Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat pada 2017 telah terjadi 2.175 bencana di Indonesia. Jumlah tersebut terdiri dari banjir (737 kejadian), puting beliung (651 kejadian), tanah longsor (577 kejadian), kebakaran hutan dan lahan (96 kejadian), banjir dan tanah longsor (67 kejadian), kekeringan (19 kejadian), gempa bumi (18 kejadian), gelombang pasang/abrasi (8 kejadian), serta letusan gunung api (2 kejadian).
Dari kejadian tersebut, jumlah korban meninggal mencapai 335 orang, korban luka-luka sebanyak 969 orang, dan korban mengungsi dan menderita sebanyak 3,22 juta orang. Berbagai instrumen regional, nasional, dan internasional dibentuk guna menghadapi peristiwa alam tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Prinsip lain berupa jaminan informasi bagi penduduk, meliputi; pertama, bencana alam dan tingkat bencana yang mereka hadapi; kedua, langkah-langkah mitigasi yang mungkin bisa dilakukan; ketiga, informasi peringatan dini, keempat, informasi terkait dengan bantuan humanitarian dan dukungan recovery.
Jaminan HAM Korban Bencana
Secara yuridis, Indonesia telah membentuk Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sebagai pedoman seperti instrumen internasional penanggulangan bencana di atas. Secara sekilas, UU tersebut seolah telah mengakomodasi jaminan HAM korban bencana alam, tetapi jika ditelisik lebih sistematis, UU tersebut masih memiliki kerancuan.
UU 24/2007 menyebut secara eksplisit bahwa lembaga kemasyarakatan, lembaga usaha, palang merah Indonesia dan lembaga internasional sebagai pelaku penanggulangan bencana di samping pemerintah. Hal ini bisa diinterpretasikan bahwa negara bukanlah satu-satunya pihak yang berwenang dalam penanganan bencana. Konsekuensi dari ini maka negara tidak dapat dimintai pertanggungjawaban apabila terjadi kegagalan dalam proses penanganan bencana. Mekanisme penegakan HAM menjadi hilang sebagai konsekuensi lepasnya tanggung jawab negara.
Hilangnya kewajiban negara secara substantif membuat jaminan hak yang diberikan negara dalam tahapan penanganan bencana (pengurangan risiko bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi, serta penatalaksanaan bencana) seolah hanya pengakuan tentang HAM tanpa dapat dinikmati para korban atau penduduk yang rentan terkena bencana.
Dalam UU tersebut memang diatur secara jelas prioritas penanganan, standar minimum bagi pengungsi (tempat penampungan, sanitasi, bantuan pangan dan non pangan), maupun langkah-langkah penanganan darurat. Namun, jaminan ini tidak diimbangi dengan mekanisme yang mengatur agar negara berkewajiban melakukan hal ini.
Diperlukan Pengakuan
Ketidakjelasan paradigma kedudukan HAM korban bencana alam tersebut mungkin disebabkan karena konstitusi tidak menyebutkan secara tegas (rechtsvacuum) jaminan HAM perlindungan korban bencana alam dalam batang tubuh. Padahal Pembukaan UUD 1945 jelas menyatakan bahwa negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan termasuk perlindungan atas bencana alam, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan Pancasila, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
Lebih lanjut, Pasal 28H ayat (1) menyatakan: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal inilah yang menjadi penyokong darurat sementara dalam menjamin HAM korban bencana alam selama ini.
Menurut Hans Kelsen, hukum termasuk dalam sistem norma yang dinamis (nomodynamics). Oleh karena hukum itu selalu dibentuk dan dihapus oleh lembaga-lembaga atau otoritas-otoritas yang berwenang membentuk dan menghapusnya apabila memang dibutuhkan perubahan. Dalam hal ini UUD 1945 sebagai produk hukum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan amandemen terbatas salah satunya guna menjamin hak konstitusional korban bencana alam.
Maka ke depan diperlukan pengakuan jaminan HAM korban bencana alam dalam UUD 1945 agar masalah terkait ketidakjelasan paradigma HAM yang terdapat di tingkat UU dan kekosongan hukum (rechtsvacuum) dalam konstitusi dapat diselesaikan.
Addi Fauzani staf Bidang Etika dan Hukum dan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Indonesia
(mmu/mmu)