Agar lebih adil, sebenarnya bukan hanya pemerintah daerah yang begitu. Para aparat pemerintah pusat juga begitu perilakunya. Mereka juga menghabiskan banyak anggaran untuk bepergian, baik ke daerah maupun ke luar negeri. Dana yang dihabiskan oleh pemerintah pusat untuk jalan-jalan ini tak kalah kecil dibandingkan dengan dana yang dikeluarkan oleh pemda.
Motifnya, selain untuk menambah penghasilan seperti yang diungkap oleh Menteri Keuangan tadi, adalah jalan-jalan dengan biaya negara. Perjalanan dinas adalah kesempatan untuk bepergian ke berbagai tempat, tanpa harus mengeluarkan uang dari kantong sendiri. Motif ini sudah jadi rahasia umum di kalangan pegawai negeri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suasana boros begitu terasa pada pelatihan dan rapat yang dilakukan di berbagai instansi. Para peserta mengikuti pelatihan sambil main HP. Acara sering tidak sesuai jadwal, karena peserta terlambat masuk ke tempat acara.
Bentuk pemborosan lain adalah dana untuk penyediaan konsumsi. Banyak kantor pemerintah yang menyediakan kudapan rutin bagi pegawainya. Secara nalar kita seharusnya bertanya, bukankah mereka seharusnya bekerja di kantor? Kenapa disediakan kudapan? Alih-alih didorong untuk bekerja produktif, orang didorong untuk bekerja santai sambil makan.
Masalah-masalah itu semua terkait dengan pola pikir. Untuk mengubahnya harus dilakukan upaya untuk mengubah pola pikir itu. Repotnya, pola pikir ini sudah jadi kebiasaan turun temurun, sehingga sangat sulit untuk diubah. Perlu ada langkah dramatis yang dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan.
Para pegawai negeri terbiasa dengan pola pikir bahwa uang kantor adalah uang negara. Negara dianggap punya banyak uang, jumlahnya tak terbatas. Lebih penting lagi, uang itu tentu bukan uang mereka. Artinya, mengeluarkan uang itu tidak mengganggu keuangan pribadi mereka. Anggaran tidak dianggap sebagai dana yang dikumpulkan oleh pemerintah dengan kerja keras, bahkan sebagiannya berasal dari utang yang kelak harus dibayar berikut bunganya. Pengguna anggaran tidak bernalar bahwa setiap pemborosan yang mereka lakukan akan berakibat pada diri mereka juga kelak.
Pegawai negeri juga terbiasa dengan pola pikir bahwa gaji bukanlah satu-satunya sumber penghasilan. Pegawai maupun calon pegawai tahu betul bahwa gaji pegawai negeri itu kecil. Mereka tidak keberatan jadi pegawai, karena mereka tahu ada sumber-sumber penghasilan lain di luar gaji. Pembuatan program-program kegiatan yang memakai anggaran dasar utamanya bukan untuk mengoptimalkan kinerja, tapi untuk menambah penghasilan.
Apa solusinya? Naikkan gaji pegawai negeri. Tapi, itu bukan solusi yang mudah. Pemerintah tidak punya cukup dana untuk membayar gaji pegawai kalau gaji semua pegawai dinaikkan. Gaji dinaikkan secara bertahap berdasarkan lembaga. Mulainya tentu saja dari lembaga yang mengurus keuangan negara, yaitu Kementerian Keuangan. Instansi lain entah kapan.
Celakanya, kenaikan gaji itu pun tak serta merta mengubah mental boros tadi. Sudah naik gaji pun masih banyak juga yang tidak profesional, tidak produktif, boros, bahkan korup.
Mengubah ini semua tidak cukup dengan hanya mengutak-atik anggaran, sistem pengawasan, dan remunerasi saja. Ini semua terkait dengan cara kerja birokrasi secara menyeluruh. Birokrasi adalah organisasi raksasa. Untuk sekadar berkomunikasi dan koordinasi saja sudah sulit, sampai-sampai perlu ada lembaga khusus yang bertugas mengurusi keperluan itu. Juga perlu acara-acara besar yang menghabiskan biaya banyak untuk sekadar berkomunikasi.
Organisasi besar membuat orang-orang yang memimpinnya merasa besar. Seorang pejabat eselon satu membawahi entah berapa ribu pegawai. Eselon II membawahi sampai ratusan pegawai. Orang-orang ini sering kali merasa dirinya adalah orang-orang besar dan penting. Perasaan itu lebih dominan ketimbang kesadaran soal peran untuk melayani masyarakat. Salah satu wujud rasa besar itu adalah dengan mengumpulkan semua bawahan untuk rapat. Ada begitu banyak anggaran dihabiskan untuk rapat-rapat jenis ini.
Mengubah pola pikir soal anggaran seharusnya dimulai dengan mengubah pucuk-pucuk pimpinan birokrasi. Secara teknis tak sulit untuk mengubah cara kerja pegawai pemerintah. Kemajuan teknologi memungkinkan orang berkoordinasi jarak jauh tanpa perlu saling bertemu. Banyak rapat termasuk rapat-rapat besar yang mengharuskan orang bepergian dalam jumlah besar, bisa dihilangkan dengan teleconference. Masalahnya, maukah para birokrat tadi meninggalkan berbagai kebesaran mereka, dan menempatkan diri sebagai pelaksana kebutuhan masyarakat?
Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini