Menolak Poligami, Menolak Islam?
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Menolak Poligami, Menolak Islam?

Kamis, 20 Des 2018 12:00 WIB
Desi Ratriyanti
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Foto: Dok. Pribadi Ana Abdul Hamid
Jakarta - Pernyataan Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie tentang sikap partainya yang menolak poligami bergulir menjadi isu panas. Awalnya dia melarang semua kader PSI berpoligami. Sikap anti-poligami itu juga akan diperjuangkan jika PSI lolos ke parlemen. Pernyataan Grace itu pun tidak pelak menuai dukungan dan kritikan publik.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan) misalnya menyebut komitmen PSI untuk menolak praktik poligami sebagai sebuah langkah maju bagi gerakan perempuan. Namun, sejumlah politisi menganggap hal itu lebih sebagai manuver politik untuk memposisikan PSI pada Pemilu 2019 mendatang. Bahkan, tidak sedikit pihak yang menuding PSI sebagai partai anti-Islam.

Ihwal tuduhan sebagai partai anti-Islam agaknya bukan yang pertama kali ini ditujukan pada PSI. Sebelumnya, tuduhan yang sama sempat menghampiri PSI ketika partai ini secara lantang menolak Perda Syariah. Menarik untuk mencermati tudingan anti-Islam yang dialamatkan pada PSI; hanya karena partai tersebut mencoba mengkritik praktik poligami yang selama ini kadung identik dengan ajaran Islam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pelabelan anti-Islam sebenarnya sudah sering menimpa individu atau kelompok yang mencoba membaca ulang ajaran Islam agar kontekstual dan relevan dengan semangat zaman. Dulu semasa hidupnya, tokoh-tokoh muslim moderat seperti Gus Dur dan Cak Nur menjadi sasaran caci-maki dan pengkafiran dari kelompok muslim konservatif lantaran gagasan-gagasannya.

Hal yang sama dialami para pemikir muslim hari ini seperti Quraish Shihab, Syafi'i Ma'arif, dan sejumlah nama lainnya yang kerap dilabeli sebagai liberal, pendukung penista agama, komunis, dan label "menggelikan" lainnya hanya karena memiliki pandangan keagamaan yang cenderung berseberangan dengan arus utama.

Lalu, apakah benar logika sebagian kalangan yang menganggap sikap penolakan terhadap poligami sebagai penolakan terhadap ajaran Islam, atau bahkan merepresentasikan anti-Islam?

Teks dan Konteks

Poligami telah lama menjadi isu khilafiyah dalam Islam. Artinya, tidak atau belum ada pendapat ulama dan intelektual muslim yang dijadikan satu-satunya rujukan final terkait urusan poligami. Dalam konteks fiqh, Islam memang mengenal praktik pernikahan poligami yakni menikah dengan lebih dari satu perempuan dalam satu waktu yang bersamaan.

Merujuk pada QS. An-Nisa (4) ayat 3, setiap laki-laki muslim diperkenankan memiliki istri maksimal empat dengan ketentuan harus mampu berlaku adil. Nabi Muhammad sendiri, yang ucap dan perilakunya dijadikan salah satu sumber hukum Islam juga melakukan poligami. Ia tercatat pernah memiliki sembilan istri. Fakta-fakta itulah yang kerap dijadikan landasan yuridis-teologis terkait praktik poligami dalam tradisi Islam.

Banyak kalangan, utamanya para pelaku poligami menjustifikasi perilaku mereka sebagai manifestasi dari ajaran Islam dan meniru praktik hidup Rasulullah (sunnah). Tidak jarang, para pelaku poligami mengklaim tindakannya murni sebagai aktivitas keagamaan yang murni dari kepentingan seksualitas.

Tentang ajaran Islam yang membolehkan laki-laki beristri empat dan Rasulullah yang beristri sembilan adalah kenyataan yang tak terbantahkan. Namun, apakah dengan itu lantas dapat disimpulkan bahwa Islam mengajarkan poligami dan menganjurkan umatnya untuk berpoligami?

Dalam konteks ini, mau tidak mau kita harus membuka kembali teks keagamaan yang berbicara tentang poligami lalu mencoba mencari makna terdalam (deepest meaning) dari ayat tersebut. Sebuah teks tentu tidak lahir dari ruang kosong, melainkan dipengaruhi oleh situasi sosial-budaya dalam ruang dan waktu tertentu. Kemunculan sebuah teks, bagaimana pun, merupakan respons atas fenomena sosial-budaya yang tengah mengemuka saat itu. Maka, memahami kondisi sosial yang melatari kemunculan sebuah teks tentu menjadi sebuah keniscayaan ketika kita ingin menafsirkan sebuah teks.

Memahami konteks dan semangat zaman yang melatari kemunculan teks guna mencari makna sesungguhnya dari teks bukan hal yang tabu dalam Islam. Studi al Quran mengenal istilah azbabun nuzul, yakni teori tentang asal-usul atau sebab turunnya sebuah ayat dalam al Quran.

Tafsir Progresif

Apabila kita pakai teori asbabun nuzul itu untuk membaca kembali ayat-ayat poligami dalam al Quran, maka tampak betul bahwa ayat tersebut sebenarnya membawa semangat perubahan pada tradisi kawin masyarakat Arab. Dalam pembabakan sejarah Islam, kultur masyarakat Arab pra-Islam kerap dipersepsikan sebagai zaman jahiliyyah alias tidak beradab (uncivilized). Salah satu bentuk ke-jahiliyyah-an masyarakat Arab adalah kecenderungan untuk tidak menghargai perempuan.

Sebagian besar suku Arab menganggap perempuan sebagai aib, lantaran tidak bisa berperang. Di beberapa suku Arab, bayi perempuan yang baru saja lahir akan dikubur hidup-hidup demi menutupi aib tersebut. Dalam konteks perkawinan pun, perempuan Arab pra-Islam cenderung diposisikan tidak adil. Masyarakat Arab pra-Islam mengenal istilah harem; semacam rumah untuk menampung istri-istri, lantaran tidak ada batasan jumlah perempuan yang boleh diperistri.

Tidak jarang pula, istri dijadikan sebagai alat tukar, entah untuk menebus denda, membayar utang, atau bahkan diwariskan. Di tengah kondisi sosial yang tidak berpihak pada perempuan itulah "ayat poligami" turun. Fazlur Rahman, intelektual muslim neomodernis asal Pakistan berargumen bahwa nilai moral ayat poligami ialah pembatasan terhadap kewenangan laki-laki dalam beristri.

Jumlah nominal empat istri adalah semangat Islam dalam mereformasi sistem sosial, terutama terkait perkawinan yang sangat tidak manusiawi di kalangan Arab pra-Islam kala itu. Dalam tafsiran Rahman, ayat-ayat tentang poligami idealnya dimaknai sebagai upaya revolusioner Islam dalam mengangkat harkat dan kedudukan perempuan. Spirit pembatasan itulah yang hendaknya dijadikan ideal-moral dari ayat poligami.

Hal senada disampaikan oleh Asghar Ali Engineer, pakar Studi Islam asal India. Dalam makalahnya berjudul Islam, The Islamic World, and Gender Justice ia menyebut poligami --sebagaimana peperangan, mabuk-mabukan, dan perjudian-- merupakan bagian dari kultur jahiliyyah masyarakat Arab pra-Islam yang berupaya ditentang oleh Islam.

Meski demikian, Islam tidak pernah secara frontal menghapus kultur yang telah menyatu dengan masyarakat Arab selama berabad-abad tersebut. Islam melakukan reformasi sosial secara pelan-pelan. Larangan tentang mabuk-mabukan misalnya, awalnya dimulai dengan larangan mabuk bagi yang hendak melaksanakan salat, sampai kemudian turun ayat yang mengharamkan khamr.

Sebagaimana Rahman, Asghar beranggapan bahwa poligami adalah praktik jahiliyyah pra-Islam yang tidak relevan dalam konteks zaman modern-kontemporer. Terlebih ketika dunia internasional dalam beberapa dasawarsa terakhir ini sangat giat mengampanyekan perlindungan terhadap hak dan kedudukan perempuan.

Praktik poligami yang dalam banyak hal harus diakui kerap menjadi pintu masuk bagi ketidakadilan bahkan kekerasan pada perempuan tentu berlawanan dengan semangat yang digaungkan dunia internasional tersebut. Asghar memandang perlunya langkah-langkah progresif yang memungkinkan penghapusan praktik poligami meski secara berangsur-angsur.

Langkah progresif untuk menghapus praktik poligami sebenarnya sudah dilakukan oleh sejumlah negara muslim. Tunisia melalui The Code of Personal Status (Undang-undang Status Perorangan) jelas melarang praktik poligami dan menghukum orang-orang yang terlibat di dalamnya, mulai dari laki-laki, perempuan, dan pihak yang menikahkan. Demikian pula Turki. Larangan praktik poligami di Turki tertuang dalam Civil Code 1926 Pasal 93, 112, dan 114.

Sejumlah riset menunjukkan bahwa poligami lebih sering merepresentasikan ketidakadilan pada perempuan. Ironisnya, praktik tersebut kerap dijustifikasi oleh tafsir atas teks keagamaan yang cenderung bias. Menjadi wajar jika segala bentuk penafsiran yang menawarkan perspektif kebaruan dan revolusioner kerap disikapi secara reaktif. Salah satunya dengan tudingan anti-Islam.

Meski tidak dapat dilepaskan dari strategi politik jelang Pemilu 2019, sikap PSI yang menolak tegas praktik poligami patut diapresiasi sebagai salah satu langkah progresif. Terlebih di tengah minimnya komitmen partai politik dalam memperjuangkan hak dan kedudukan perempuan.

Desi Ratriyanti bergiat di Indonesia Muslim Youth Forum

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads