Beberapa produk dipromosikan lewat kata "ukhuwah" atau "persatuan", membangkitkan suatu delusi bahwa membeli produk adalah upaya agar semangat dakwah bertambah. Tetapi, apa yang didakwahkan oleh Indonesia Tanpa Pacaran dan bagaimana mereka berdakwah? Sesuai identitas yang ada pada akun media sosial, mereka mendefinisikan diri sebagai gerakan perjuangan menghapus pacaran dari Indonesia.
Gerakan Indonesia Tanpa Pacaran (ITP) ramai dibicarakan sebab menyebarkan konten yang terlalu menyederhanakan persoalan anak muda. Kampanye anti-pacaran tidak dilakukan dengan menyebarkan konten progresif, seperti bagaimana kecerdasan dan keterampilan anak muda sebaiknya dikembangkan untuk masa depan dirinya dan dunia yang semakin kosmopolit, melainkan konten yang mengampanyekan pernikahan sebagai komoditas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keresahan berlapis karena sebagaimana bisnis dakwah lainnya, gerakan ini cenderung resisten kepada kritik. Memberi masukan kepada gerakan akan semena-mena dituduh sebagai anti-syariat atau anti hukum Allah.
Salah satu sayap bisnis yang juga dilakoni oleh La Ode Munafar, si penggagas gerakan, adalah seminar pranikah. Sayang sekali, melihat konten-konten di akun Instagram dan Youtube ITP, sepertinya materi seminar pranikah hanya berkisar soal perempuan yang harus menjaga kehormatan diri agar kelak dapat didatangi pria yang salih. Perempuan lajang acap digambarkan sebagai makhluk yang menunggu peruntungan, tidak memiliki suara, tidak punya hak untuk memilih dan tanpa kreativitas.
Kepada La Ode Munafar, saya menyarankan agar ia terus meningkatkan kualitas konten materi seputar pernikahan. Perempuan yang mulia tidak cukup dengan menantikan pria yang salih. Perempuan yang mulia mampu memuliakan dirinya sendiri dengan memilih laki-laki yang berpengetahuan.
Ketika dihampiri seorang lelaki, perempuan yang memuliakan dirinya tidak hanya melihat dari simbol-simbol keagamaan yang melekati tubuh laki-laki tersebut, tetapi wajib mengajaknya berdialog. Dialog pertama adalah tentang pandangan dan penghargaan laki-laki itu kepada tubuh perempuan. Bagaimana pandangan si laki-laki tentang seks yang konsensual dalam pernikahan? Pemerkosaan tidak hanya terjadi di luar lembaga perkawinan, tetapi juga di dalam lembaga perkawinan yang seringkali berujung kekerasan seksual kepada perempuan.
Perempuan juga perlu bertanya bagaimana visi si laki-laki tentang anak yang meliputi proses kehamilan dan proses menyusui yang diharapkan. Setelah atau sebelum kelahiran, pasangan harus bersepakat soal alat kontrasepsi. Seringkali, laki-laki tak peduli bahwa obat dan alat kontrasepsi memiliki efek buruk untuk tubuh perempuan. Aktivitas mengendalikan kehamilan dinilai sebagai urusan perempuan sehingga tubuh perempuan adalah satu-satunya yang bertanggung jawab untuk memakai kontrasepsi. Padahal, kegiatan reproduksi dalam lembaga perkawinan adalah tanggung jawab perempuan dan laki-laki.
Memasuki lembaga pernikahan jelas lebih memerlukan persiapan materi dan konsekuensi logis, dibanding kalimat-kalimat indah La Ode Munafar. Sebagian besar kasus perkawinan anak terjadi karena menganggap pernikahan adalah kegiatan yang sah dilakukan secara tradisi dan hukum agama, lebih-lebih untuk menghindari zina. Perkawinan anak tak lagi mempertimbangkan aspek fundamental sebagai bekal mengarungi lembaga pernikahan seperti kemapanan ekonomi, kesiapan mental dan reproduksi, sehingga timbul kasus-kasus seperti KDRT, kehamilan berisiko, bayi gizi buruk, hingga angka kematian untuk ibu dan anak.
Namun, perempuan tetap saja target utama sekaligus calon konsumen gerakan bisnis dakwah Indonesia Tanpa Pacaran. Akun seperti @CalonUmiSholihah pun tersedia. Grafis yang mereka produksi adalah gambar perempuan dengan cadar, perempuan menunduk, atau dalil-dalil yang menjustifikasi bahwa tempat terbaik perempuan adalah di dalam rumah. Skema grafis muslimah semacam itu melanggengkan stereotip perempuan yang didefinisikan hanya oleh simbol yang menutup dirinya, padahal realitas keindonesiaan perempuan Indonesia didefinisikan oleh ragam budaya, profesi, sejarah, dan produk kreatif yang mereka ciptakan di ruang publik.
La Ode Munafar, dalam materi yang ditujukan kepada perempuan, seharusnya tak perlu menganugerahi perempuan dengan gelar mulia jika yang dimaksud adalah semata ketundukan. Ketundukan adalah persetujuan bahwa laki-laki selalu superior. Padahal relasi hubungan laki-laki dan perempuan seharusnya adalah kesalingan (mubaadalah) yang merepresentasikan kesetaraan dan kerja sama.
Sebuah gambar yang diunggah akun Indonesia Tanpa Pacaran menyatakan bahwa sifat dasar wanita adalah selalu senang pada keindahan, selalu ingin tampil dalam keadaan yang terhormat di segala aspek, dan memiliki sifat sensitif yang jauh lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Pada sebuah video, La Ode Munafar menyatakan bahwa perempuan suka bermain masak-masakan karena sifat dasarnya yang suka menghibur. Pernyataan itu menebalkan stereotip basi tentang polarisasi gender. Perempuan digambarkan seperti gelas yang mudah pecah dan rusak, atau tulang rusuk yang bengkok.
La Ode Munafar terbukti gagal pada pelajaran paling dasar soal gender, bahwa sifat manusia adalah sesuatu yang netral. Setiap manusia, apa pun jenis kelaminnya memiliki sisi maskulin dan feminin dalam kadar tertentu yang dipengaruhi oleh berbagai aspek. Merendahkan akal perempuan sama saja tak punya malu kepada Tri Risma Harini yang membawa Surabaya kepada Guangzhou International Award, dan Susi Pudjiastuti yang meraih Peter Benchley Ocean Awards.
Di berbagai belahan dunia, anak muda muslim telah menerima modernitas sebagai kenyataan hidup dan tidak merasa memiliki pertentangan dengan keimanan mereka. Anak muda muslim itu berjuang melepaskan diri dari stereotip Arabisasi di Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika lewat berbagai musik, film, komedi, dan kampanye kreatif seperti gerakan blacklivesmatter dan gerakan anti-ISIS.
Sebelum merasa lebih berhak mengatur apa yang dosa dan mulia untuk perempuan, La Ode Munafar dan penceramah laki-laki lain yang masih merasa superior semata karena kelelakiannya, ada baiknya menuntaskan persoalan pribadinya lebih dulu: maskulinitas yang rapuh dan inferior.
Kalis Mardiasih menulis opini dan menerjemah. Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama. Dapat disapa lewat @mardiasih
(mmu/mmu)