Teman-Temanku yang Bijaksana
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Jeda

Teman-Temanku yang Bijaksana

Minggu, 06 Jan 2019 12:00 WIB
Mumu Aloha
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Mumu Aloha (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Sebagaimana umumnya orang-orang yang bahagia dan diberkati, aku hanya punya sedikit teman. Namun, yang sedikit itu merupakan orang-orang pilihan. Mereka, yang sedikit itu, adalah orang-orang yang bijaksana.

Menjelang Hari Natal hingga malam pergantian tahun kemarin, aku melewatkan liburan di kota kelahiranku di Solo. Menikmati masa libur akhir tahun dengan "mudik" ke kampung halaman barangkali bukan budaya kita. Tapi, aku menciptakan "tradisi baru" dengan melakukannya dalam beberapa tahun belakangan. Bagaimana pun, libur panjang adalah libur panjang; bisa dinikmati di mana saja dan dimanfaatkan untuk apa saja, tanpa harus "terkungkung" oleh "tradisi" maupun kebiasaan-kebiasaan umum lainnya.

Lagi pula, aku tidak merayakan Natal maupun (malam) tahun baru. Aku hanya ingin liburan, di rumah, berkumpul dengan ibu, kakak, dan keponakanku, bertemu teman-teman dekat yang masih tersisa dari masa lalu, menerima tamu sanak saudara serta teman-teman lainnya yang mendadak kontak dan ingin bertemu, dan melakukan hal-hal lain yang biasa kulakukan ketika aku berada di Solo: bangun siang, sarapan penganan, ngopi, ngobrol sampai menjelang tengah hari, lalu mandi, kemudian jalan-jalan ke Masjid Agung Keraton Surakarta dan sekitarnya, termasuk -tentu saja- PGS-Pusat Grosir Solo (belanja batik) dan Pasar Gede (minum dawet telasih -yang legendaris itu).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di Solo aku suka jalan kaki. Maksudku, memarkir kendaraan di suatu tempat, lalu jalan-jalan ke tempat-tempat di sekitaran yang ingin kukunjungi. Di sekitar Masjid Agung (setelah ikut Salat Duhur berjamaah tentu saja -ehm, benerin sarung!), aku paling suka mampir ke pusat buku dan majalah bekas di bawah pohon beringin di sisi alun-alun, berjalan melintasi gapura penanda kompleks keraton, dan duduk-duduk di sebuah warung di dekat para penjual akik dan keris, tempat lelaki-lelaki tua berkumpul, entah membicarakan apa, tapi tampaknya wajah-wajah mereka begitu sentausa, seolah-olah telah selesai dengan hidupnya, terlepas dari segala beban pikiran dan derita. Begitulah gambaran suasana Solo dari dulu, yang barangkali tidak banyak berubah sejak zaman kunjungan Raden Ajeng Biroe, tokoh dalam novel Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo yang awalnya dimuat sebagai cerita bersambung dalam surat kabar Sinar Hindia pada 1918 sebelum setahun kemudian untuk pertama kalinya diterbitkan dalam bentuk buku.

Bahkan, mungkin juga tidak banyak berubah sejak Kongres Sarekat Islam di Sriwedari pada 3 Maret 1913, yang juga digambarkan dalam novel tersebut. Tapi, apa artinya berubah? Apa artinya tidak banyak berubah?

Pada malam tahun baru, aku keluar rumah untuk melihat suasana. Ada keramaian di sepanjang Jalan Slamet Riyadi -jalan protokol yang membelah kota- dan aku memilih titik di sekitar perempatan dekat Pasar Triwindu -yang legendaris itu, tempat dulu terdapat gedung bioskop yang khusus memutar film-film India, serta toko buku dan alat pramuka "Mardi Rahayu". Toko -juga bioskop- itu sudah tidak ada, tapi kenangan tentangnya masih terus melekat. Dulu, aku mengayuh sepeda "Federal"-ku dari rumah yang terletak di pinggiran utara kota dekat Terminal Bus Tirnonadi (lagi-lagi harus ditambahkan "yang legendaris itu" -sebab, apa sih di Solo yang tidak legendaris?), untuk membeli parafin di toko itu setiap kali akan naik gunung ketika masih sekolah di SMA Negeri 1.

Tanpa sengaja dan tak tersangka-sangka, seseorang memangilku dari sebuah sudut di trotoar jalan. Seorang teman dari masa kuliah dulu. Ia duduk lesehan di atas tikar bersama istrinya, dan aku pun -mau tidak mau- bergabung dengan mereka, dan ikut memesan makanan yang ia pesan, yakni jenang tumpang koyor, sambil menyaksikan keriuhan orang-orang yang duduk di atas aspal jalan yang malam itu diberlakukan "car free night". Mereka menikmati hiburan dari sebuah panggung, dan ada juga komunitas-komunitas kecil yang berkumpul -misalnya pecinta reptil, yang asyik bermain-main dengan ular dan biawak yang mereka bawa.

Setelah berbasi-basi dan obrolan yang ngalor-ngidul dan patah-patah, temanku bertanya, "Apa kesanmu sebagai orang asli Solo yang telah lama di perantauan?"

Aku terdiam untuk beberapa saat. Tak kunjung menemukan jawaban, aku malah teringat puisi Sitor Situmorang yang mengungkapkan perasaannya ketika suatu kali, setelah tiga puluh tahun, kembali ke Paris, dan menuliskan dalam larik bernada retoris: akankah aku ikut latah? -berkata: Paris sudah berubah?

Aku juga teringat puisi Kriapur, penyair asal Solo yang berumur pendek, namun puisi-puisinya bergema panjang. Dalam salah satu puisinya ia melukiskan Solo dalam eksotisme yang selalu identik -dan nyaris menjadi stereotip- setiap kali orang bicara tentang kota ini: ....pohon-pohon bengawan/ tengah malam dingin/ gairah kehidupan tak undur/ manusia seperti patung-patung/ kantuk di kedalaman bunyi gamelan. Kriapur menuliskan puisi itu pada awal dekade 80-an, dan faktanya, apa yang dia gambarkan sampai kini, setiap aku pulang ke Solo, tak pernah benar-benar hilang. Bunyi gamelan, dari sebuah pentas wayang, selalu bisa kau jumpai dengan mudah. Tapi, apakah itu bisa menjadi ukuran untuk -"ikut latah"- mengatakan, bahwa Solo tidak berubah?

Akhirnya, entah jujur atau tidak, akurat atau tidak, bahkan "benar atau tidak", aku menjawab pertanyaan temanku dengan memilih ungkapan yang aman, dengan bibir bergetar penuh keraguan, "Menurutku tidak banyak yang berubah."

Reco alias patung di Gapura Gladak masih ada di tempatnya, menyeringai, hitam, antara lucu dan menakutkan. Orang-orang, para pelancong seperti Raden Ajeng Buroe di masa lalu, berfoto di situ, sehabis belanja batik di PGS atau Pasar Klewer. Tetangga depan rumah mengadakan kebaktian Natal, dengan lagu-lagu pujian rohani yang dikemas dalam irama keroncong -sesuatu yang juga identik dengan Solo. Pemandangan deretan becak-becak menunggu penumpang di depan pertokoan, kereta api yang sesekali melintas di atas rel di tengah kota, juga masih ada.

Aku memotret suasana lengang dan muram di sekitaran Alun-Alun Utara, sehabis makan soto dan ngobrol tentang resolusi tahun baru bersama seorang teman di bawah pohon beringin, dan mengunggahnya di Facebook. Kuberi "caption": kota, hujan menjelang senja, dan perbincangan-perbincangan yang tertunda dan harus diselesaikan. sebelum tahun berlalu dan berganti baru. tapi, apa sebenarnya yang baru?

Seorang teman segera menyahuti dengan komentar: Hidup tetap sama. Pekerjaan sama. Kesedihan sama. Rasa lelah yang sama. Kebahagiaan singkat yang sama juga. Yang baru, barangkali adalah harapan-harapan itu, yang serupa gelembung sabun. Mudah melayang, tapi mudah meletus juga.

Teman yang lain menyusul dengan komentar yang menyiratkan sebuah makna yang berkebalikan dari komentar sebelumnya: semua baru, cuman kita tak pernah bisa mengikutinya aja, karena semua bergerak terlalu lambat.

Jadi, sama atau tidak sama? Berubah atau tidak (banyak) berubah?

Mungkin inilah yang membuatku senang mudik ke Solo pada akhir tahun. Ruang dan waktu seperti mengingatkanku pada satu hal yang sama. Solo dan tahun baru selalu menyiratkan pesan yang sama, berupa pertanyaan: Apa yang berubah? Apa yang tidak berubah? Apakah memang harus berubah? Memangnya kenapa kalau tidak berubah?

Aku beruntung punya teman-teman yang bijaksana. Komentar mereka, yang kontras itu, membantuku menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis itu.

Maka, jika nasihat masih perlu, pada awal tahun yang baru ini aku ingin menasihati diriku sendiri: pulanglah lebih sering ke kota kelahiranmu, untuk melihat apa yang masih ada di sana dan tak pernah berubah. Ini penting sebagai pencerahan di zaman ketika kita hidup dalam dunia yang sungguh dahsyat menyajikan ilusi tentang perubahan, kecepatan, dan berbagai kepalsuan lainnya yang tiada ampun.

Temanku yang bilang bahwa hidup tetap sama, dengan kesedihan dan rasa lelah yang sama serta kebahagiaan singkat yang sama, dia benar. Begitu pula temanku satunya yang bilang bahwa semua baru, hanya kita tak selalu punya kemampuan untuk mengikutinya, atau bahkan mungkin sekadar menyadarinya, dia juga benar. Kita memang hidup dalam dunia antara, dunia yang serba abu-abu, dunia yang tak lagi bisa dimaknai dengan definisi-definisi tunggal yang pasti.

Setiap orang adalah pemegang kebenaran, punya kuasa untuk bersuara lantang, dan hanya mau mendengarkan dan menerima apa yang ingin mereka dengar dan terima. Tak ada apa-apa lagi di luar sana, selain diri mereka sendiri, dengan segala kemauan mereka.

Melihat banyak hal tidak berubah, masih ada di tempatnya masing-masing sejak bertahun-tahun yang lalu, di tengah hidup yang selalu minta dijalani dengan ketergesaan, minta perhatian lebih, rasanya memberi setitik harapan bahwa selalu ada realitas lain, sisi mata uang yang lain, yang perlu kita tengok, untuk memberikan keseimbangan pada perspektif kita, pada cara kita memandang dan menyikapi hidup ini.

Ibuku yang tak tersentuh teknologi dan tak pernah pergi ke mana-mana, para pedagang pasar yang menjajakan buah nangka dan jeruk nipis pukul dua belas malam (siapa yang beli, coba? -demikian kita pasti bertanya-tanya) di pinggir jalan depan Pasar Legi (ya benar, yang lengendaris itu) ketika kau melintas pulang malam dari duduk-duduk menikmati wedangan, dan sekian deret keping-keping realitas yang tetap sama dari waktu ke waktu, tak pernah gagal memberikan tatapan lain, cermin bening yang memantulkan bayangan kesadaran bahwa hidup ini masih cukup berharga untuk dijalani, karena ternyata ada yang "abadi" di balik timbunan waktu yang terus berlalu, menggulung kita dalam buih-buih ilusi yang datang dan pergi, silih berganti tak henti-henti, dan tak pernah benar-benar sempat terpahami. Di sinilah, kita bisa melihat sisi lain, dan menemukan bahwa tidak semuanya tentang keriuhan media sosial yang memuakkan, tidak semuanya tentang orang-orang yang berjalan tergesa-gesa sambil melihat layar gadget (dan masuk ke lift tanpa menunggu orang yang di dalam keluar terlebih dahulu).

Tidak semuanya tentang kebencian, kebohongan, kebodohan, kekonyolan yang terus-menerus diumbar tanpa rasa malu, tanpa martabat, bahkan dengan penuh keagungan.

Tidak semuanya tentang pilpres, agama, dan politik.

Tidak semuanya tentang orang-orang yang selalu membuat kening kita berkerut, geleng-geleng kepala, ingin mengumpat, membanting gelas, sambil dengan tak habis pikir berteriak pada udara yang kosong: Ada apa sih dengan orang-orang ini? Ada apa dengan manusia? Ada apa dengan kehidupan?

Berpalinglah. Lihatlah selalu yang ada di sini. Lupakan sebagian teman-temanmu, dan bertemanlah hanya dengan orang-orang yang bijaksana. Yang tahu harus mengatakan apa padamu, yang setiap perkataannya terasa begitu benar, menghibur dan menenangkan, apapun yang mereka katakan, walaupun saling bertentangan. Agar kau termasuk orang-orang yang bahagia dan diberkati. Seperti aku.

Mumu Aloha wartawan, penulis, editor

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads