Sehat atau tidaknya sebuah partai politik (parpol) dapat dilihat dari agenda politik yang dibawanya. Agenda politik bagi parpol adalah penanda yang wajib, tidak bisa tidak. Karena, untuk apa memilih parpol jika tidak memiliki agenda atau misi politik jika mereka berkuasa?
Jika setiap parpol mempunyai agenda politik yang jelas, maka akan jelas pula pertarungan atau persekongkolannya di parlemen dan pemerintahan. Dan, ini bagus bagi perjalanan demokrasi di Indonesia. Akan ada pertarungan ide dan gagasan, saling dukung maupun tolak-menolak. Bukan sekadar politik transaksional yang berujung pada "siapa dapat apa dan berapa dapatnya" yang semuanya bermuara pada satu tujuan yang sama, yakni sumber dana.
Salah satu contoh agenda politik yang jelas adalah ketika Donald Trump bersama Partai Republik mengkampanyekan penolakan terhadap imigran, khususnya yang berasal dari negara-negara muslim. Tidak hanya itu, kerap kali pernyataan-pernyataan Trump terlihat sangat "kulit putih-sentris". Kita boleh tak sependapat dengan konten agenda politik Donald Trump yang rasis, namun kita sadar bahwa Trump bersama Partai Republik telah berani menunjukkan agenda politiknya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kelak, jika ada masyarakat yang bertanya, "Apa yang akan kalian lakukan jika berada di Senayan?", baik PKS maupun PSI setidaknya sudah punya jawaban. Walaupun itu masih kelewat mengkal dan sporadis.
Agenda politik yang melekat pada parpol ini sangat penting bagi masyarakat yang menjadi konstituen. Jika nanti digelar pemilu, masyarakat sudah bisa memilih dan membedakan mana menu hidangan yang cocok dengan seleranya. Semisal, Partai A dengan sederet agenda dan partai B dengan agenda yang yang berbeda pula. Tidak kabur sebagaimana yang kita rasakan saat ini, di mana baik partai Islam maupun partai Nasionais tidak mempunyai perbedaan yang mencolok dalam agenda poltiknya.
Dilema Merebut Suara
Untuk mempertahankan eksistensinya, parpol tentu sangat memperhatikan perolehan suara yang didapatnya pada setiap kali pergelaran pemilu. Hal ini agar ia dapat meloloskan perwakilannya di DPR dengan mencapai ambang batas parlemen (parlementary threshold) yang saat ini mencapai empat persen. Ini dilema. Seringkali, agenda politik yang ditawarkan parpol tidak lepas dari dilema untuk merebut suara ini. Di satu sisi parpol mempunyai agenda politik hasil dari perasan ideologinya, namun di sisi yang lain juga dihadapkan pada keharusan untuk merebut suara pemilih. Tak jarang, karena alasan pragmatis akhirnya parpol membuat agenda politik yang sesuai dengan selera pasar. Walaupun itu bertentangan dengan ideologinya, bisa dikompromikan. Seperti misalnya Donald Trump pada pemilihan presiden beberapa waktu yang lalu.
Dalam bukunya Every Body Lies: Big Data, New Data and What The Internet Reveals About Who We Really Are Seth Stephens yang merupakan mantan ilmuan Google mengatakan bahwa pada malam pertama sesudah Presiden Obama terpilih pada 2008, sekitar satu di antara seratus pencarian di mesin Google menyertakan kata "Obama" dengan kata "kkk" atau "nigger".
Baik "kkk" ataupun "nigger" adalah lelucon rap yang biasa dinyanyikan untuk mengejek warga Amerika keturunan Afrika dan pastinya berkulit hitam. Bahkan menurutnya di beberapa negara bagian, pencarian di mesin Google saat itu lebih banyak tentang "nigger president" daripada "first black president".
Seth ingin mengatakan bahwa rasisme masih ada di masyarakat Amerika dan jumlahnya besar. Ia berpendapat, faktor rasisme ini pulalah yang kemudian beberapa tahun sesudahnya memenangkan Donald Trump. Karena, pencarian-pencarian rasis di daerah-daerah basis Partai Demokrat tidak jauh lebih rendah dibandingkan di tempat-tempat dengan basis pendukung Partai Republik.
Donald Trump walaupun maju dari Partai Republik yang konservatif, namun ia adalah seorang pebisnis. Selama puluhan tahun profesi ini ia jalani. Bahkan dalam kehidupan sehari-seharinya --seperti menikahi wanita penghibur-- cenderung lebih liberal daripada konservatif. Lantas, apa yang menyebabkan Donald Trump melancarkan kampanye yang begitu kentara konservatismenya?
Untuk menjawab ini, Seth mengatakan, "Ada kegelapan dan kebencian yang tersembunyi dari sumber-sumber tradisional, tapi cukup jelas terlihat dalam pencarian-pencarian (di Google) yang dilakukan orang." Menurut Seth, walaupun Obama terpilih sebagai presiden pertama yang berkulit hitam tapi tidak semua orang suka dan rasisme ini tersembunyi selama puluhan tahun. Apalagi di kemudian hari, kebijakan Obama cenderung longgar terhadap muslim dan negara-negara muslim.
Perasaan inilah kemudian yang disasar oleh Trump dalam kampanye-kampanyenya. Meskipun Trump dihujat oleh dunia, ia tidak peduli, kampanyenya tetap berlanjut. Karena ia sadar bahwa hal inilah yang diinginkan oleh sebagian besar publik Amerika, dan ini ternyata sukses menggulung calon dari Partai Demokrat yang dua periode sebelumnya mempecundangi wakil dari Republik.
Lalu, bagaimana dengan agenda politik PKS dan PSI? Apakah agenda politik seperti penghapusan pajak bermotor dan penolakan terhadap perda Syariah-Injil ini (kemudian) menjadi keinginan terpendam masyarakat Indonesia atau tidak? Waktulah yang akan menjawabnya. Namun, dengan semakin canggihnya teknologi seperti Big Data, besar kemungkinan hal ini bisa diprediksi. Karena, seperti yang dikatakan oleh Seth mengenai kecenderungan orang lain bahwa "semua orang dapat berbohong, namun Big Data dapat mengungkapkan siapa kita sesungguhnya."
Ali Hasibuan Pascasarjana UIN Jakarta
(mmu/mmu)











































