Namanya dikenal di kalangan murid-murid sekolahan, judul-judul karyanya dihafal dengan baik, sebagai bagian dari sastrawan Indonesia yang oleh HB Jassin digolongkan dalam Angkatan 66. Berbeda dengan nama-nama lainnya dari angkatan tersebut, yang praktis benar-benar "tinggal nama", barangkali hanya Nh Dini yang karyanya masih mudah dijumpai di toko-toko buku karena terus dicetak ulang, dan bahkan masih terus menerbitkan karya baru pada era-era belakangan.
Hingga awal tahun 2018 ini, ia masih menerbitkan karya, berjudul Gunung Ungaran: Lerep di Lerengnya, Banyumanik di Kakinya, yang ternyata menjadi karya terakhirnya. Kabar kematiannya mengagetkan banyak orang, sebab bukan karena sakit atau memang usia yang sudah senja, melainkan akibat kecelakaan lalu lintas. Para penggemarnya, dan pembaca buku-bukunya pada umumnya, segera bertukar tangkap kenangan di media sosial.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Atau, sebaliknya, buku-buku Nh Dini menguji dan melatih kesabaran pembacanya. Semua itu tak lain merujuk pada gaya kepenulisan Nh Dini, yang oleh sebagian orang dikesankan membosankan, dan itu disadarinya sendiri, oleh pilihannya "mempergunakan bentuk sederhana, yang oleh beberapa orang dinamakan gaya konvensional." Namun, Dini percaya, "dengan gaya kuno ini pun saya bisa mencapai keunikan."
Dini tahu, dan memang begitulah faktanya, cerita-ceritanya banyak dibaca dan disukai orang. Yang membuatnya sempat mengeluh justru bagaimana karya-karyanya yang melimpah itu dibaca dengan cara yang "salah". Banyak di antara karya Nh Dini yang diniatkannya sebagai "souvenir", demikian ia menyebutnya, yaitu cerita kenangan, sebuah genre yang mengikuti tradisi dalam khazanah sastra Prancis, tempat ia pernah cukup lama bermukim. Namun, orang-orang menganggapnya sebagai novel.
Pembacaan yang salah itu, menurut Dini, "menjurus ke satu tanggapan yang meleset seluruhnya." Walaupun demikian, belakangan Dini pun mulai bisa menerima, bahkan mengaku senang, ketika buku-bukunya seri cerita kenangannya itu oleh sebagian pembaca dan kritikus disebut sebagai "novel biografis".
Di sinilah barangkali letak keunikan Nh Dini, yang tiada duanya, bahwa apapun yang ditulisnya, termasuk novel pertamanya yang kemudian identik dengan namanya, Pada Sebuah Kapal, sebenarnya selalu bernuansa biografis. Sudah menjadi "pertanyaan sejuta umat" bagi Dini, apakah tokoh Sri dalam novel itu adalah dirinya sendiri. Novel yang terbit pada 1972, ketika ia masih bermukim di Prancis itu, menjadi tonggak estetika kepenulisan Dini yang selalu menjadikan dirinya sendiri sebagai bahan cerita yang tiada habisnya.
Sebelumnya, ia telah menulis sejak akhir dekade 50-an, berupa cerita-cerita pendek yang dimuat di majalah-majalah sastra kala itu. Namun, sejak Pada Sebuah Kapal, karya-karya Dini selalu menceritakan tentang dirinya sendiri, sebagai sebuah cerita kenangan. Kecuali beberapa bukunya seperti Namaku Hiroko dan Tirai Menurun. Selebihnya, ia mengolah kisah hidupnya sejak kanak-kanak hingga dikenal sebagai salah satu nama yang diperhitungkan dalam dunia sastra di Indonesia. Dimulai dari Sebuah Lorong di Kotaku, disusul Padang Ilalang di Belakang Rumah, Langit dan Bumi Sahabat Kami, Sekayu hingga Kuncup Berseri. Lima seri awal cerita kenangan ini mengisahkan masa kecil hingga remaja NH Dini di kota kelahirannya di Semarang.
Dari situ, karyanya terus mengalir. Bagaimana kemudian dia meniti karier sebagai pramugari di perusahaan maskapai penerbangan nasional hingga bertemu jodohnya, seorang pria asing berkebangsaan Prancis, bisa dibaca pada buku seri cerita kenangan berjudul Kemayoran. Nyaris tak ada yang luput dari kehidupan Nh Dini bagi pembaca setia karya-karyanya. Bagaimana kemudian rumah tangganya yang dibangun dari budaya dua bangsa itu berakhir, yang membuat Dini harus menghidupi dirinya dengan berbagai cara di negeri orang, membesarkan dua anaknya seorang diri pada awalnya, menumpang hidup pada sahabatnya (baca: La Barka), hingga kemudian ketika anak-anaknya mulai dewasa ia hidup memisahkan diri, bekerja menjadi pengasuh orang tua di sebuah keluarga Prancis (baca: La Grand Borne).
Dini kembali ke Indonesia pada 1980, tinggal di tempat saudaranya di Jalan Lembang, Menteng, Jakarta (baca: Dari Rue Saint Simon ke Jalan Lembang). Kala itu usianya masih relatif muda, baru di pertengahan 40-an. Ia menghidupi dirinya dengan terus menulis buku-buku seri cerita kenangan, dan menerima proyek-proyek pesanan penulisan. Perkenalannya dengan pengelola Penerbit Gaya Favorit Press (Femina Group) mengantarkannya pada riset dan penulisan biografi penyair Amir Hamzah, dan menghasilkan buku Amir Hamzah: Pengeran dari Seberang.
Keberuntungan demi keberuntungan menyambangi Nh Dini. Nama besarnya sebagai penulis yang pulang ke Tanah Air menarik perhatian masyarakat, termasuk salah satunya organisasi lingkungan hidup, Walhi untuk melibatkannya dalam sejumlah proyek, hingga membuatnya berkenalan dengan Emil Salim, Menteri Lingkungan Hidup waktu itu. Dari relasi-relasi itu lahirkan laporan-laporan jurnalistik Dini tentang lingkungan hidup, dan sosial-budaya pada umumnya. Persahabatannya dengan Mochtar Lubis yang memimpin penerbitan Yayasan Obor, memberinya pekerjaan menerjemahkan novel Albert Camus, La Peste (Sampar).
Ia juga bertemu kembali dengan teman lamanya, pelukis kiri Amrus Natalsya, yang kemudian mengajaknya pergi ke hutan Kalimantan untuk sebuah proyek yang cukup lama. Tugas Dini menjadi kepala bagian rumah tangga yang mengurusi makanan sehari-hari tim Amrus. Awal tahun 2000-an ia pindah ke Yogyakarta untuk mencari kehidupan yang lebih menenangkan. Ia mengelola pondok baca, dan mengalami masa ketika kota itu diguncang gempa hebat, sebelum akhirnya pindah lagi ke tempat yang lebih sepi yaitu di Lerep di lereng Gunung Ungaran --mendekati kota kelahirannya Semarang.
Di Lerep, ia tinggal di Wisma Lansia Langen Werdasih. Atas bantuan Gubernur Jawa Tengah (kala itu) Mardianto, ditambah juga uluran tangan dari sahabatnya, Bondan Winarno (yang waktu itu sudah mulai terkenal sebagai pembawa acara kuliner di tivi) yang berkunjung, ia membangun tempat tinggalnya sebagai "Wisma Nh Dini" yang nyaman bagi dirinya. Kendati hidup menyepi, aktivitasnya tak berhenti. Sampai 2007 ia masih sebulan sekali wara-wiri ke Jakarta sebagai anggota Akademi Jakarta, untuk rapat di TIM. Pada tahun itu pula, ia diundang ke Seoul untuk acara Pertemuan 100 Pengarang Asia Afrika, bertemu antara lain pengarang terkenal Mesir Nawal el Saadawi.
Lewat buku-buku seri cerita kenangannya, Dini menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, blak-blakan, dan selalu berterus-terang. Ia mengeluhkan panitia sebuah acara yang mengundangnya yang tidak memberikan pelayanan sesuai harapan, atau bahkan tak segan-segan mengungkapkan kekecewaannya pada honor yang diterimanya. Kadang, ia mengeluhkan perilaku mahasiswa-mahasiswa yang datang kepadanya untuk melakukan riset skripsi, dan tidak membawa oleh-oleh apa-apa.
Di sisi lain, Nh Dini adalah pribadi yang selalu bersyukur. "Matur nuwun, Gusti Allah!" adalah mantra yang selalu diucapkannya. Tahun-tahun terakhir hidupnya, ia masih terus berusaha mencari ketenangan, dengan berpindah ketika Lerep mulai berkembang dan berubah menjadi desa yang dirasanya terlalu ramai. Dini memang selalu mendambakan kehidupan yang tenang, selaras antara keinginan yang tersisa di usia tua dengan lingkungan yang memenuhi naluri kecintaannya pada keharmonisan. Ia temukan wisma lain yang membuatnya lebih tenang, di kawasan Banyumanik, atau semakin dekat lagi dengan kota kelahirannya.
Buku terbuka itu kini telah menutup dirinya, dengan kisah yang barangkali di luar dugaan siapapun. Setelah menjalani kehidupan sendiri sebagai lansia, berpindah-pindah dari satu wisma ke wisma lain, menunjukkan kemampuan dan kemandirian sebagai sosok yang harus menghidupi dirinya sendiri dengan penuh martabat dan kehormatan, dengan diberkahi begitu banyak keberuntungan, kabar kecelakaan yang menimpanya sungguh menyesakkan dada. Seolah mengingatkan kembali, alangkah fana hidup ini.
Dari Nh Dini, kita semua, pembaca buku-bukunya, belajar bahwa ada kalanya dalam hidup ini, kita hanya bisa bersandar pada kenangan. Dan, jika ternyata itu sudah cukup bisa menghidupi, dan memberikan kebahagiaan, apalagi? Selain bisik lirih, matur nuwun, Gusti...!"
Mumu Aloha wartawan, penggemar Nh Dini
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini