Yang "Tercecer" di Atas Aspal Tol Trans Jawa
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Yang "Tercecer" di Atas Aspal Tol Trans Jawa

Rabu, 26 Des 2018 15:52 WIB
Munib Ansori
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Yang Tercecer di Atas Aspal Tol Trans Jawa
Bagian dari jalan Tol Trans Jawa yang diresmikan Presiden Jokowi, Kamis (20/12)
Jakarta -

Lintasan sepanjang Merak hingga Pasuruan kini telah terajut oleh aspal jalan tol, membelah Pulau Jawa tanpa putus seinci pun. Trayek bebas hambatan sejauh 933 kilometer ini menjadi bagian utama tol Trans Jawa yang dirancang membentang dari Merak hingga Banyuwangi, dengan total jarak 1.150 km. Diresmikan Presiden Jokowi, Kamis (20/12), ruas Jakarta-Surabaya sepanjang 760 km saat ini dapat ditempuh hanya dalam 10 jam saja, jauh lebih ringkas daripada sebelumnya yang memakan waktu 15-18 jam perjalanan.

Kendati penuh catatan di sana-sini, talenta Jokowi dalam pembangunan infrastruktur rasa-rasanya memang sulit diingkari. Sebagai perbandingan, pada periode 2005-2014 atau 9 tahun, pembangunan tol di tanah Jawa cuma terealisasi 75 km. Namun, hanya dalam tempo 3 tahun Kabinet Kerja, yakni pada periode 2015-2018, bagian dari tol Trans Jawa yang tuntas dibangun mencapai 616 km.

Betapa pun pujian mengalir deras kepada petahana, refleksi atas terhubungnya Jawa dengan jalan tol malah kerapkali "tercecer". Lupa diucapkan saat gunting pita. Yang deras mengemuka justru parade data kuantitatif semata, terkait seberapa panjang lintasan yang sukses dibangun. Bahkan, narasi pembangunan jalan tol lebih menggema sebagai rangkaian pasir, semen, dan baja yang saling terhubung.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Padahal, jika mau lebih saksama memeriksa makna substantif di balik beton infrastruktur, maka sangat mungkin kita akan terkesima. Pasalnya, hitam pekat aspal di sepanjang tol Trans Jawa begitu lugas mengisahkan tentang konektivitas sistem logistik. Juga, meriwayatkan migrasi industri di kawasan pantura. Pun, dapat menceritakan tentang peradaban baru transportasi di Pulau Jawa.

Terkait dengan konektivitas logistik, entah sudah berapa lama Indonesia dibelenggu ekonomi biaya tinggi. Pangkal soalnya adalah mahalnya ongkos distribusi yang memicu inefisiensi mesin perekonomian. Inefisiensi itu pula yang selama ini menjadi "genderuwo" ekonomi domestik. Akibatnya, produk nasional tidak kompetitif. Ibarat kompetisi sepak bola, barang dan jasa produksi Indonesia sudah langganan keok di kandang lawan dan lumrah dipermalukan di kandang sendiri.

Karenanya, dalam obrolan warung kopi, ekonomi Indonesia acap diledek sebagai "ekonomi pemandu sorak". Sebuah istilah untuk menggambarkan ringkihnya daya saing produk lokal. Sebab itu, narasi tol Trans Jawa sungguh gamblang apabila dibaca sebagai instrumen melucuti kutukan ekonomi biaya tinggi. Kehadiran tol ini akan memangkas durasi transportasi, mengoreksi biaya produksi. Walhasil, harga barang dan jasa bakal melandai.

Jawa adalah Kunci

Merujuk pada teori insentif, infrastruktur --termasuk jalan tol-- adalah stimulus paling diminati dunia usaha. Sehingga, beroperasinya tol yang menjadi impian sejak 20 tahun silam tersebut bakal turut mengantarkan transformasi industri. Menggeser sektor padat karya dan manufaktur besar dari Jawa Barat bagian utara ke arah sepanjang Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur.

Karena sektor riil menggeliat lebih dinamis, maka perekonomian Jawa lekas hijrah menuju pemerataan antarwilayah. Industri dan lapangan kerja yang tercipta menjadi tak lagi sentralistis. Pada gilirannya, label kue ekonomi hanya dinikmati wilayah kota satelit ibukota (Jabodetabek) perlahan terpatahkah.

Sementara, berkaitan dengan investasi, selama ini penanaman modal selalu terganjal infrastruktur tak memadai. Maka, megaproyek yang disebut setara dengan tol di Jerman ini akan menjadi salah satu instrumen pemikat investasi. Jawa bisa jadi akan segera "mandi uang". Lewat guyuran modal itu, mesin pertumbuhan bakal semakin kencang berputar, dengan roda-roda yang kian kokoh.

Apalagi, tambah tipisnya jarak intra Jawa bermakna efisiensi pergerakan warga negara. Dalam jangka pendek, kemacetan saat liburan Natal, Tahun Baru, dan mudik Lebaran diharapkan dapat terurai. Adapun dalam jangka panjang, kelas menengah yang hobi pelesir itu bakal lebih mudah mengakses objek pariwisata. Implikasinya, destinasi wisata prioritas seperti Borobudur, Bromo, Tengger, dan Semeru berpotensi banjir turis.

Dengan demikian, pemahaman kunci dari seluruh narasi di atas adalah transformasi menuju ekonomi produktif, adil, dan berkelanjutan. Lebih-lebih, patut diingat, dalam struktur perekonomian Indonesia, Jawa adalah kunci. Efek domino tol ini akan lebih dahsyat ketimbang jalur Anyer-Panarukan yang digagas HW Deandels tahun 1808. Di situlah sesungguhnya duduk perkara tol Trans Jawa.

Beban Fiskal

Sudah lebih dari 20 tahun Indonesia absen dari pembangunan secara masif. Nyaris dua dekade,negeri ini terlalu bising mengeluhkan ekonomi biaya tinggi, tapi nihil solusi. Sudah terlampau lama bangsa ini asyik bersenda gurau soal produktivitas. Akibatnya, indeks infrastruktur ambrol, daya saing ekonomi menjadi kurang bertenaga.

Tol Trans Jawa diharapkan menjadi salah satu instrumen untuk menyudahi problem kronis tersebut. Meskipun, demi mengakselerasi infrastruktur tol, pemerintahan mesti memikul beban fiskal (baca: utang) yang tak pernah ringan. Begitu pula sejumlah BUMN Karya yang mengerjakan proyek. Belum lagi, risiko lain berupa tingginya impor barang modal yang menguras dolar sehingga memukul kurs rupiah sampai sempoyongan.

Beban tersebut kian berat karena pada setiap pembangunan infrastruktur di dalam dirinya melekat time lag, atau waktu rada panjang untuk merasakan dampaknya. Butuh periode 5-10 tahun untuk memetik "buah" infrastruktur. Hal ini diperkuat dengan kesimpulan sejumlah diskusi para ekonom, bahwa multiplier effect (efek berganda) atau trickle down effect (efek menetes) dari pembangunan infrastruktur tidak sebesar belanja barang dan subsidi.

Itu sebabnya, di alam politik negara berkembang-demokratis yang serba nyinyir ini, kebijakan membangun infrastruktur acap menjadi pilihan sia-sia. Karena hampir pasti, berkah elektoral dari pembangunan itu tak akan langsung menetes ke petahana. Yang akan menikmati justru presiden setelahnya, karena mesin ekonomi masa depan bakal menderu lebih kencang.

Munib Ansori pemerhati kebijakan ekonomi

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads