Tetapi, dari Zumi Zola saya ingin memulai. Kasus yang menimpa Zumi Zola viral bukan semata karena faktor selebritas sang mantan artis, melainkan karena aktivitasnya pada aksi massa di Jakarta, dalam orasinya yang sangat "Islami". Ditambah dengan Bupati Bener Meriah Ahmadi dan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, ditangkapnya ketiga kepala daerah ini menambah deret panjang paradoks Islam dalam politik dan fenomena korup. Dan, bertepatan dengan Harbolnas 12.12 kemarin, giliran Bupati Cianjur yang ditangkap.
Telah sejak lama Cianjur mengklaim diri sebagai Kota Santri, walau warisan khazanah kesantriannya juga tidak terdokumentasi dengan baik. Tetapi, kebijakan pro-Islam (jika tidak bisa disebut syariah) memang menjadi primadona. Ketika Tjetjep Muchtar Soleh (ayahanda Irvan Rivano) naik ke tampuk kekuasaan, ia menawarkan program Gerbang Marhamah (Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul Karimah) --diperkuat oleh fatwa MUI Kabupaten Cianjur. Tujuannya jelas: menjadikan religiusitas sebagai indikator kesuksesan. Pada masa-masa itu tradisi Kuda Kosong yang mystical disebut memurtadkan dan baru belakangan tradisi ini dimunculkan kembali.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tetapi, infrastruktur politiknya memang kuat; upaya perlawanan terhadap "Dinasti Tjejep" (demikian sebagian orang menyebut) kalah di hadapan oligarki. Naiknya Irvan Rivano membawa sejumlah "perubahan" yang tampaknya tidak banyak membantu kredibilitasnya. Yang paling kentara adalah upaya "penulisan-ulang" narasi kota melalui jargon Cianjur Jago, mengesampingkan tagline Sugih Mukti yang selama bertahun-tahun dipegang teguh. Kebijakannya yang lain juga tidak lepas dari kontroversi, mulai dari kebijakan pembangunan jalan, pemugaran dan penggantian tugu, pengalihan jalur angkot, relokasi pasar, sekolah, dan kantor kerja pemerintah.
Namun begitu, Irvan Rivano melanjutkan tradisi kebijakan pro-religiusitas. Gerbang Marhamah memang tidak lagi secara eksplisit ditulis dalam program dan kebijakan, tetapi semangatnya tidak diragukan lagi tetap dibawa. Bupati yang terpilih pada 2016 itu menawarkan tujuh program yang salah satunya adalah program keagamaan, menarasikannya dengan karakter ngaos sebagai bagian dari kultur Cianjur. Namun, sejauh mana program ini berpaku pada Islam substantif dan inklusif juga kurang meyakinkan.
Sebagai contoh, ada program Subuh Berjamaah bagi para ASN di mana mereka akan diabsen. Sepintas lalu seperti tidak ada masalah dengan itu. Tetapi, jika diperhatikan, program ini counter productive menimbang mereka harus berjamaah di Masjid Agung sedangkan sebagian dari mereka tinggal cukup jauh. Dengan mereka harus datang (terlalu) pagi, kita bertaruh dengan kinerja ASN yang bahkan ketika mereka datang tepat waktu, kinerjanya tidak selalu memuaskan.
Contoh lain, Bupati kemudian menyebut diri atau diklaim sebagai Dalem Disorban atau Dalem yang mengenakan sorban. Dalam banyak kesempatan, Irvan Rivano kerap mengenakan sorban. Sorban sendiri dianggap sebagai simbol Islam, simbol kesalehan. Penamaan Dalem Disorban terinspirasi dari Dalem Dicondre yaitu salah satu Dalem Cianjur yang mati karena dibunuh dengan menggunakan condre. Melalui penamaan Dalem Disorban, Bupati ingin menegaskan bahwa religiusitas adalah identitasnya.
Agar lebih kuat, nama dia juga muncul dalam buku tentang ulama-ulama di Cianjur, tentu saja bersama Tjetjep Muchtar Soleh, ayahnya, yang kerap disebut Bupati Sepuh. Penulis buku biografi tersebut mengakui bahwa pengakomodasian Irvan Rivano dan ayahnya dalam buku tersebut karena persoalan donasi mereka untuk penerbitan dan pencetakan. Buku-buku itu didistribusikan kepada struktur birokrasi untuk kemudian, secara tidak langsung, 'mewarnai" khazanah sejarah keislaman di Cianjur. Tanpa ada counter narasi, bisa-bisa keduanya akan dianggap sebagai ulama juga.
Di tengah semua ketidakpuasan tersebut, upaya perlawanan seperti tidak menemukan titik terang, kecuali ketika Komat (Koalisi Ulama dan Umat) melakukan demonstrasi ke DPRD Cianjur dan menuntut Irvan Rivano turun. Sebagian lagi mulai merasa trah Irvan Rivano bersifat "untouchable" mengingat KPK seperti tidak akan pernah datang. Hingga, tiba saat Irvan Rivano diciduk KPK bersama enam orang lainnya, dimulai dari pencidukan di halaman Masjid Agung --landmark religiusitas di Cianjur.
Menariknya, OTT tersebut direspons antusias. Muncul gerakan menggratiskan ongkos angkot sebagai bentuk rasa syukur. Pada Jumat setelah OTT itu, ada nasi liwet massal sebagai syukuran. Tiba-tiba saja ASN yang tertekan oleh otoritarianisme sang Bupati curhat atas kelegaan hati mereka walau sebagian yang lain justru gamang karena cemas pengembangan OTT akan sampai ke depan pintu rumah mereka sebagaimana KPK telah sampai kepada nama kakak ipar sang bupati. Demikianlah, sekarang Sang Dalem dililit sorbannya sendiri.
Irfan L. Sarhindi pengasuh Salamul Falah, alumnus University College London, associate Researcher Akar Rumput Strategic Consulting
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini