Pemerintah secara resmi meluncurkan kembali kebijakan relaksasi (pelepasan) terhadap bidang industri domestik yang masuk dalam daftar negatif investasi (DNI). Pada 2017 kebijakan ini sudah pernah digulirkan, dan masuk dalam paket kebijakan ekonomi ke-16. Penyusunan DNI dimaksudkan untuk melindungi industri (pengusaha) domestik dari "serangan" modal asing yang dimiliki industri pesaing asing. Maknanya, jika suatu bidang industri masuk dalam DNI, maka pemerintah bisa membatasi kepemilikan modal asing dalam bidang industri itu.
Sehubungan dengan kebijakan itu, kepemilikan modal asing tidak lagi dibatasi. Pengusaha asing diperbolehkan menanamkan modalnya hingga 100 persen pada bidang industri tertentu yang dicabut dari DNI. Terdapat 54 bidang usaha yang penguasaan modalnya bisa dimiliki asing hingga 100 persen.
Namun, belakangan pemerintah "meralat" jumlah bidang usaha yang modalnya boleh dikuasai asing hingga 100 persen itu hanya 25 bidang usaha, bukan 54 sebagaimana dipersepsikan publik. Sementara, sebagian besar bidang usaha yang direlaksasi masuk kelompok E yang sejatinya tidak hanya penanaman modal dalam negeri (PMDN) yang diperbolehkan 100 persen, namun penanaman modal asing (PMA) pun diizinkan sampai 100 persen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Motif Relaksasi
Pertanyaan yang patut didiskusikan adalah motif utama apa yang mendorong pemerintah mengambil kebijakan pelepasan DNI? Adakah jaminan kebijakan ini tidak mengarah pada liberalisasi ekonomi yang notabene berseberangan dengan ekonomi kerakyatan?
Pertanyaan yang patut didiskusikan adalah motif utama apa yang mendorong pemerintah mengambil kebijakan pelepasan DNI? Adakah jaminan kebijakan ini tidak mengarah pada liberalisasi ekonomi yang notabene berseberangan dengan ekonomi kerakyatan?
Pelemahan kinerja ekonomi tak dapat dimungkiri menjadi faktor yang mendorong pemerintah mengambil kebijakan pelonggaran DNI. Terutama defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit-CAD), rendahnya minat investasi asing, rendahnya nilai ekspor, rendahnya pertumbuhan industri pengolahan, dan minimnya devisa hasil ekspor (DHE) yang pulang ke Tanah Air.
Pada kuartal III-2018, kinerja perdagangan Indonesia mengalami penurunan. Hal itu ditandai dengan defisit neraca transaksi berjalan mencapai 8,8 miliar dolar AS atau 3,37 persen dari nilai produk domestik bruto (PDB). Sementara, pada periode Januari-September tercatat defisit (CAD) sebesar 3,8 miliar dolar AS (BPS, 2018). Pelebaran defisit tersebut bersumber dari neraca perdagangan migas dan non-migas, di mana tekanan impor diduga menjadi penyebab merosotnya kinerja perdagangan.
Pertumbuhan impor melampaui pertumbuhan ekspor, padahal pemerintah sekitar 3 bulan yang lalu membatasi impor, namun tampaknya tidak berjalan efektif karena faktanya pertumbuhan impor masih relatif tinggi. Sehingga cara lain yang ditempuh pemerintah untuk mengurangi pelebaran CAD adalah menggenjot ekspor komoditas bidang industri yang masuk DNI. Argumentasinya, dengan dicabutnya bidang industri DNI (mayoritas digarap UMKM), masuknya modal asing hingga 100 persen diharapkan bisa memperkuat atau memperbesar ukuran aset (size) UMKM, yang pada gilirannya bidang industri tersebut mampu meningkatkan kapasitas produksi komoditas ekspornya.
Lindungi UMKM
Dalam lima tahun terakhir, kinerja investasi (PMA/PMDN) di bidang industri pengolahan mengalami penurunan. Bahkan sepanjang 2018 pertumbuhan PMDN pada industri pengolahan (sektor sekunder) cenderung negatif, yakni tumbuh minus 13,39 (ctc) dan PMA tumbuh minus 24,30 persen (ctc). Padahal pertumbuhan ekonomi kita sebagian besar disumbang oleh industri pengolahan yang mencapai 4,33 persen atau 19,66 persen dari PDB (BPS, 2018). Sehingga untuk mengerek kinerja investasi, tampaknya pemerintah merasa perlu melonggarkan DNI dengan harapan PMA mengalir deras ke Tanah Air, terutama pada bidang industri yang selama ini kepemilikan modal asingnya dibatasi oleh pemerintah.
Dalam lima tahun terakhir, kinerja investasi (PMA/PMDN) di bidang industri pengolahan mengalami penurunan. Bahkan sepanjang 2018 pertumbuhan PMDN pada industri pengolahan (sektor sekunder) cenderung negatif, yakni tumbuh minus 13,39 (ctc) dan PMA tumbuh minus 24,30 persen (ctc). Padahal pertumbuhan ekonomi kita sebagian besar disumbang oleh industri pengolahan yang mencapai 4,33 persen atau 19,66 persen dari PDB (BPS, 2018). Sehingga untuk mengerek kinerja investasi, tampaknya pemerintah merasa perlu melonggarkan DNI dengan harapan PMA mengalir deras ke Tanah Air, terutama pada bidang industri yang selama ini kepemilikan modal asingnya dibatasi oleh pemerintah.
Penurunan nilai investasi pada industri pengolahan berimbas pada penurunan kinerja ekspor. Hal itu lantaran volume komoditas ekspor yang dihasilkan industri pengolahan juga mengalami penurunan karena kemungkinan adanya keterbatasan modal. Misalnya pada 2017 ekspor kita mencapai 168,8 miliar dolar AS. Nilai itu tercatat sebagai nilai ekspor tertinggi sejak 2015. Namun sayangnya pada Januari- September 2018 nilai ekspor menurun drastis menjadi 135 miliar dolar AS. Oleh karenanya, pelepasan DNI diharapkan bisa mendongkrak nilai ekspor yang bersumber dari bidang industri yang mendapatkan suntikan dana dari PMA.
Pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS beberapa bulan terakhir turut menggerus cadangan devisa Indonesia. Bahkan sejak awal 2018, cadangan devisa kita tergerus sebesar 13,6 miliar dolar AS. Sementara, rasio cadangan devisa terhadap PDB kita terendah di kawasan ASEAN, yakni 14 persen --bandingkan misalnya Filipina (26 persen) dan Thailand (58 persen).
Kondisi itu diperparah lagi dengan DHE yang masih banyak diparkir di luar negeri. Bank Indonesia (2018) mencatat, pada kuartal II-2018 nilai total ekspor sebesar 43,7 miliar dolar AS, tapi DHE yang ditukarkan dengan rupiah hanya sebesar 4,4 miliar dolar. Situasi itulah yang mendorong pemerintah mencabut DNI dengan harapan terjadi arus masuk devisa ke dalam negeri melalui PMA pada bidang industri yang telah direlaksasi.
Betapapun pertimbangan melepas DNI dipandang logis untuk menyelamatkan kondisi ekonomi makro, tapi pertumbuhan UMKM/Koperasi harus tetap dirawat dan dilindungi negara, mengingat UMKM berperan sebagai tulang punggung perekonomian kita, dan terbukti tahan terhadap terpaan krisis ekonomi. Oleh karena pemerintah tidak boleh membiarkan UMKM berhadapan langsung dengan pemilik modal asing dalam persaingan yang cenderung brutal ini. Relaksasi boleh saja dilakukan, namun jangan sampai menyebabkan UMKM berpindah ke tangan asing.
Imron Rosyadi Lektor Kepala Bidang Manajemen Keuangan pada FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini