Misalnya, munculnya pernyataan bahwa capres-cawapres yang didukung ulama yang paling layak dipilih. Dalam hal ini, ulama sebagai pemuka agama dianggap lebih utama dibanding politisi dan agama dianggap lebih penting untuk menjadi pedoman kehidupan dan kematian warga negara agar sejahtera di dunia dan akhirat. Sedangkan, politisi dan politik dianggap hanya sebatas mengurus kehidupan di dunia saja.
Dengan kata lain, ketika agama sebagai panglima, ulama dianggap paling layak menjadi panutan bagi rakyat untuk menentukan pilihan politik. Namun, tentu ada yang bias, karena ulama di negeri ini telanjur "tersebar" di banyak tempat dan tidak semua mendukung kandidat. Misalnya, NU dan Muhammadiyah mengambil sikap netral.
Meski begitu, faktanya dua pasang kandidat yang hendak berlaga di pilpres mengaku sama-sama didukung ulama. Pada titik ini, seharusnya semua pihak yang menghendaki agama sebagai panglima sudah puas, karena siapa pun yang menang pilpres nanti pasti didukung (sebagian) ulama, karena tidak ada kandidat yang tidak didukung ulama.
Lebih konkretnya, siapa pun nanti yang menang pilpres bukan tokoh yang tidak didukung ulama. Didukung di sini artinya dibina atau dibimbing. Cuma, masalahnya tidak semua ulama berkumpul di satu kubu. Maka, seharusnya masalah tersebut sejak sekarang sudah diantisipasi oleh segenap ulama. Misalnya, sejak sekarang sudah ada kesepakatan bahwa siapa pun nanti yang menang pilpres akan didukung semua ulama.
Tanpa kesepakatan tersebut, suhu politik di negeri ini bisa selalu panas karena sesama ulama tidak berada dalam satu kubu atau bahkan saling berhadapan. Ini pun selayaknya diantisipasi sejak dini. Idealnya, karena ulama telanjur "tersebar" di banyak tempat, semua sepakat bahwa sehabis pilpres nanti semua ulama bersatu mendukung yang menang agar bisa membangun bangsa dan negara selanjutnya menuju kebahagiaan dan kesejahteraan dunia akhirat.
Sudah Menang
Layak diakui, sejak dua pasang kandidat terbukti sama-sama mengaku didukung ulama, memperjuangkan agama sebagai panglima sebetulnya sudah menang dan selesai. Pada titik ini, langkah yang lebih layak dilakukan berikutnya adalah menyusun rumus-rumus bagi ulama untuk mengawal dan membina pemenang pilpres agar mampu memimpin pemerintahan yang adil, karena adil adalah substansi pesan agama untuk politik.
Lebih fokus lagi, jika agama dijadikan panglima, pemerintah memang harus adil, karena dengan keadilan akan tercipta kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik. Kalau pun masih ada kemiskinan, keadilan akan membuatnya menjadi lebih baik sehingga yang miskin pun bisa merasa bahagia di negeri sendiri.
Memang, idealnya tak ada lagi yang miskin setelah agama menjadi panglima. Namun, sampai kapan pun dan di mana pun tetap ada yang miskin, karena hal itu merupakan kodrat alam yang tak bisa ubah. Dalam hal ini, agama sudah punya resep menolong yang miskin (bukan menghilangkan kemiskinan) dengan zakat dan sedekah.
Dengan demikian, harus diakui juga, tidak ada agama yang punya resep menghilangkan kemiskinan, karena secara kodrati kemiskinan mustahil bisa dihilangkan. Justru di sinilah peran ulama sebagai penentu terwujudnya agama sebagai panglima layak lebih diimplementasikan untuk menolong yang miskin agar bisa ikut bahagia dunia akhirat.
Sudah Final
Untuk konteks Indonesia, spirit agama sebagai panglima maupun kehendak mengawal dan membina pemimpin agar bisa adil sebetulnya sudah tersurat dan tersirat pada dasar negara. Dalam hal ini, diakui atau tidak diakui, Pancasila dan UUD 1945 sudah final merumuskan agama sebagai panglima untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil dan beradab menuju kebahagiaan dan kesejahteraan dunia akhirat.
Namun, faktanya masih saja selalu muncul isu-isu baru yang mengaburkan finalisasi agama sebagai panglima dengan membenturkan lagi agama dan dasar negara pada lingkaran fantasi tentang kabahagiaan dan kesejahteraan bangsa dan negara.
Misalnya, ada yang berfantasi bahwa rakyat akan bahagia sejahtera dan tidak ada lagi yang miskin jika kandidat tertentu yang menang pilpres. Sebaliknya, jika kandidat tertentu lain yang menang pilpres maka rakyat akan makin miskin dan menderita. Isu-isu demikian selalu memanaskan suhu politik yang kontraproduktif.
Suhu politik makin panas lagi, jika isu tersebut dibumbui hoaks dan fitnah bahwa kandidat tertentu dianggap antiagama dan antiulama. Inilah yang terjadi di negeri ini. Karena itu, semua pihak (khususnya yang menghendaki agama sebagai panglima) sama-sama menolak isu-isu yang bisa memanaskan suhu politik yang kontraproduktif.
Kekerasan Politik
Harus disadari, suhu politik yang selalu panas cenderung destruktif manakala agama dianggap sebagai panglima yang dibenturkan dengan fantasi tersebut di atas. Misalnya, jika suhu politik selalu panas, sementara agama dianggap sebagai panglima yang gagal melenyapkan kemiskinan, kekerasan politik bisa bermunculan atas nama apa saja.
Karena itu, sebelum kekerasan politik menjadi pilihan atas nama apa saja, semua pihak perlu segera merumuskan kesepakatan bersama untuk menolak segala bentuk kekerasan politik. Dalam hal ini, dua pasang kandidat yang hendak berlaga di pilpres dan semua partai dan caleg yang hendak berlaga di pemilu atau pileg layak bersedia menjamin situasi dan kondisi yang bebas dari kekerasan politik.
Begitu pula ulama yang notabene pihak terdepan yang menghendaki agama sebagai panglima layak bersedia menjadi motor gerakan antikekerasan politik dalam bentuk apa pun. Pada titik ini, layak diharapkan NU dan Muhammadiyah dengan netralitasnya bersedia berkolaborasi membentuk forum terbuka dengan mengundang semua ulama dari semua ormas yang ada di negeri ini untuk meneken perjanjian dan kesepakatan menolak kekerasan politik.
Kekerasan politik, atas nama apa pun, apa lagi atas nama agama, sangat mungkin bisa dicegah dengan perjanjian dan kesepakatan bersama. Dalam hal ini, pencegahan harus dianggap paling penting, karena kekerasan politik yang dibiarkan terjadi bisa dengan cepat disusul oleh kekerasan-kekerasan lain sehingga membentuk spiral kekerasan yang terus berputar dan sulit untuk dihentikan.
Sisi Gelap
Spirit agama sebagai panglima, dalam banyak kasus, memiliki sisi gelap yang mengerikan jika tidak ada upaya mencegah kekerasan politik yang masif di kalangan ulama sebagai pemuka agama.
Fakta membuktikan, munculnya kelompok teroris di sejumlah negara yang selalu memilih jalan kekerasan yang mengerikan bisa saja terjadi ketika upaya masif menolak kekerasan tidak diutamakan. Dalam hal ini, kelompok teroris selalu muncul, terutama dari sisi gelap spirit agama sebagai panglima.
Dengan demikian, segenap ulama, terutama yang kini mendukung kandidat yang hendak berlaga di pilpres dan pileg, perlu serius berupaya melenyapkan sisi gelap dari spirit agama sebagai panglima, agar ke depan bangsa dan negara kita tidak dihantui munculnya kelompok teroris yang memilih jalan kekerasan yang mengerikan.
Betapa ideal jika spirit agama sebagai panglima makin dominan di negeri ini tanpa sisi gelap yang mengerikan, karena akan bermuara pada terciptanya kebahagiaan dan kesejahteraan dunia akhirat.
Mungkin masih ada yang khawatir, ketika spirit agama sebagai panglima sudah mantap dan dominan di negeri ini, karena bisa saja akan melahirkan regulasi-regulasi semacam perda syariah yang dianggap tidak sesuai dengan keberagaman bangsa kita. Dalam hal ini, perda syariah yang tidak adil atau diskriminasi tentu bisa direvisi lagi hingga bisa melindungi segenap anak bangsa dengan adil, jika agama betul-betul menjadi panglima, karena substansi agama adalah keadilan yang bisa juga diartikan antidiskriminasi.
Spirit agama sebagai panglima bukan hal yang menakutkan, jika sisi gelapnya dilenyapkan dan semua pihak terutama ulama sama-sama konsisten dan serius mengimplementasikannya dalam kehidupan bersama. Dan, untuk konteks bangsa dan negara kita, spirit agama sebagai panglima sebetulnya sudah final dalam bentuk Pancasila dan UUD 1945. Kalau masih ada yang meributkan dan memperjuangkan agama sebagai panglima, atau menjadikannya sebagai panggung baru untuk menarik massa, pasti hanya untuk kepentingan politik pragmatis belaka.
Manaf Maulana peneliti budaya politik
(mmu/mmu)