Mulai sekarang, belajarlah mengaji. Pilihlah guru terbaik yang sabar dan setia mengajarimu untuk melafalkan Al Fatihah dengan sangat fasih. Dan, mengajari tata cara berwudu dengan baik dan benar sesuai mahdzab Imam Syafi'i, Imam Maliki, Imam Hanafi, dan Imam Hambali. Lalu, Andalah yang akan menentukan memilih mahdzab yang mana. Sesudah itu, sempurnakan lagi tata cara salat. Siapa tahu, kelak sewaktu mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden, Anda harus mengikuti uji publik yang serupa saat ini.
Ya, mengikuti pemberitaan tanpa henti tentang bagaimana kemampuan beragama dijadikan isu utama dalam pencapresan dan pencawapresan, resolusi ingin menjadi presiden atau wakilnya tak bisa lagi mengandalkan kemampuan berbangsa dan bernegara dengan baik. Hafal Pancasila tak cukup untuk dijadikan modal. Untuk jadi umara, kini ada syarat tambahan: harus terlebih dulu menjadi ulama. Atau, setidaknya, harus memiliki dukungan yang sangat kuat dari ulama. Atau, tak boleh melepaskan diri dari simbol-simbol agama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dulu, pada zaman Bachruddin Jusuf Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono tidak ada tes membaca Al Qur'an bagi calon presiden. Kini, ada! Agama beserta kemampuan kita beragama telah dijadikan makna tunggal bagi Ketuhanan Yang Maha Esa. Lisan yang medok berbahasa daerah tak bisa diajukan sebagai alibi tak fasih mengucap ayat suci. Sebaliknya, pengakuan tak cakap membaca kitab suci dan tidak kompeten jadi imam salat juga dianggap sebagai dalih.
Sekarang makin repot saja mempunyai resolusi untuk menjadi presiden di Indonesia. Memang, Jokowi sempat membawa angin segar betapa seorang tukang kayu bisa menjadi orang nomor satu di sini. Prabowo pun membawa angin segar betapa seorang jenderal dengan masa lalu yang kontroversial, yakni diberhentikan atas tuduhan terlibat kasus pelanggaran hak asasi manusia, bisa berulangkali maju sebagai calon presiden. Kini, angin segar itu berubah menjadi hawa panas sejak munculnya syarat keislaman yang kaffah.
Syarat tersebut memang tidak tertulis legal di lembaran negara. Sebab, kita sendirilah yang menuliskannya dalam pandangan publik. Kita yang menetapkan syarat agamis, religius, dan spiritual itu ke dalam kesadaran bersama. Jika tidak bisa memenuhi satu hal saja, semisal tak tahu tata krama ziarah kubur dengan baik dan benar, terutama ke makam ulama, kita sepakat untuk berlama-lama merundung calon presiden atau wakil presiden itu. Bahkan, tanpa ampun, langsung saja kita bubuhkan catatan hitam.
Pada mulanya, saya membayangkan, seorang pemimpin nasional ialah seseorang yang paling tinggi rasa nasionalismenya. Seseorang yang berdiri paling depan membela kebinekaan kita yang tunggal ika. Pemegang pucuk komando pelaksanaan Pancasila sebagai asas bangsa ini. Juga seseorang yang menunjukkan kepada kita, sekaligus meneladani kita, cara menjadi pribadi Indonesia yang paripurna. Berpedoman pada keluhuran budaya Nusantara, mengimani Tuhan Yang Maha Esa, dan indah dalam beragama.
Ternyata saya keliru. Ternyata, untuk menjadi presiden dan wakilnya, seseorang harus lekas berhenti menjadi dirinya sendiri dan memulai perubahan untuk menjadi orang lain. Yang tak terbiasa berziarah kemudian harus mulai ikut-ikutan berziarah, bahkan menjadi penentu tren. Yang tidak biasa mengimami salat berjamaah harus mulai berani tampil di depan untuk jadi penentu sah atau tidaknya persembahyangan pada Allah. Pun yang tidak fasih membaca ayat suci bahkan harus mulai menghapal surat pendek.
Banyak yang menentang gagasan mengubah bentuk negara ini menjadi kekhalifahan, namun ternyata banyak pula yang sepakat menjadikan kealiman dan kesalehan sebagai syarat utama bagi calon pemimpin negara. Padahal, agama sesungguhnya ringan dan meringankan. Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Rasulullah SAW diutus terutama untuk menyempurnakan akhlak mulia dan menjadi rahmatan lil 'alamin. Tapi, kita sendirilah yang perlahan-lahan sedang mengubah negara bangsa ini menjadi negara agama.
Sekali lagi, selamat Tahun Baru 2019. Selamat memasuki tahun politik yang terus memanas dan menjadikan agama sebagai tema besar. Ya, tidak ada yang keliru menjadi muslim yang alim dan saleh. Maaf, sekadar mengingatkan, Nabi SAW pernah berpetuah, ada perang yang lebih besar dari Perang Badar, yakni perang melawan hawa nafsu. Tentu, ada pula perang yang lebih besar dari perebutan kekuasaan, yaitu perang melawan syahwat politik. Mari saling mengingatkan untuk tetap menjadi diri sendiri. Mari jaga Indonesia.
Candra Malik budayawan sufi
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini