"Ploutos" dan Politik Kita
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

"Ploutos" dan Politik Kita

Jumat, 21 Des 2018 13:08 WIB
Dodo Hinganaday
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ploutos dan Politik Kita
Ilustrasi: Edi Wahyono
Jakarta -

Tersebutlah seorang budak yang suka mengeluh dan kurang ajar bernama Cario. Ia mengabdi pada Chremylus, seorang petani paruh baya yang selalu mengaku diri sebagai orang baik-baik. Satu hal menyatukan kedua orang berbeda nasib ini: cita-cita ingin menjadi orang kaya.

Kedua orang ini adalah tokoh dalam Ploutos, karya lucu yang dihasilkan pada sekitar tahun 388 SM oleh komedian Yunani kuno, Aristophanes. Ploutos, yang berarti 'kemakmuran', adalah dewa Yunani kuno yang, sesuai namanya, disembah supaya pengikutnya memperoleh kemakmuran. Sayangnya, penampilan sang dewa tidaklah seindah namanya; ia tua, buta, ringkih, dan memakai pakaian compang-camping.

Semenjak keluar dari kuil Dewa Apollo, pekerjaan Chremylus hanyalah membuntuti sosok yang memprihatinkan itu, tanpa menyadari bahwa orang itu sesungguhnya adalah dewa. Sementara itu, pedoman Chremylus hanyalah kata-kata Apollo: orang pertama yang ia tubruk saat keluar dari kuil Apollo haruslah ia ikuti, lalu diajak ke rumahnya. Dan, yang ditubruk adalah Ploutos! Terang saja Cario mengata-ngatai majikannya itu sebagai orang bodoh. Apalagi, sang petani botak itu mengikuti Ploutos sambil memegang jumbai jubah lusuh sang dewa, sementara (bodohnya pula) Cario juga melakukan hal yang sama terhadap majikannya itu.

Singkat cerita, Cario tidak tahan lagi karena harus melakukan hal konyol itu, sedangkan sang dewa sendiri jengah karena jubahnya selalu dipegangi oleh Chremylus. Terjadilah komunikasi di antara mereka bertiga. Dari obrolan ketiganya, Cario dan Chremylus jadi tahu bahwa mereka sedang membuntuti sesosok dewa, walaupun awalnya tidak percaya.

Mereka juga jadi tahu bahwa Ploutos buta dan memprihatinkan karena perbuatan Zeus, sang mahadewa tidak suka Ploutos mengunjungi orang benar dan menjadikan mereka makmur. Karena buta, Ploutos tidak akan tahu siapa yang sedang ia kunjungi; baik orang benar maupun orang jahat punya peluang yang sama untuk menjadi makmur. Seperti yang kemudian disimpulkan oleh Chremylus, ini rupanya penyebab dirinya tidak dapat menjadi kaya, sementara para politikus busuk dan penjilat justru memiliki harta melimpah.

Cerita pun mengalir menjadi pergulatan Cario dan Chremylus dalam mengembalikan penglihatan Ploutos. Tujuannya tak lain supaya sang dewa dapat menjalankan tugasnya kembali dengan tepat: membawa kemakmuran bagi orang-orang benar dan jujur, termasuk tentu saja Cario dan Chremylus. Berbagai usaha pun dilakukan, mulai dari membawa Ploutos ke kuil Dewa Asclepius hingga mengusir Dewi Kemiskinan, yang mau menghalangi kembalinya penglihatan Ploutos.

Kesembuhan pun diperoleh Ploutos. Kemakmuran akhirnya didapatkan oleh orang-orang benar, termasuk tentu saja Cario dan Chremylus. Dan, dewa-dewi penguasa langit dan jagat raya kehilangan pengikut dan persembahan karena semua orang kini menyembah Ploutos. Bahkan, para dewa dan dewi termasuk Zeus pun akhirnya mengabdi pada Sang Dewa Kemakmuran.

Dalam Konteks Kita

Keprihatinan di balik kelucuan cerita Ploutos sebenarnya mirip dengan keprihatinan di sekitar kita saat ini. Sebut saja soal kemakmuran yang tidak merata, adanya politikus busuk dan kaya (yang terus-menerus dikritik Chremylus), sampai betapa mudahnya orang dimobilisasi ketika dijanjikan kekayaan dan kemakmuran (walaupun belum tentu terjadi). Bahkan, dapat kita temukan tokoh-tokoh yang dapat berubah haluan politik, mengikuti sosok yang dapat menjanjikan dan menjamin kekuasaan dan kemakmuran. Sama persis dengan Zeus, dewa dari segala dewa dalam mitologi Yunani kuno, yang rela turun pangkat menjadi pelayan Ploutos.

Dengan demikian, membaca atau menyaksikan Ploutos (bagi yang pernah menonton pentas teaternya yang telah dibuat lebih modern sesuai zaman) sebenarnya membaca dan menyaksikan hidup bernegara kita sendiri. Kita dapat dibuat terpingkal-pingkal dengan jalan ceritanya dan kelakuan para tokoh di dalamnya, seperti juga ketika kita melihat kekonyolan demi kekonyolan yang terjadi dalam masyarakat. Kita akan tertawa terbahak-bahak melihat Cario mengikuti Chremylus, yang juga membuntuti Ploutos; bahkan, saat Ploutos kentut pun Chremylus juga merasa harus ikut kentut, diikuti pula oleh Cario.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Membaca atau menonton adegan tersebut mungkin mengingatkan kita akan, misalnya, beberapa tokoh politik negara kita yang ikut-ikutan membela salah satu tokoh perempuan yang mengaku dipukuli orang; mereka lalu ikut-ikutan pula menghujat dan menjatuhkannya setelah sang tokoh perempuan mengakui kebohongannya. Bagi sebagian orang, politik kita adalah politik membebek atau membeo, yang memang lucu.

Kita pun dapat menjadi gemas demi melihat tingkah para tokoh cerita, tapi "terpaksa" mengikuti aliran kisah tanpa bisa berbuat apa-apa. Siapa yang dapat mencegah Ploutos mencurahkan kemakmuran pada orang yang salah karena ia buta? Tidak ada. Penonton tahu bahwa tidak seharusnya orang itu diberi kekayaan, entah karena ia sudah kaya atau karena ia adalah politikus busuk dan penjahat. Tapi, tidak ada yang dapat dilakukan oleh penonton selain mengikuti jalan ceritanya sampai selesai.

Demikian pula, kita dapat begitu jengkel melihat para politikus kita hanya adu mulut demi, misalnya, membela calon presiden dan wakil presiden yang mereka usung sambil menjatuhkan lawan politiknya. Padahal, mereka sama-sama duduk dalam pemerintahan. Dan, pemerintahan yang saya maksud di sini tentu saja bukan hanya eksekutif, melainkan juga legislatif dan yudikatif. Mereka seolah lupa bahwa pekerjaan utama mereka bukan sekadar adu mulut, tapi juga memperhatikan kemakmuran ratusan juta warga Indonesia yang mereka wakili. Apalah yang dapat kita harapkan dari para politikus itu selama mereka sendiri masih didera oleh "kebutaan"?

Politikus yang berniat tulus menyejahterakan rakyat pun tidak dapat berbuat apa-apa karena terbentur oleh rekan-rekan mereka yang buta itu. Kita dapat belajar dari tokoh Cario dan Chremylus. Ploutos memang buta, tapi mereka berdua tidak mau tinggal diam di dalam kebutaan Sang Dewa Kemakmuran. Mereka berusaha membantu Ploutos agar dapat melihat lagi. Dengan demikian, ia dapat mencurahkan kemakmuran pada orang yang benar dan tepat, bukan lagi pada orang yang salah.

Di dalam "kebutaan" pemerintah, banyak anggota masyarakat kita yang sudah berupaya sekuat tenaga untuk membantu pemerintah agar dapat "melihat" lagi. Yang perlu kita tingkatkan adalah sinergi di antara kita semua yang memiliki keprihatinan yang sama. Ketika pemerintah tidak mampu menuntaskan persoalan HAM, misalnya, tidaklah cukup bagi kita untuk hanya berdemonstrasi dan menuntut penyelesaian; kita sendirilah yang akhirnya harus mencari dan mengumpulkan bukti-bukti kuat pelanggaran HAM, sekurangnya yang belum ditutup-tutupi oleh pemerintah ataupun mereka yang terlibat di dalamnya.

Contoh lain lagi, ketika para sopir taksi dan ojek, baik yang online maupun offline sama-sama merasa kurang sejahtera, tidaklah cukup mereka bertengkar dan melakukan demo. Perwakilan kedua belah pihak perlu bertemu di antara mereka sendiri, lalu sama-sama mendiskusikan cara terbaik agar mereka bisa sama-sama sejahtera, lalu memperjuangkan hasil diskusi itu di hadapan petinggi mereka dan pemerintah. Begitu juga, misalnya, mereka yang merasa tanah adatnya dirampok dan diserahkan pada para pengusaha tanpa kompensasi yang adil; jika perlu, perwakilan masyarakat adat di seluruh Indonesia berkumpul untuk memperjuangkan nasib mereka.

Memang, tradisi Yunani kuno lain dari Indonesia. Bagi orang-orang seperti Cario dan Chremylus, serta Aristophanes sang kreator Ploutos, manusia biasa pun dapat membantu bukan hanya pemerintah, melainkan dewa paling berkuasa sekalipun, selama sang penguasa juga berkenan dibantu. Paham itu dapat berkembang berkat sistem demokrasi mereka yang mulai berkembang kira-kira sejak abad ke-5 SM.

Sementara itu, Indonesia juga menganut paham demokrasi. Sayangnya, dalam demokrasi kita, para pemimpin atau calon pemimpin tidak terbiasa melibatkan dan memberdayakan masyarakat dalam pembuatan program kerja mereka; mereka nyaris tidak pernah bertanya mengenai apa yang dibutuhkan masyarakat dan bagaimana kebutuhan itu harus dipenuhi. Yang biasa mereka lakukan adalah menawarkan sejumlah program yang diandaikan memang menjadi kebutuhan masyarakat, tanpa sungguh tahu apakah masyarakat benar-benar membutuhkan atau peduli pada program yang mereka tawarkan.

Akhirnya, kesejahteraan kita bergantung pula dari ketulusan dan kerendahan hati mereka untuk melibatkan kita dalam membuat program-program kerja, yang kelak diwujudkan ketika mereka berkuasa. Tanpa itu, para pemimpin dan calon pemimpin kita tetaplah "buta" dan kemakmuran tidak akan pernah merata atau mencapai sasarannya.

Dodo Hinganaday mahasiswa Program Magister Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads