Bocah sembilan tahun itu meramu cerita yang menegasi antara di luar atau di dalam (rumah) dalam kasus liburan. Kenyataan dalam cerita mencukupkan si aku melewatkan Minggu sebagai representasi waktu libur global. Si aku cukup gembira berperistiwa memasak bersama ibu. Namun, begitu tidur dijelang, mimpi justru hampir menggagalkan liburan yang cukup berada di rumah.
Kita tidak pernah dibiarkan benar-benar melewatkan waktu libur hanya berada di rumah. Bahkan untuk pengalaman sederhana yang paling sering diceritakan, rumah nenek lebih sah jadi rujukan berlibur. Rumah nenek secara simbolik menguatkan jarak yang akan menciptakan peristiwa seseorang telah berpindah dari rumah dan mengalami hal-hal yang bisa dilakukan hanya ketika waktu libur tiba.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menjelang liburan akhir tahun ini, kita diberi pilihan, diajak berlibur di rumah, entah dengan narasi kesadaran sejarah, atau sekadar tren berwisata.
Harian Solopos edisi 13 Desember 2018 mengabarkan bahwa rumah dinas wali kota Solo atau Loji Gandrung akan dibuka 24 jam sebagai ruang publik sekaligus destinasi cagar budaya di Kota Solo. Muatan kunci hadir di kamar tidur tamu di ruang utama yang pernah jadi persinggahan Presiden Sukarno saat mengunjungi Kota Solo.
Wali Kota Solo F.X. Hadi Rudyatmo bahkan berencana memberi julukan Rumah Bung Karno untuk Loji Gandrung. Pemerintah kota tidak ingin membiarkan sejarah hanya tinggal di masa lampau. Meski secara teknis Sukarno hanya singgah, hal itu sepertinya sah membuat mutu bangunan dianggap sebagai cagar budaya.
Di kota, orang tidak lagi merasa diajak menapaki kota yang modern dan maju, tapi kembali pada masa kelawasan yang bisa dipamerkan, seperti melihat keganasan atau keliaran yang dikurung di kebun binatang. Dengan alasan sejarah atau kearifan adat, rumah menawarkan semacam kehidupan yang pernah ada, dialami oleh para tokoh penting kebangsaan.
Tahun lalu, saya bersama 4 teman penulis Bilik Literasi sempat mampir ke rumah pengasingan Bung Karno di Bengkulu. Waktu, secara tidak langsung, memetakan persepsi bahwa saya tidak lagi mampir hanya di rumah biasa saja. Dengan tata kelola, pemugaran, peresmian, atau bahkan hal teknis penambahan taman tertata di sekitar atau sebentuk plakat di gerbang masuk, rumah tersebut menjadi wahana wisata publik untuk melihat-lihat atau sekadar mengenang.
Kita dihadapkan pada ruang kerja penuh buku-buku tua dalam lemari, sepeda, ranjang, meja, kursi, baju-baju untuk pentas seni, dan lain-lain. Begitu melihat hal-hal bersejarah itu, kita seolah dibawa untuk ikut merasakan, salah satunya, betapa terluka Ibu Inggit saat tahu Sukarno mencintai perempuan lain.
Namun, rumah itu sudah sangat berbeda, tidak seperti dalam foto yang bisa kita temukan di buku Bung Karno, Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (Cindy Adams, 1966). Bangunan memang ada dan lestari meski banyak pelengkap wisata mutakhir yang membikin "hambar".
Heritage
Kini, kita memasuki masa serba berlabel "heritage". Rumah, gedung bank, permukiman, pabrik, semakin digarap serius untuk tetap lestari.
Berdirinya banyak rumah dan juga bangunan bersejarah lain untuk sampai atau selesai pada masa kini jelas harus mengingatkan kita pada jangkar arsitektur yang bergeliat sejak abad ke-19. Para arsitek ingin menciptakan "gaya kolonial" sebagai representasi kemewahan yang turut mempengaruhi gaya arsitektur masyarakat setempat, di antaranya penggunaan kerangka dari besi cor atau kaca patri. Para pejabat pribumi biasa meniru gaya bangunan para pejabat kolonial (Denys Lombard, 2018).
Pada awal abad ke-20, banyak kawasan hunian Eropa, kantor, toko-toko, dan bangunan umum dibangun oleh daya cipta para arsitek. Hal itu masih menyisakan warisan mencengangkan bahwa gaya kolonial selalu menginginkan keserbamegahan dan keraksasaan. Bangunan serba kolonial justru semakin diterima daripada ditolak, meski tidak lagi dalam pengertian pembaratan. Semakin tinggalan lama dilestarikan, kesan-kesan nasionalistik serta kelokalan makin diciptakan.
Pada masa Orde Baru, wisata serba heritage sepertinya belum begitu heboh. Di buku Parasamya Purnakarya Nugraha (1979) yang dikeluarkan oleh Biro Hubungan Masyarakat Departemen Dalam Negeri sebagai Laporan Repelita II Jawa Tengah, seruan pariwisata lebih banyak ditujukan ke tempat-tempat kolektif. Tempat-tempat itu tidak mengklaim satu orang sebagai pihak yang paling melekat secara simbolik, seperti Masjid Agung Demak, Candi Sukuh, Istana Mangkunegaran, Pantai Karangbolong, Museum Kereta Api, atau Rawa Pening.
Untuk makam, memang ada pengecualian bahwa memang merujuk pada satu nama yang disakralkan dan dikuduskan. Namun, makam secara umum lebih menempatkan pada wilayah transendental terlepas dari material yang mewakili. Sedangkan di (bangunan) rumah, kita harus terikat pada hal-hal yang hidup. Setiap benda memiliki peristiwa yang tidak mudah dikalahkan waktu. Di tempat seperti ini, sekalipun ramai, secara psikologis kita diheningkan pada satu sosok yang pernah menghuni.
Bagi orang Indonesia, wisata dalam keheningan barangkali masih tetap terasa asing. Setiap ke rumah, kita selalu ingin membawa pengenangan kembali pada biografi, identitas, atau muasal. Ada emosionalitas (milik orang) lain yang ingin turut termiliki. Pengalihfungsian rumah dinas misalnya, seperti ingin mencapai tataran rasa daripada fungsi administratif-birokratif. Bukankah seseorang selalu ingin menghuni rumah dan kembali ke rumah?
Setyaningsih esais dan penulis cerita anak
(mmu/mmu)











































