelaparan. Di pengujung abad yang sama, tepatnya tahun 1883, Indonesia dan bahkan dunia dikejutkan dengan meletusnya Gunung Krakatau yang debunya melanglang buana ke seantero dunia yang diiringi dengan bencana tsunami hingga merenggut 36.000 korban jiwa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Secara ekologis dan historis, tak ada alasan untuk tak memperkuat mitigasi bencana. Tapi, kebijakan strategis untuk memperkuat mitigasi bencana memang belum berjalan maksimal. Pengurangan risiko bencana sejak dini, mulai dari proses edukasi bencana yang intens pada masyarakat, membangun rumah yang tahan bencana, pendeteksi dini terjadinya tsunami dan gempa belum sepenuhnya optimal.

Yang paling miris, Indonesia belum memiliki sistem peringatan dini tsunami yang disebabkan longsor bawah laut dan erupsi gunung api. Yang ada saat ini sistem peringatan dini yang dibangkitkan gempa. Di samping itu, sejak 2012, Indonesia sudah tidak punya buoy --alat pendeteksi ketinggian muka air sehingga tsunami akibat gempa vulkanik tak bisa dideteksi seperti yang terjadi di Banten. Itulah yang mengakibatkan korban bencana bukan tambah menyusut, tapi justru bertambah. Kita telah melakukan kesalahan secara berulang-ulang.

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), bencana sepanjang 2018 menyebabkan 3.349 orang meninggal, 1.432 orang hilang, 21.064 orang luka-luka, dan 10,2 juta orang mengungsi. Sepanjang 2017 peristiwa bencana 'hanya' menyebabkan 309 meninggal, 69 orang hilang, 1.200 luka-luka, dan 3,6 juta warga mengungsi. Korban meninggal dunia naik karena gempa di Lombok, tsunami dan likuifaksi di Sulawesi Tengah, serta tsunami Selat Sunda menyebabkan kenaikan dampak korban bencana.

Dari beberapa tragedi itu yang paling menyedihkan adalah bagaimana telatnya pemerintah memberi peringatan tsunami karena tak ada alat hingga kesalahan mencabut peringatan tsunami yang terlalu cepat. Kematian memang takdir Tuhan yang tak bisa ditawar, tapi upaya saintifik adalah kewajiban setiap manusia untuk menekan korban bencana akibat kelalaian manusia.

Anggaran Kebencanaan

Menurut Kartono Tjandra (Empat Bencana Geologi yang Paling Mematikan, 2017), Indonesia harus memperkuat mitigasi bencana secara kontinyu dengan ragam cara; mulai dari membuat peta zona rawah gempa bumi yang di-update setiap lima tahun, membuat standarisasi bangunan tahan gempa yang direkomendasikan oleh para ahli, menggalakkan sosialisasi tentang kegempaan dan bahaya gempa bumi, mengadakan pelatihan penanggulangan bencana, serta mempertegas bahwa wilayah rawan bencana tidak diperkenankan untuk daerah hunian.

Pemerintah memang harus lebih tanggap dan tegas dalam melakukan edukasi kebencanaan terhadap masyarakat demi mengantisipasi timbulnya korban yang lebih besar. Ketika mengedukasi masyarakat, salah satu problemnya adalah ketika mereka berada di wilayah yang rawan bencana sementara untuk pindah tak ada pilihan, maka peringatan dan edukasi hanya didengarkan tapi tak dilakukan sehingga mereka terpaksa tetap tinggal di daerah rawan bencana. Dalam konteks inilah pemerintah bisa lebih tegas tapi juga solutif.

Masalah paling fundamental juga tentang keberpihakan politik anggaran kebencanaan yang masih minim sehingga peralatan yang lengkap dan canggih masih jauh dari lengkap, bahkan beberapa peralatan peringatan tsunami di beberapa daerah sudah tak berfungsi. Minimnya anggaran menjadi penyebab tak dilakukannya peremajaan.

Memang harus diakui anggaran kita masih minim. Tahun 2017, BNPB mengelola anggaran sebesar Rp 839 miliar dari pangajuan awal sebesar Rp 2,19 triliun. Tahun 2018, alokasi APBN untuk BNPB sebesar Rp 749 miliar, dari Rp 2,5 triliun yang diajukan. Tahun 2019, jumlah anggaran BNPB justru mengalami penurunan menjadi Rp 746 miliar rupiah. Ini menunjukkan bahwa para perumus kebijakan kita belum mempunyai kesadaran paradigmatik ihwal kebencanaan. Mereka tak mempunyai rumusan jangka panjang untuk pencegahan dan mitigasi bencana.

Dengan tragedi bencana yang telah merenggut ribuan jiwa pada 2018 lalu, semoga ke depan ada mekanisme politik anggaran yang lebih berpihak pada pencegahan dan mitigasi bencana.

Mengubah Pola Hidup

Pada dasarnya tidak semua bencana alam berangkat dari faktor alam an sich, tapi gaya hidup yang konsumtif dan hedonis menggiring manusia menjadi agresif, rakus, tamak mempercepat terjadinya bencana. Pembabatan hutan, baik untuk jalur pertanian, perkebunan, area permukiman maupun industri dengan cara pembalakan liar maupun pembakaran hutan yang menimbulkan bencana kabut asap. Pengelolaan lahan yang semena-mena, kegiatan industri, kegiatan penambangan yang serakah dan amburadul dapat mempercepat terjadinya bencana alam, khususnya longsor, banjir, perubahan iklim, serta kerusakan lingkungan lainnya.

Untuk itu, di samping kita berharap ada kebijakan strategis dari pemerintah, kita juga butuh langkah taktis dalam keseharian hidup kita untuk mengubah pola hidup yang konsumtif dan hedonis. Kita harus memulai dari diri dan keluarga kita untuk hidup lebih sederhana dalam keseharian. Kita harus mulai mengurangi penggunaan plastik yang berlebihan karena kita termasuk negara penyumbang sampah plastik terbesar nomor dua di dunia setelah Cina. Kita jangan pernah mengubah lahan produktif pertanian untuk dijadikan perumahan atau industri lain, serta ragam sikap keseharian yang menyalahi kodrat alam kita, sebagaimana ungkapan pepatah kuno, "Manusia dapat menaklukkan alam dengan menaati hukum-hukumnya."

Fitri Wijayanti alumnus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads