Semenjak tinggal di Jepang, saya selalu tertarik untuk menjalin komunikasi dengan perusahaan-perusahaan dan institusi yang terkait dengan teknologi tinggi. Selalu ada momen saya ketemu mereka dan akhirnya dilanjutkan dengan berkunjung ke kantornya untuk berdiskusi dan lain-lain. Yang terakhir dan intens saya berkomunikasi adalah dengan NEC (Nippon Electric Corporation). Ini adalah salah satu perusahaan IT raksasa di Jepang.
Sebelumnya saya juga sangat intens menjalin hubungan dengan JFE Engineering, perusahaan konstruksi yang telah membangun lebih dari 600 unit Pembangkit Listrik Tenaga Sampah di Jepang, dari 1000-an unit yang telah ada. Semua dilatarbelakangi keingintahuan saya terkait teknologi apa yang telah mereka capai, dan mana yang bisa ditularkan ke Indonesia.
NEC ini begitu menarik bagi saya, karena mereka adalah pemain yang sudah andal dalam hal pengembangan sistem deteksi dini tsunami berbasis kabel bawah laut serat optik. Dalam hal ini belum ada pemain andal lain selain Jepang, mengingat sejarah tsunami memang berawal dari Jepang. Saat ini juga ada banyak negara yang sudah mengaplikasikan teknologi ini, seperti Taiwan, Peru, dan lain-lainnya.
Di Jepang ada dua institusi yang mengoperasikan sistem ini, yaitu NIED (National Research Institute for Earth Science and Disaster Resilience) dan JMA (Japan Meterorological Agency). Yang dioperasikan oleh NIED namanya adalah DONET (Dense Oceanfloor Network System for Earthquakes and Tsunamis), sedangkan yang dioperasikan oleh JMA adalah S-NET ((Seafloor observation network for earthquakes and tsunamis along the Japan Trench). Baik DONET maupun S-NET konsepnya sama, hanya ada perbedaan sedikit secara teknis --S-NET lebih ditujukan untuk riset di patahan laut dalam yang ada di Jepang (Japan Trench).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baik sistem DONET maupun S-NET bekerja dengan cara memasang sensor untuk mendeteksi pergerakan dasar laut akibat gempa tektonik maupun peristiwa lain. Jenis teknologi ini saya pikir lebih cocok untuk Indonesia, dibandingkan dengan early warning system berbasis buoy yang rawan pencurian. Apalagi Indonesia sedang getol-getolnya membangun jaringan fiber optik Palapa Ring yang salah satunya adalah kabel fiber optik bawah laut.
Teknologi ini bisa diintegrasikan dengan jaringan palapa ring yang akan dikembangkan. Kemungkinan-kemungkinan ini juga sudah saya bahas di sela-sela diskusi saya dengan para pejabat NEC di Tokyo, dan sangat dimungkinkan untuk diintegrasikan, sepanjang perencanaannya dilakukan bersama dari awal, karena terkait sistem DONET maupun S-NET ini harus banyak dibuat hub junction sebagai penghubung ke sensor tsunami. Dengan cara ini, biaya pengembangan sistem deteksi dini tsunami akan sangat bisa dihemat, dibandingkan menggelar kabel bawah laut khusus hanya untuk sistem ini.
Di sela-sela diskusi saya dengan pihak NEC, terjadilah tsunami di Palu dan Donggala. Berita yang saya baca dari Tanah Air bahwa sistem deteksi dini tsunami berbasis buoy tidak berfungsi, salah satu alasannya karena sensor dicuri. Sebenarnya saya sudah hafal dengan cerita pencurian sensor buoy ini mengingat karier saya dulu dimulai sebagai staf Proyek Seawatch Indonesia-BPPT, sebuah program kerja sama pengembangan sistem pemantauan laut berbasis buoy system antara Indonesia dan Norwegia, setelah sebelumnya saya bergabung dalam rangka melakukan penelitian skripsi, kira-kira pada 1996-1999.
Insting saya untuk mengontak pejabat berwenang di Indonesia setelah peristiwa tsunami Palu dan Donggala akhirnya berhasil meyakinkan pejabat NEC Tokyo untuk merapat ke Jakarta, dalam rangka membuka kemungkinan NEC membantu Indonesia mengembangkan Sistem Deteksi Dini Tsunami berbasis kabel bawah laut.
Teknologi deteksi dini tsunami berbasis kabel bawah laut ini juga akan sangat efektif diimplementasikan terkait dengan peristiwa tsunami di Pandeglang dan Lampung yang baru saja terjadi, di mana kuat dugaan penyebabnya adalah longsoran Gunung Anak Krakatau. Sensor yang ditanam di dasar laut sangat dimungkinkan juga untuk ditanam di punggung Gunung Anak Krakatau yang berada di bawah permukaan laut. Sehingga pada saat longsoran terjadi akan sangat mudah dideteksi.
Selain itu, beberapa hari yang lalu saya juga berdiskusi dengan perusahaan JRC, Tokyo yang mengembangkan radar untuk memantau tsunami. Radar tsunami ini juga berpeluang besar untuk diaplikasikan di Indonesia. Instalasi radar tsunami di darat sepertinya akan lebih efisien dibandingkan instalasi sensor di bawah laut.
Tetapi tentu saja setiap sistem ada kekurangan dan kelebihannya. Radar tsunami tentu saja tidak bisa memantau Gunung Anak Krakatau, terutama yang di bawah perairan, mengingat sifat gelombang elektromagnetik yang tidak bisa menembus air. BMKG sepertinya sudah berkomunikasi cukup intens dengan JRC. Saya dengar dari penjelasan JRC, mereka sudah ada rencana memasang pilot project radar tsunami di daerah Purworejo dan Bantul untuk memantau potensi tsunami dari laut selatan Jateng dan DIY.
Ada banyak alternatif teknologi sebenarnya, yang bisa digunakan sebagai sistem deteksi dini tsunami di Indonesia. Teknologi buoy yang sudah dikuasai oleh para engineer di Indonesia (BPPT) juga masih bisa terus dikembangkan. Hanya perlu dibuat sedemikian rupa agar tidak rawan dicuri atau menjadi korban dari vandalisme.
Sistem deteksi dini tsunami berbasis kabel bawah laut yang sudah sangat andal di mana Jepang sudah memiliki 3000-an sensor lebih juga bisa digunakan. Radar tsunami juga dapat menjadi alternatif teknologi. Apapun itu, kita harus cepat berbenah. Dengan peristiwa tsunami Palu-Donggala disusul tsunami Pandeglang-Lampung, semestinya membuat kita tersadar. Rakyat Indonesia merindukan sistem deteksi dini tsunami yang andal, terpelihara, sehingga berfungsi dengan baik.
Joko Widodo bukan presiden, mencintai kemajuan Indonesia, saat ini tinggal di Jepang