"Misdiagnosis" dan "Overdosis" Politisasi Agama
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

"Misdiagnosis" dan "Overdosis" Politisasi Agama

Kamis, 03 Jan 2019 12:03 WIB
Fathor Rahman Jm
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Misdiagnosis dan Overdosis Politisasi Agama
Cawapres Sandiaga Uno dalam sebuah acara (Foto: Timses Prabowo-Sandi)
Jakarta -

Menjelang Natal, cawapres KH. Ma'ruf Amin memberikan ucapan selamat Natal kepada umat Kristiani. Sementara itu, capres Prabowo Subianto ikut merayakan Natal bersama keluarga besarnya yang tersiar melalu akun Twitter keponakannya.

Sikap dan pernyataan Kiai Ma'ruf Amin mendapatkan banyak kritik dan olok-olok dari pendukung Prabowo Subianto dengan menyatakan bahwa Ma'ruf Amin tidak konsisten; dulu ketika di MUI melarang, sekarang justru melakukanya sendiri. Polemik mengenai boleh dan tidaknya umat Islam mengucapkan selamat Natal pun mencuat. Polemik semakin seru dan dramatis lantaran pertaliannya erat dengan politik elektoral 2019.

Tindakan Prabowo Subianto yang ikut merayakan Natal pun tidak luput dari olok-olok para pendukung capres nomor urut 01 Jokowi-Ma'ruf Amin. Mereka menyatakan, muslim yang ikut merayakan ritual agama lain bukan dalam ranah ikhtilaf, melainkan ijmak ulama mengatakan keharamannya. Sehingga, apa yang dilakukan Prabowo adalah fatal, lebih-lebih dia sebagai representasi calon pemimpin yang direkomendasikan oleh Ijtimak Ulama Jilid I dan II.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tidak lama setelah itu, muncul lagi peristiwa yang tidak kalah menghebohkan: Persatuan Dai Aceh menginisiasi tes baca Alquran bagi capres dan cawapres yang pelaksanaannya direncanakan pada 15 Januari mendatang. Kiai Ma'ruf Amin menyanggupi permintaan tes tersebut dengan menyatakan akan mengajak Jokowi, sementara kubu Prabowo-Sandi menolak dengan halus.

Tidak lama berselang, viral video Sandiaga Uno yang sedang berwudu. Caranya aneh, dan dianggap tidak memenuhi syarat dan rukun wudu sebagaimana dalam tuntunan fiqh thaharah. Ini pun jadi bahan tertawaan publik, khususnya pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin. Bagi mereka, hal itu menggelikan dan sulit dipercaya. Bagaimana mungkin Sandiaga yang dikukuhkan sebagai ulama dan dijuluki santri post-Islamisme berwudu saja tidak bisa?

Misdiagnosis

Rentetan peristiwa politik Tanah Air saat ini menunjukkan fenomena malapraktik politisasi agama. Wikipedia mengartikan malapraktik sebagai suatu jenis kelalaian dalam standar profesional yang berlaku umum, dan pelanggaran atas tugas yang menyebabkan seseorang menderita kerugian. Hal ini dilakukan oleh seorang profesional ataupun bawahan, agen atas nama klien atau pasien yang menyebabkan kerugian bagi klien atau pasien.

Malapraktik ini pertama ditunjukkan dengan kesalahan diagnosis oleh pendukung Prabowo-Sandi, khususnya yang tergabung dalam Ijtimak Ulama dan Persaudaraan Alumni 212. Mereka menyerukan ganti presiden dan mendukung Prabowo dengan menyebarkan propaganda bahwa Prabowo adalah pemimpin Islam yang ideal, melindungi Islam, dekat dengan ulama dan umat Islam; rentetan atribusi yang dipertentangkan dengan karakter Jokowi yang digambarkan sebagai pemimpin yang anti Islam, China, bagian dari PKI, anti dan suka mengkriminalisasi ulama, dan seterusnya.

Sungguh propaganda itu telah merugikan tidak hanya Jokowi, tapi juga klien mereka, Prabowo Subianto. Seperti Jokowi, Prabowo adalah seorang muslim yang nasionalis. Selain itu, ini yang menarik, keluarga besar Prabowo banyak yang beragama Kristen dan secara ras, campuran Jawa-China. Dan, pada moment Natal wajar jika dia ikut bergembira merayakan hari kebahagiaan bersama keluarga. Sebenarnya Prabowo adalah tipikal sosok yang mewakili warna khas keindonesiaan yang plural. Dengan begitu, semestinya konten iklan politik bagi Prabowo bukan politisasi agama (Islam), melainkan lebih pada penguatan pada tenunan keindonesiaan yang di dalamnya berisi konsep toleransi, keanekaragaman budaya, agama, ras dan lain sebagainya, kebersamaan, dan kesetaraan di bawah naungan konstitusi NKRI.

Overdosis

Kesalahan diagnosis dan ketidaksinkronan antara pribadi dan iklan capres dan cawapres itu juga ditambah dengan overdosis politisasi agama. Overdosis adalah istilah medis yang menggambarkan kelebihan dosis yang gejala terjadinya adalah keracunan akibat obat yang melebihi ukuran yang bisa diterima oleh tubuh. Dalam konteks overdosis politisasi agama, berlebihannya penggunaan politisi agama dalam propaganda politik sehingga tidak bisa diterima akal sehat. Inilah yang terjadi dalam proses politik menjelang Pilpres 2019.

Semua yang melekat pada diri capres dan cawapres dihubungkan dengan agama (Islam). Hal-hal yang tidak terkait langsung dengan prasyarat presiden kemudian dianggap penting dibincangkan karena bertalian dengan agama, seperti cara salat, wudu, baca Alquran, dan lain sebagainya.

Dalam dunia medis, overdosis obat dapat menyebabkan seseorang mengalami muntah-muntah, diare, pusing hingga kehilangan keseimbangan, sesak napas, kejang, gelisah, kecemasan, dan halusinasi, gangguan penglihatan; kulit, ujung jari, dan bibir tampak kebiruan (sianosis), yang merupakan tanda kekurangan oksigen; dan penurunan kesadaran.

Overdosis politisasi agama dalam tingkat-tingkat tertentu mengakibatkan kondisi-kondisi yang sama-sama mengganggu, dalam hal ini pada sistem berpikir seseorang. Di antara yang paling jelas adalah seseorang dapat mengalami gangguan penglihatan terhadap realitas di hadapannya: apapun yang dilakukan dan diatribusikan pada individu yang didukungnya benar seratus persen, dan sebaliknya apapun yang dilakukan pihak lawan salah total meski secara substantif kedua calon sama.

Kedua, halusinasi. Bentuk nyata dari kondisi ini ialah merasa diri dan kelompoknya selalu dizalimi oleh kelompok lawan. Kesialan-kesialan yang dialami kendatipun merupakan akibat kelalaian dirinya dianggap sebagai bentuk kejahatan yang dilakukan pihak lawan terhadap dirinya.

Ketiga, muntah-muntah. Kondisi ini dapat dilihat dari ujaran-ujaran kebencian dan nyinyir yang seperti muntah para pendukung di media sosial. Ujaran yang berasal dari individu yang sedang mabuk dan apa yang dikeluarkan seperti muntah; sesuatu yang terdesak harus keluar karena kondisi tertentu namun sangat menjijikkan bagi orang-orang yang berseberangan dengannya.

Keempat, kehilangan kesadaran yang menyebabkan inkonsistensi. Overdosis politisasi agama saat ini sangat akut dan menyebabkan, baik pendukung Prabowo-Sandi maupun pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin, kehilangan konsistensi dalam memasarkan calon mereka. Pendukung Jokowi yang awalnya jengah menggunakan isu agama dalam pilpres ini kemudian gandrung menggunakan isu agama begitu mereka mengetahui fakta bahwa kemampuan tata cara ibadah Prabowo dan Sandiaga begitu rendah. Ditambah lagi fakta Prabowo ikut merayakan Natal dan keengganannya dites menjadi imam salat dan membaca Alquran.

Atas fakta itu, kubu Prabowo yang sebelumnya banyak menggunakan isu agama kemudian enggan menggunakannya. Mereka justru beralih pada isu profesionalisme, kerja, dan program kerja pembangunan. Tentu fakta-fakta ini juga membuat tidak nyaman Prabowo-Sandi dan para pendukungnya.

Fenomena politik Tanah Air saat ini memberikan pelajaran yang sangat berharga dan gamblang bahwa penggunaan politisasi agama dalam proses politik sangat tidak mendewasakan dan bahkan dapat merugikan semua pihak, baik kandidat, para pendukung, maupun masyarakat luas. Inkonsistensi narasi para pendukung tentu akan membingungkan bahkan menyesatkan masyarakat luas.

Fathor Rahman Jm dosen Sosiologi Politik Fakultas Syariah IAIN Jember

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads