Nasib Budaya Daerah Pasca-Kongres
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Nasib Budaya Daerah Pasca-Kongres

Selasa, 18 Des 2018 12:00 WIB
Budi Hatees
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Presiden Jokowi hadiri penutupan Kongres Kebudayaan (Dwi Andayani/detikcom)
Jakarta - Ketika Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) digelar di Jakarta awal bulan ini, semua peserta yang diundang sudah memiliki pandangan yang tunggal bahwa kebudayaan hanya mengandung harmoni dan karenanya internalisasi nilai-nilai kebudayaan ke dalam perencanaan pembangunan tidak bisa lagi ditawar. Semua orang kemudian bersepakat bahwa kebudayaan Indonesia yang unik dan keunikannya tidak ditemukan di benua lain harus membuat bangsa Indonesia menjadi negara yang besar dan kuat.

Untuk itu, perlu dibuat rumusan penting tentang strategi kebudayaan yang kemudian dikristalisasikan dalam bentuk Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan (RIPK). RIPK ini akan menjadi semacam cetak biru dalam menyusun dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangan Menengah (RPJM), dan juga Rencana Kerja Pemerintah (RKP).

Kita tahu, selama ini RPJP, RPJM, dan RKP menjadi dokumen resmi yang harus diacu oleh pemerintah daerah dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang implementasinya berupa peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan RIPK ini sudah diandaikan desain pembangunan Indonesia memiliki karakter dan kekuatan yang khas diri kita sendiri sebagai sebuah bangsa yang berkebudayaan. Persoalan kemudian muncul karena kebudayaan ternyata tidak hanya mengandung harmoni, tetapi juga mengandung potensi-potensi konflik yang mensyaratkan pentingnya dipikirkan solusinya.

Ketika amanat KKI diterima secara terbuka oleh seluruh pengambil kebijakan pembangunan di tingkat pusat maupun daerah dengan memposisikan RIPK sebagai aturan dan peraturan yang menuntut kepatuhan, setiap orang kemudian mengabaikan bahwa konflik berlatar belakang kebudayaan memiliki daya destruktif yang tinggi untuk menghancurkan persatuan dan kesatuan dalam bingkai nasionalisme.

Kita masih belum bisa menghapus kenangan pahit tentang konflik yang terjadi di Sampit, Kalimantan Barat, bersamaan dengan diberlakukannya otonomi daerah sejak Januari 2001, di mana masyarakat berbudaya Dayak menjadikan masyarakat berbudaya bukan Dayak sebagai musuh yang harus dibantai. Konflik seperti ini selalu akan membayangi setiap pilihan kebijakan yang berlandaskan pada kebudayaan, terutama karena pemahaman tentang kebudayaan yang disepakati justru mengabaikan realitas keanekaragaman yang ada.

Realitas kebudayaan di negara kita sebagaimana pernah disinggung Ignas Kleden dalam banyak karyanya yang mengangkat filsafat kebudayaan, mengandaikan bahwa tidak semua kebudayaan yang ada di daerah mendapat pengakuan sebagai bagian dari kebudayaan nasional. Pasalnya, definisi kebudayaan nasional yang mengamini apa yang dirumuskan Koetjaraningrat sebagai "puncak-puncak kebudayaan daerah", sesungguhnya sebuah definisi yang sangat kuat dipengaruhi oleh cara berpikir dalam dunia politik.

Adanya istilah "puncak kebudayaan daerah" secara tidak langsung memberikan pengakuan bahwa ada kebudayaan daerah yang bukan puncak, dan karena itu harus diabaikan yang pada akhirnya akan punah. Penentuan "puncak kebudayaan daerah" itu tidak dilakukan oleh masyarakat penganut kebudayaan daerah bersangkutan, tetapi masyarakat bersangkutan harus menerima kenyataan itu sebagai realitas pahit dan getir atas nama nasionalisme.

Banyak pihak beranggapan, nasionalisme yang ditanamkan sebagai nilai kebangsaan telah membuat sejarah politik kita menjadi tidak sejalan (atau malah bertentangan) dengan kebudayaan. Integritas nasional sebagai kesepakatan baru bagi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia diterima sambil menggerutu karena penerimaan itu berarti menghilangkan sentimen primordial, seperti perasaan-perasaan yang erat hubungannya dengan kebudayaan.

Sebab itu, ketika reformasi bergulir dan kemudian pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) memiliki otonomi dan dengan sendirinya memiliki kekuasaan (sebetulnya untuk menumbuhkembangkan daya cipta), kebudayaan daerah berikut faktor-faktor yang dianggap given dalam kebudayaan --seperti hubungan darah, kesamaan daerah, kesamaan asal-usul, bahasa ibu, atau malah marga-- mendapat peluang untuk bangkit dan memegang kekuasaan di daerah.

Kebudayaan Indonesia saat ini sangat dipengaruhi oleh faktor bangkitnya kebudayaan-kebudayaan daerah pasca penguatan otonomi daerah berdasarkan undang-undang. Diberikannya hak-hak pemerintahan yang besar kepada daerah (provinsi dan kabupaten/kota) memungkinkan daerah bersangkutan menghidupkan kebudayaan lokal yang menjadi ciri daerah tersebut. Tapi, hidupnya budaya daerah ini memberi ruang yang besar bagi feodalisme lokal yang berisiko terhadap penguatan demokratisasi.

Kaum feodal merasa saat ini sebagai era mereka untuk menjadi ikon penentu di daerahnya, sehingga pluralisasi ekspresi-ekspresi budaya yang menjadi representasi dari kesadaran nasional selama ini memunculkan kembali sentimen primordialisme.

Dengan kebangkitan kebudayaan daerah dengan riwayat untuk menegaskan eksistensi pemilik sah atas daerah bersangkutan, kita bisa membayangkan akan muncul persoalan terkait Pokok Pikiran Kebudaya daerah (PPKD). Apakah PPKD yang disampaikan oleh para pejabat daerah provinsi dan kabupaten/kota itu betul-betul merupakan pokok-pokok pikiran kebudayaan yang ada di lingkungan masyarakat dari daerah bersangkutan, mengingat metodologi penetapannya tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah?

Disebut begitu, karena para pejabat yang menghadiri pertemuan pra-kongres masing-masing disodori daftar isian yang harus mereka penuhi dengan apa yang disebut sebagai pokok-pokok pikiran kebudayaan daerah. Dengan kata lain, penentuan mana yang menjadi pokok-pokok pikiran kebudayaan daerah dan mana yang bukan pokok pikiran, serta mana dari pokok pikiran kebudayaan daerah itu yang harus masuk dalam daftar, sama sekali tidak mendasar dan sulit dipertanggungjawabkan keilmiahannya.

Sebagai contoh, masyarakat Jawa yang menjadi Jawa semata-mata karena askripsi dan tinggal di Provinsi Lampung yang bukan di Pulau Jawa, sudah tentu akan menjadi kebudayaan pendatang dan liyan. Begitu juga dengan kebudayaan para pendatang di daerah-daerah lain, sehingga PPKD itu justru akan menjadi sumber utama untuk mempertajam perbedaan, atau menganaktirikan budaya-budaya daerah tertentu di suatu daerah yang sudah memiliki kebudayaan daerah sendiri.

Pada tataran ini, integrasi nasional akan disingkirkan perlahan-lahan demi membangkitkan hal-hal yang bersifat primordial. Pada tingkat kreativitas berbahasa, gejala ini sudah muncul ketika para sastrawan memberi posisi penting kepada bahasa ibu (vernacular) dalam teks-teks sastra, di mana dialek bahkan kosa kata dari bahasa daerah dipakai dalam narasi-narasi sastra untuk menguatkan rasa daerah (lokalitas).

Selain itu, mungkinkah PPKD yang menjadi sumber utama perumusan strategi kebudayaan dan pembuatan RIPK itu sesungguhnya tidak begitu dibutuhkan karena pemerintah pusat sudah memiliki cetak biru pemikiran kebudayaan, dan cetak biru itu telah menjadi pijakan utama bagi pemerintah dalam mengajukan UU No.5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan? Artinya, apa yang ada dalam PPKD sesungguhnya sudah diperkirakan sejak awal oleh pemerintah pusat (barangkali juga sudah disusun lebih dahulu), sehingga ada atau tidak PPKD bukan persoalan penting dalam pembicaraan tentang strategi kebudayaan.

Pasalnya, sekalipun pra-kongres untuk mengumpulkan PPKD telah dilangsungkan, ternyata masih ada kabupaten/kota yang sama sekali tidak mengajukan PPKD. Di Provinsi Sumatra Utara, misalnya, dari sekian banyak pemerintah daerah kabupaten/kota, Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Mandailing Natal tidak terlibat dalam pengajuan PPKD.

Kalau kondisi seperti inilah yang sedang terjadi, maka kongres hanya untuk menegaskan bahwa kita masih berkelindan dengan pemikiran dalam determinasi kebudayaan. Kebudayaan bagi kita tak lebih dari perkara norma dan nilai yang tak boleh diganggu gugat, yang tidak perlu direfleksikan, yang hanya perlu dielus-elus dan dilap-lap sebagaimana kita memperlakukan sebuah benda. Padahal, kebudayaan harus diandaikan sebagai sesuatu yang dinamis dan dapat berubah, juga diubah, apabila tidak sesuai lagi dengan keperluan pada saat ini.

Dan, kembali, kebudayaan Indonesia yang memiliki keunikan tersendiri ini --karena tidak selalu didapatkan padanannya dalam kebudayaan lain-- tetap tidak mampu menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang tangguh dengan segenap pencapaian dan prestasi yang membanggakan.

Budi Hatees peneliti di Institute Sahata

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads