Ketiga, Aksi 812 di Kuala Lumpur yang melibatkan lebih dari 50 ribu orang yang memprotes rencana pemerintah untuk meratifikasi Konvensi PBB perihal penghapusan diskriminasi rasial (ICERD). Terlepas dari perbedaan spesifikasi, ketiganya memiliki benang merah kesamaan, yakni pengerahan massa besar-besaran disertai klaim suara mayoritas rakyat untuk kepentingan sosio-politik tertentu.
Dalam kajian gerakan sosial kontemporer, fenomena semacam itu dikenal dengan istilah populisme. Populisme, berikut aneka corak isu yang melingkupinya, menjadi tren di banyak negara belakangan ini dengan karakteristik khas mendemarkasi rakyat (populis) dengan elite penguasa. Ia lahir karena kritik atas demokrasi representatif yang dianggap kurang membawa maslahat bagi rakyat (Hadiz & Robinson 2017).
Dalam derajat tertentu terdapat kejenuhan politik --bahkan ketidakpercayaan-- terhadap negara melalui segala perangkat institusional yang dimiliki. Trias politika, partai politik, birokrasi, hingga lembaga-lembaga tambahan (state auxiliary bodies) dianggap kurang mampu menjalankan fungsinya secara memuaskan sehingga rakyat harus turun tangan sendiri. Prinsipnya, slogan mereka adalah "kembalikan kekuasaan kepada rakyat" (bringing power back to people).
Pertanyaan kritisnya, apakah mode populis itu dapat diklaim paling merepresentasikan kepentingan rakyat? Tentu hal ini memunculkan perdebatan.
Strategi Viral
Mode gerakan populis makin marak di banyak negara seiring dengan perkembangan teknologi informasi. Tujuan utama tidak hanya tercapainya aspirasi politik menjadi suatu kebijakan, melainkan pula penyemaian atribut-atribut identitas, merebut perhatian publik, hingga mobilisasi massa untuk kepentingan politik tertentu. Apakah itu buruk? Tidak selalu.
Dalam konteks demokratisasi di era virtual, populisme merupakan salah satu penanda kesadaran politik masyarakat yang makin tinggi. Sekaligus sebagai alarm bagi para elite politik bahwa mereka diawasi. Kajian terbaru oleh Paul D. Kenny (2018) berjudul Populism in Southeast Asia mengidentifikasi bahwa strategi komputasi kerap digunakan untuk melancarkan gerakan. Hal ini mafhum dilakukan untuk mempengaruhi psikologi massa secara efektif dan efisien.
Tentu saja, partisipan populis umumnya dari khalayak yang melek gadget dan media sosial (digital natives). Pada gilirannya, dukungan politik skala besar dapat diraih hingga unjuk kekuatan secara manifes. Manifestasi itu selanjutnya digunakan untuk mengkampanyekan agenda politik mereka secara viral sembari menunggu momentum yang tepat untuk turun lapangan berikutnya. Artinya, dari pendekatan viral pra-mobilisasi ke viral pasca-mobilisasi.
Namun, justru karena watak strategi viral itulah gerakan populis berupaya mengemas informasi, ide, simbol-simbol identitas tertentu, hingga data-data secara sederhana dan mudah dicerna. Asumsinya, segala segmen masyarakat diandaikan dapat menangkap dengan mudah pesan-pesan yang di-viral-kan. Dalam hal ini, gambar meme, video pendek, testimoni, maupun atribut simbolik digunakan sebagai media persuasi dan propaganda.
Apa yang dibidik dari subjek sasaran? Tidak lain terutama elemen afektif. Sentimen emosional publik merupakan sisi paling signifikan untuk melipatgandakan dukungan secara solid dan militan. Walau sebaliknya, sentimen itu secara bersamaan potensial pula melahirkan penolakan yang tak kalah besar. Justru di sinilah basis kekuatan populis dibangun sekaligus dibatasi secara tegas.
Dalam banyak kasus, gerakan populis memang rentan tergelincir menjadi eksklusif. Ada pembedaan secara relatif tegas antara "kami" dan "mereka". Pada taraf ini, populisme terjerembab pada logika yang pada awalnya menjadi sasaran tembaknya.
Elitisme Baru
Kehendak untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien mendesak mode gerakan populis untuk merapikan barisan dukungan. Bertolak dari asumsi sebaliknya, mode gerakan yang terlalu lentur dan membuka diri justru akan menyulitkan bagi gerakan populis untuk menggalang kekuatan secara mantap.
Sebagaimana muasal terminologinya, logika gerakan populis dibangun dengan fondasi pembedaan secara tegas dengan elite. Namun demikian, logika itu menemui titik persimpangan ketika berhadapan dengan massa dengan jumlah yang besar dan beragam. Apakah mempertahankan semangat populisnya dengan konsekuensi membuka diri seluas-luasnya dan menjadi lentur, ataukah lantas membuat garis demarkasi jelas dengan konsekuensi menjadi eksklusif sehingga mengeksklusi massa yang tidak sesuai dengan garis politiknya?
Kenyataannya, populisme di banyak negara termasuk di Indonesia cenderung memilih opsi kedua, yakni menjadi eksklusif. Bagaimanapun, prinsip eksklusivitas cenderung menuntun pada mode elitisme baru. Alih-alih semangat populisme yang mengklaim merepresentasikan kepentingan rakyat, yang terjadi justru populisme elitis. Yakni, populisme vis a vis elitisme dengan membentuk elitisme yang lain. Di titik inilah letak paradoks populisme.
Kritik populis atas demokrasi perwakilan justru membuka diri pada jebakan anti-demokrasi yang bahkan lebih buruk dari demokrasi itu sendiri. Dengan kata lain, bagaimana mengontrol sistem dengan tawaran alternatif yang bersifat eksklusif yang menekankan kesamaan dan bukannya penghargaan atas perbedaan. Populisme yang mengarah pada elitisme inilah yang buruk dan tidak dapat diklaim paling merepresentasikan kepentingan rakyat sebagaimana pertanyaan kritis di atas.
Fahrul Muzaqqi dosen di Departemen Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga, Surabaya
(mmu/mmu)