Terkhusus Amerika Serikat, mereka menolak dengan tegas deklarasi ini karena menganggap PBB berusaha melebarkan tafsir hak-hak yang ada. Indonesia sendiri dalam kesempatan itu menjadi co-sponsor resolusi Dewan HAM PBB yang mengesahkan deklarasi Hak Asasi Petani.
Perjuangan deklarasi Hak Asasi Petani sudah dimulai sejak 17 tahun lalu, tepatnya pada 2001 saat Serikat Petani Indonesia (SPI) dan berbagai organisasi lainnya menyelenggarakan Konferensi Nasional Hak Asasi Petani di Cibubur, Jakarta. Inilah momentum awal perjuangan Hak Asasi Petani yang selanjutnya dibawa oleh SPI bersama La Via Campesina (Organisasi Petani Dunia) ke tingkat internasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perjuangan Agraria
Sesungguhnya perjuangan agraria di Indonesia sudah dimulai sejak awal masa pra kemerdekaan dengan upaya merombak sistem agraria warisan kolonial. Perombakan ini didasari oleh tuntutan petani yang termanifestasikan dalam bentuk perlawanan seperti aksi unjuk rasa, pendudukan lahan, atau penggarapan lahan. Pasca kemerdekaan Indonesia, aspirasi rakyat menuntut perombakan agraria semakin masif. Di banyak tempat terjadi pendudukan lahan tanah eks kolonial.
Pemerintah lewat Presiden Sukarno kemudian mengeluarkan UU Darurat No. 8 Tahun 1954 tentang Pemakaian Tanah untuk menegaskan tindakan rakyat tidak melanggar hukum. Empat tahun kemudian Presiden Sukarno mengeluarkan lagi UU No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah Partikelir untuk menolak sistem penyewaan tanah yang merugikan rakyat. Puncaknya terjadi pada 1960, tepatnya pada 24 September, ketika pemerintahan Orde Lama di bawah kepemimpinan Sukarno mengesahkan UU Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 sebagai landasan dari perombakan sistem agraria nasional untuk sepenuhnya lepas dari warisan kolonial.
Ketiga regulasi tersebut mencerminkan bagaimana Sukarno begitu peduli dalam membangun agraria Indonesia pasca kemerdekaan. Dalam salah satu pidatonya saat peletakan batu pertama Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 1952, Sukarno mengatakan, "Pangan adalah soal hidup matinya suatu bangsa, apabila kebutuhan pangan rakyat tidak terpenuhi maka malapetaka, oleh sebab itu perlu usaha besar-besaran, radikal, dan revolusioner".
Titik tekan dari apa yang disampaikannya adalah bagaimana sebuah bangsa harus radikal dan revolusioner untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, dan itu hanya bisa didapat dari perombakan struktur agraria. Konsep Sukarno mengenai penataan agraria sebagai jalan mencapai kedaulatan dan keadilan tidak hanya diperuntukkan bagi bangsa Indonesia. Sukarno mempunyai visi untuk merombak tatanan agraria bangsa-bangsa lain yang masih terjajah agar lepas dari jeratan kapitalisme barat.
Poin tersebut tercermin dalam salah satu tujuan penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 1955 di Bandung yang dipelopori Sukarno dan Ali Sastroamidjojo (Perdana Menteri Indonesia saat itu), yaitu untuk meninjau hubungan sosial ekonomi dan membangun gerakan politik untuk melawan kapitalisme.
Dalam sebuah perbincangan, Henry Thomas Simarmata dari La Via Campesina) mengatakan bagaimana sosok presiden pertama Indonesia Sukarno sangat membantu proses komunikasi dan negosiasi deklarasi Hak Asasi Petani terkhusus untuk negara Asia-Afrika. Disampaikannya bagaimana banyak negara Asia-Afrika yang langsung memahami inti dari deklarasi ini karena meyakini Indonesia berjuang bukan hanya untuk petani Indonesia, melainkan petani di seluruh dunia. Hal ini tentunya tidak terlepas dari sosok Sukarno yang begitu membekas bagi negara-negara tersebut untuk mencapai kemerdekaan sepenuhnya.
Buktinya, dari 29 negara yang dulunya mengikuti Konferensi Asia Afrika tidak ada yang menolak deklarasi ini, dan hanya tiga negara yang abstain dalam pengambilan keputusan deklarasi Hak Asasi Petani. Ketiga negara tersebut adalah Ethiopia, Jepang, dan Turki. Keputusan Ethiopia yang tidak menentukan sikap atas deklarasi ini sedikit mengejutkan karena saat ini Ethiopia sedang membangun kembali negaranya terutama pada sektor agraria. Pertumbuhan ekonomi Ethipoia sendiri semakin tumbuh pesat, bahkan diprediksikan tahun ini mencapai 8,5%.
Selebihnya, 25 negara Asia-Afrika (saat KAA berlangsung, Vietnam mengirimkan dua perwakilan yaitu Vietnam Utara dan Vietnam Selatan) lainnya dengan lantang dan tegas mendukung sepenuhnya deklarasi Hak Asasi Petani.
Tahun Bersejarah
Tahun 2018 merupakan tahun bersejarah bagi petani dan perjuangan agraria Indonesia. Setidaknya ada dua hal yang melatarbelakangi argumen tersebut. Pertama, Presiden Indonesia Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden No. 86 tentang Reforma Agraria pada 24 September 2018 yang akan menjadi instrumen penyelesaian konflik agraria di Indonesia. Kedua, sidang umum PBB telah mengesahkan Deklarasi Hak Asasi Petani yang cikal bakal perjuangannya lahir dari Indonesia.
Kedua hal itu harusnya menjadi momentum bagi kebangkitan Indonesia untuk melaksanakan Reforma Agraria Sejati sebagai jalan mencapai kedaulatan seutuhnya seperti impian pendiri bangsa dalam Pembukaan UUD 1945 alinea kedua yang berbunyi "dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur".
Andry Anshari anggota komunitas pemuda Sumatran Youth Food Movement (SYFM)
(mmu/mmu)











































