Cita-Cita Persatuan Umat Islam
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Kang Hasan

Cita-Cita Persatuan Umat Islam

Senin, 03 Des 2018 10:35 WIB
Hasanudin Abdurakhman
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Hasanudin Abdurakhman (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Sejak saya masih anak-anak pada tahun 70-80-an saya sering mendengar harapan orang tentang persatuan Islam, yang disampaikan dalam berbagai ceramah di forum pengajian. Pada zaman itu suasana tidak bersatu memang cukup terasa. Antara masjid yang melantunkan doa qunut pada Salat Subuh dengan yang tidak, yang azan dua kali pada Salat Jumat dengan yang azan sekali, dianggap sangat berbeda. Yang melantunkan doa qunut merasa tidak nyaman salat di masjid yang tidak melantunkan. Demikian pula sebaliknya.

Di tengah maraknya perbedaan itu, banyak ulama yang menyerukan persatuan. Perbedaan-perbedaan itu hanyalah menyangkut soal-soal yang ringan saja, bukan soal pokok dalam ajaran Islam. Itu adalah soal di mana orang boleh berbeda, yang disebut khilafiyah. Mereka menyerukan agar perbedaan itu tidak dipermasalahkan.

Pada tahun 90-an perbedaan makin ramai oleh berkembangnya sejumlah paham baru, seperti Ikhwanul Muslimin (dikenal sebagai Jamaah Tarbiyah), Jamaah Tabligh, dan Salafi. Dalam soal Jamaah Tarbiyah, dimensi perbedaannya tidak hanya sebatas soal-soal khilafiyah. Juga tidak hanya menyangkut soal inadah ritual, melainkan menyangkut sikap politik. Jamaah Tarbiyah ini berkembang menjadi partai politik, yang kini kita kenal dengan nama Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jamaah Tarbiyah dalam gerakannya menjadikan aktivis organisasi Islam sebagai target binaan. Banyak aktivis NU dan Muhammadiyah yang mereka garap. Orang-orang itu kemudian menganut paham baru, kemudian berusaha menerapkannya di tempat ia berada. Perlahan NU dan Muhammadiyah diwarnai oleh paham Tarbiyah. Sebagai reaksi, muncul penolakan. Pada 2006 PP Muhammadiyah sampai mengeluarkan Surat Keputusan yang menyerukan kepada warganya untuk "mewaspadai" PKS, dan tetap menjaga prinsip-prinsip Muhammadiyah.

Tentu saja dalam suasana itu suara-suara yang menginginkan agar umat Islam bersatu terus digemakan. Itulah uniknya. Orang-orang Islam sadar betul bahwa mereka ingin bersatu, sesuai dengan tuntutan ajaran Islam. Tapi, ada begitu banyak perbedaan yang membuat mereka begitu sulit bersatu.

Sebenarnya dalam hal apa umat Islam itu berbeda? Tak berapa lama setelah Nabi wafat, telah terjadi perbedaan penting dalam tubuh umat Islam, yaitu soal siapa yang akan menjadi pemimpin menggantikan Nabi. Orang-orang Madinah berkumpul di rumah Saad bin Ubadah untuk menetapkan pemimpin. Abubakar dan Umar segera datang untuk mengoreksinya, sehingga kemudian Abubakar terpilih menjadi khalifah. Setelah itu relatif tidak ada perpecahan selama 12 tahun sampai usainya masa kepemimpinan Umar bin Khattab. Pada zaman Usman bin Affan pemberontakan mulai marak. Pada zaman Ali bin Abi Thalib perpecahan berubah menjadi perang terbuka. Ada 2 perang besar di masa itu, yaitu Perang Unta antara Ali dan Aisyah, dan Perang Siffin antara Ali dan Muawiyah.

Pada masa selanjutnya perpecahan tidak pernah berhenti. Ironis memang. Orang-orang Islam pada waktu itu berperang ke sana ke mari, memperluas wilayah kekuasaan, tapi antarmereka sendiri juga berperang. Imperium Bani Umayyah yang dibangun oleh Muawiyah setelah merebut kekuasaan dari Ali, diruntuhkan oleh klan Abbasiyah, yang mengaku sebagai keturunan Abbas, paman Nabi. Keturunan Muawiyah lari ke Eropa mendirikan imperium Umayyah II. Sejak itu tidak ada lagi imperium tunggal.

Ini adalah cerita politik, soal orang-orang yang berebut kuasa. Dalam hal ajaran, Islam itu satu, yaitu ajaran tauhid. Ada berbagai perbedaan interpretasi di bawahnya, tapi itu pada dasarnya tidak memicu perang. Sebaliknya, justru ada konflik dalam perebutan kekuasaan yang kemudian berujung pada terbentuknya perbedaan pemikiran akidah.

Di Indonesia ceritanya kurang lebih sama. Kerajaan-kerajaan Islam Nusantara dulu saling berperang antarmereka. Bahkan orang-orang dalam satu kerajaan saling berperang, membuat kerajaan pecah belah. Itulah yang dulu dimanfaatkan oleh VOC, sehingga mereka bisa menguasai Nusantara.

Pada masa yang lebih modern, umat Islam pernah punya Masyumi, sebuah organisasi politik yang diniatkan sebagai wadah tunggal politik umat Islam. Organisasi ini didirikan oleh para tokoh NU, Muhammadiyah, dan kelompok lain. Tapi, organisasi ini sudah pecah sebelum pemilihan umum dilaksanakan. NU keluar, membentuk partai sendiri. Kelak Muhammadiyah pun menjauh.

Ketika rezim Soeharto tumbang, berbagai kelompok segera menyusun kekuatan, bangkit mendirikan partai dengan identitas Islam yang selama pemerintahan Soeharto dilarang. Hasilnya adalah sejumlah partai yang saling sikut untuk memperebutkan suara umat Islam.

Jawaban atas pertanyaan awal di atas adalah, umat Islam berpecah dalam soal politik. Itu sudah terjadi sejak hari wafatnya Nabi. Banyak orang kesal dengan kenyataan ini. Kata mereka, kalau umat Islam bersatu, mereka akan menjadi kekuatan yang dahsyat. Masalahnya, kekuatan apa? Kekuatan politik.

Suka atau tidak, politik itu adalah soal menguasai. Impian umat Islam soal persatuan politik adalah bersatu agar kuat, agar bisa menguasai. Termasuk di situ adalah menguasai umat lain. Rumitnya, kekuasaan politik sering melupakan batasan umat tadi. Yang sering terjadi adalah kekuasaan politik menjadi milik sekelompok kecil orang. Yang berkuasa menikmati, sedang yang tidak kebagian, cemburu. Itu menjadi pangkal perpecahan.

Dalam hal yang bukan politik sebenarnya tidak banyak yang perlu dikeluhkan. Meski punya banyak perbedaan mendasar dalam pemikiran agama, NU Muhammadiyah bersatu, bahu membahu melakukan pembangunan di berbagai bidang, khususnya pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, untuk kesejahteraan umat Islam. Demikian pula berbagai organisasi lain. Tidak sulit menyatukan umat Islam dalam satu wadah.

Seharusnya umat Islam tak perlu risau benar soal persatuan politik tadi. Politik itu selalu culas, karena itu tidak perlulah resah terhadap soal-soal yang culas itu. Fokus perhatian seharusnya adalah bersatu membangun kesejahteraan. Terlebih, kita sangat tertinggal dalam penguasaan teknologi. Maaf, kalau sudah menyangkut soal ini, sulit kita temukan orang yang mau berjuang habis-habisan sampai rela menginap di masjid dan makan ala kadarnya untuk memperjuangkannya. Ini memang dunia yang berdimensi lain. Perlu kecerdasan berlipat-lipat agar orang mau dan mampu berjuang di dimensi ini.

Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads