Menyimak Krisis Uyghur Ala Orang Awam

ADVERTISEMENT

Sentilan Iqbal Aji Daryono

Menyimak Krisis Uyghur Ala Orang Awam

Iqbal Aji Daryono - detikNews
Selasa, 25 Des 2018 17:25 WIB
Iqbal Aji Daryono (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - "That is too complicated."

Itulah kalimat pertama yang diketikkan oleh Abduheber, atau sebut saja Abduh, untuk menjawab rentetan pertanyaan yang saya sampaikan lewat Facebook Messenger.

Ya, aku tahu ini soal yang amat rumit, Abduh. Kalau tidak rumit, buat apa aku repot-repot bertanya kepadamu?

Abduh adalah kawan dari Perwira Fatria Jaya, adik angkatan saya di Sastra Jepang UGM. Asalnya dari Xinjiang, etnisnya Uyghur, dan saat ini Abduh sedang menempuh studi di Chiba, Jepang. Perwira tiba-tiba men-japri saya, menawarkan agar saya berbincang dengan Abduh, supaya saya bisa bertanya tentang banyak hal terkait isu-isu panas dari Xinjiang.

Kita tahu, seperti yang selalu saja terjadi, setiap isu di dunia yang melibatkan umat Islam selalu membawa keributan di antara kita di Indonesia. Berita-berita berseliweran, dari berbagai versi. Perdebatan-perdebatan berlangsung tanpa henti. Hingga kadang, penghakiman atas kualitas keimanan seseorang pun bisa dibubuhkan hanya berbekal kecenderungan sikap atas apa yang terjadi nun jauh di negeri orang.

Maka, saya pun mengontak Abduh dengan penuh semangat. Saya bertanya apa yang sesungguhnya terjadi di kampung halamannya. Apakah memang ada penindasan? Apakah umat Islam ditangkapi, disiksa, bahkan dibantai? Apakah pemerintah Cina memang membenci Islam dan bersikap anti-Islam?

"First, they occupied our country."

Saya langsung tertarik ketika Abduh menuliskan 'our country'. Dia sedang menegaskan identitas negara yang berbeda dengan Cina. Bagi Abduh, terasa sekali bahwa antara negeri milik etnis Uyghur dan RRC adalah urusan relasi antara our country dan their country.

"Setelah itu, mereka membunuh ribuan orang Uyghur, tidak memberikan kemerdekaan, juga keadilan kepada kami. Ketika kami meminta kemerdekaan, kembali, mereka membunuhi kami."

Saya manggut-manggut. Langsung terlihat: bagi orang-orang Uyghur, ini perkara kedaulatan. Bagi kekuasaan RRC, ini separatisme. Mirip dengan yang terjadi di Timor Lorosa'e alias Timor Timur waktu itu. Juga di Papua alias Irian Barat pada masa itu, bahkan hingga hari ini.

"Sekarang mereka kuat, dan ingin menjadi negara terkuat di dunia," Abduh melanjutkan. "Untuk itu, mereka harus menyumpal mulut orang-orang Uyghur. Sebelum tahun 2000, mereka selalu mengatakan bahwa orang-orang Uyghur adalah separatis. Setelah peristiwa 911 terjadi di Amerika, mereka memanfaatkan momen itu dan mulai menuding kami yang muslim ini sebagai teroris."

Sampai di sini, saya mulai menemukan alur-alur logisnya. Masuk akal, masuk akal.

Saya pun menambahkan satu pertanyaan terpenting sebagai penegasan. "Jadi pada dasarnya, Brother, apakah mereka membunuhi kalian karena agama kalian, atau...?"

"Yes and no. But mostly yes. Kenapa jawabannya 'ya', karena bahkan orang yang tidak menjalankan agama pun mereka tangkapi. Kenapa 'tidak', karena sekarang mereka mulai memukul agama lain juga. Misalnya Kristen. But for your question, I prefer to say yes. Being Uyghurs is our crime."

Being Uyghurs is our crime. Ya, satu-satunya kesalahan mereka adalah menjadi orang Uyghur. Kalimat itu merangkum semua penjelasan Abduh.

***

Abduh adalah pemuda Uyghur, lulusan Xinjiang University, yang melanjutkan studi di Chiba University, Jepang. Perwira, adik kelas saya itu tadi, mengenalnya dengan baik. Ia menyaksikan bahwa Abduh memang seorang muslim, karena mereka sering salat Jumat bersama di Universitas Chiba.

Garansi kesaksian Perwira bahwa Abduh sungguh-sungguh muslim itu sangat penting. Sebab, sebagai muslim, Abduh tidak berteriak kepada saya: "Toloong! Islam dihabisi oleh pemerintah Cina! RRC anti-Islam!"

Tidak, bukan itu yang dijelaskan oleh Abduh. Ia justru memosisikan Islam sebagai alibi saja yang digunakan oleh RRC untuk menuduh orang-orang Uyghur sebagai teroris. Alasan yang sesungguhnya menurut Abduh adalah karena orang-orang Uyghur di Xinjiang itu ingin lepas dari RRC, menuntut kemerdekaan, karena dulunya mereka memang cuma dianeksasi oleh RRC.

Saya belum paham betul sejarah orang-orang Uyghur, belum paham sejarah konflik antara Xinjiang dan RRC, belum paham pula bagaimana peta potensi sumber daya alam di Xinjiang yang konon menjadi salah satu latar belakang problem sosial di sana. Namun, saya merasa layak menjadikan sudut pandang dari seorang pemuda bernama Abduh tadi sebagai salah satu referensi penting dalam memahami segala perdebatan yang terus kita tonton hari-hari ini.

Tentu, saya tidak sepenuhnya percaya kepada cerita versi Abduh. Dia pasti memiliki subjektivitasnya sendiri. Meskipun Abduh orang Uyghur, tidak lantas segenap versi dia atas apa yang terjadi di sana terjamin akurasinya. Bukankah banyak juga orang Indonesia yang puluhan tahun hidup di Indonesia tapi masih juga tidak kunjung memahami Indonesia?

Yang jelas, situasi yang terjadi sekarang ini membuat kita menelan perang opini dari berbagai versi. Beberapa media Barat menegaskan fakta bahwa telah terjadi kejahatan kemanusiaan di Xinjiang yang menimpa orang-orang Uyghur. Pagi tadi saya membuka laman daring BBC, dan melihat sekilas satu liputan tentang citra satelit yang menggambarkan apa yang disebut sebagai kamp konsentrasi di gurun, tempat orang-orang Uyghur disekap dan disiksa.

Di media-media lain, versi pembentukan opini yang lain juga dilancarkan, yaitu dengan menekankan bahwa etnis Uyghur adalah muslim, mereka dibunuhi oleh otoritas pusat RRC, dan kesimpulan mutlaknya: negara Cina anti-Islam.

Yang terbaru, Amnesty International pun melaporkan bahwa diperkirakan ada satu juta warga etnis Uyghur yang ditangkap dan ditahan di kamp.

Di sisi sebaliknya, ada pula beberapa sumber yang bahkan menyatakan bahwa di Xinjiang semua berjalan baik-baik saja, normal-normal saja.

Tidak semua media dan sumber-sumber resmi wajib dipercaya sepenuhnya, kalau saya boleh berkata. Ingat, ada banyak sumber resmi yang pada masanya juga mengabarkan bahwa ada produksi senjata-senjata pemusnah massal di Irak. Banyak, sampai-sampai Irak dikepruk beramai-ramai pada tahun 2003 dengan legitimasi sumber-sumber resmi tersebut.

Namun pada akhirnya kita tahu, laporan tentang senjata pemusnah massal di Irak hanya menjadi salah satu dari sekian hoaks terbesar sepanjang sejarah, menemani cerita penganiayaan Ratna Sarumpaet dan Kiamat 2012.

Sayangnya, hoaks itu baru terbongkar setelah Irak luluh lantak.

***

Kita tidak pernah sungguh-sungguh tahu apa yang terjadi. Jika kita sebagai orang awam ingin murni mengandalkan fakta-fakta empiris sebagai pijakan sikap-sikap kita, rasanya kita cuma akan jatuh ke pusaran depresi menahun.

Saya pernah mengalami itu waktu berusaha mencerna rangkaian krisis yang terjadi di Mesir, juga di Suriah. Segalanya ruwet dan memusingkan. Semua kantor berita memiliki klaim masing-masing. Giliran saya mengharapkan kesaksian dari orang-orang yang turun ke lapangan dan menyaksikan secara langsung apa yang terjadi, itu pun tidak menyembuhkan depresi saya. Sebab, orang-orang yang terjun langsung ke TKP pun menyajikan versi yang berbeda-beda. Arrggh.

Bagi para pakar politik, bisa jadi mereka mampu mencerna semua benang kusut itu dengan lebih jernih. Namun, bagi kalangan awam seperti saya, yang bisa dilakukan hanyalah merangkai secuil empirisisme dengan kerangka nalar rasional.

Dalam kasus Uyghur ini, saya cenderung percaya bahwa RRC memang melakukan tindakan-tindakan represif. Dasar asumsi ini banyak referensinya. Cina memang bukan negara yang sehat dalam demokrasi, dan memang ada sejarah panjang konflik antara pemerintah pusat RRC dan Xinjiang.

Namun, untuk ikut-ikutan percaya bahwa Cina anti-Islam, bahwa perjuangan membela Uyghur adalah perjuangan membela Islam, itu pun naif. Banyak kesaksian yang mengabarkan bahwa di daerah-daerah lain di luar Xinjiang, praktik-praktik berislam berjalan bebas-bebas saja. Ada juga yang lebih spesifik lagi menceritakan bahwa orang-orang muslim dari etnis Hui, bukan Uyghur, di Xinjiang pun juga tidak dijadikan sasaran hantaman otoritas Cina.

Bahkan, kembali kepada Abduh, dia menegaskan bahwa dosa mereka bukanlah menjadi muslim, melainkan menjadi Uyghur. Orang-orang Uyghurlah yang disasar, bukan orang-orang Islam.

"Lho tapi kenyataannya orang Uyghur itu muslim. Kalau mereka dibunuh, bukankah tidak salah untuk mengatakan bahwa orang-orang Islam dibunuh oleh pemerintah Cina?"

Iya, benar. Tapi ingat, di Indonesia pun situasinya begitu. Dulu, di zaman DOM di Aceh, orang-orang Aceh direpresi. Mereka jelas muslim. Bahkan ada kisah-kisah tragis tentang para ulama yang dibantai, seperti Tengku Bantaqiah dan para santrinya. Tapi kita tidak melihat bahwa pemerintah Orde Baru membantai muslim. Ketika ada pembelaan kepada Aceh, maka pembelaannya adalah pembelaan kemanusiaan, bukan pembelaan kepada ulama. Orang-orang Islam di luar Aceh tidak ditembaki habis-habisan sebagaimana di Aceh. Artinya, Jakarta bukan anti-Islam, tapi anti-separatisme Aceh.

Demikian pula ketika sekarang Papua memanas lagi. Tanpa mengurangi keprihatinan kita atas kondisi di sana, kita tidak bisa mengatakan bahwa TNI anti-Kristen, bukan? Apakah kita mau menyampaikan simpati atas kondisi Papua dengan tagar #BelaKristen atau #BelaPendeta? Tentu saja tidak.

Sesederhana itu, sebenarnya.

Tentu, itu semua tidak perlu mengurangi apresiasi atas aksi-aksi keprihatinan yang menuntut dunia agar Cina menghentikan represi di Xinjiang. Toh, orang-orang Uyghur juga manusia seperti kita. Membela mereka adalah membela sesama manusia. Maka, satu-satunya dasar pembelaan kita bukanlah sentimen primordial dan agama, melainkan naluri kemanusiaan.

Iqbal Aji Daryono esais, tinggal di Bantul

(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT