Perusahaan teknologi keuangan (fintech) yang menyediakan jasa pinjaman online (peer to peer lending--P2P) menuai sorotan. Beberapa fintech P2P diduga melakukan pelanggaran, terutama dalam proses penagihan. Mulai dari pelanggaran privasi dengan mengakses data pribadi nasabah tanpa izin, pengenaan bunga pinjaman di luar kewajaran, pelecehan seksual yang dilakukan oleh debt collector, hingga teror.
Tindakan-tindakan ala premanisme tersebut melanggar aturan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan. Dalam aturan itu di antaranya disebutkan bahwa fintech wajib menerapkan prinsip dasar perlindungan konsumen. Yaitu, transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data/informasi konsumen, dan penanganan pengaduan, serta penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat dengan biaya terjangkau.
Namun, berbagai aturan tersebut dilabrak. Terutama oleh fintech yang memang tak terdaftar di OJK. Tak ayal, debitur yang merasa dirugikan ramai-ramai mengadukan berbagai tindakan tak menyenangkan yang mereka alami.
Pengaduan terhadap fintech pinjaman online yang dicurigai liar ini sebetulnya sudah mencuat sejak dua tahun lalu. Data terbaru lebih mencengangkan. Setelah ada korban yang berani melapor dan bersuara di media, aduan melonjak. Kini tercatat ada lebih dari 500 aduan terhadap fintech pinjaman online. Maraknya kasus-kasus pinjaman online ini merupakan konsekuensi logis yang mengikuti spektrum primadona fintech yang semakin eskalatif.
Fintech tengah naik daun di jagat industri digital. Tak hanya memikat pebisnis lokal, namun juga mampu menyedot animo investor global untuk turut mengucurkan modal menghela bisnis fintech di Indonesia. Demam fintech. Istilah itu kerap kita dengar. Mengilustrasikan "booming" fintech yang melanda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meledaknya pertumbuhan fintech terutama dipicu oleh kebutuhan pembiayaan yang tinggi. Ini terlihat dari fintech yang didominasi oleh P2P. Dari 103 fintech yang terdaftar di OJK dan Bank Indonesia (BI) per Oktober 2018, sebanyak 73 di antaranya merupakan P2P.
Menurut OJK, kebutuhan pembiayaan UMKM mencapai angka Rp 1.700 triliun per tahun. Industri keuangan konvensional hanya mampu memenuhi Rp 700 triliun dari kebutuhan tersebut. Artinya, fintech punya peluang menikmati kue bisnis sebesar Rp 1000 triliun per tahun.
Financial Stability Board membagi fintech ke dalam empat jenis berdasarkan segmentasi bisnisnya. Yaitu, layanan pembayaran, agregator, risk and investment management, dan peer to peer lending atau pinjaman online.
Fintech Liar
Ada empat indikasi untuk mendeteksi fintech liar. Pertama, alamat tidak jelas. Fintech liar umunya tidak transparan mengenai identitas perusahaan. Alamat hingga jajaran direksi tidak pernah dicantumkan. Kedua, kurang selektif memberikan pinjaman. Ini karena fintech liar tidak memperhatikan aspek kehati-hatian (prudent) dalam menjalankan bisnis.
Bagi mereka, yang penting nasabah masuk dalam jebakan utang. Kemampuan membayar nasabah, itu soal nanti. Urusannya diserahkan ke debt collector. Tak heran, berbagai aduan yang mencuat umumnya timbul karena pelibatan debt collector. Ketiga, fokus pada pinjaman konsumtif. Tentu tidak semua pinjaman online yang menawarkan pinjaman konsumtif layak dicurigai sebagai fintech liar. Namun, bila ada fintech yang hanya punya satu produk, yaitu pinjaman konsumtif, maka fintech seperti ini perlu dipertimbangkan lagi.
Keempat, izin usaha meragukan. Perizinan untuk fintech sendiri terbagi dua. Fintech lending ke OJK, sedang fintech terkait sistem pembayaran diatur oleh BI. Sebelum menggunakan produk fintech, ada baiknya masyarakat memastikan bahwa fintech tersebut telah mendapatkan izin usaha yang dapat dengan mudah dikonfirmasi di website BI dan OJK.
Untuk menghentikan aksi fintech liar, perlu ditempuh langkah-langkah tegas dan terukur. Terutama sikap proaktif OJK dan BI, yang diikuti tindakan tegas pencabutan izin terhadap fintech bandel yang terbukti melanggar. BI sendiri dapat langsung menindak fintech liar, sebab ujung dari aktivitas bisnis mereka masuk ke sistem pembayaran dan perbankan yang jadi domain BI.
Sementara, fintech liar tak berizin menjadi wilayah kerja Kementerian Komunikasi dan Informatika. Kominfo sendiri sebetulnya sudah melakukan sweeping, dan tercatat telah memblokir 341 fintech ilegal. Jumlah yang amat masif.
Selain langkah penindakan, otoritas perlu mempertimbangkan langkah-langkah preventif. Antara lain, penyederhanaan perizinan untuk mencegah munculnya fintech liar. Pasalnya, para pelaku industri fintech masih mengeluhkan soal lama dan banyaknya proses perizinan yang harus dilalui. Proses perizinan yang berlapis dan birokratis bisa jadi pemicu munculnya fintech bandel beroperasi tanpa izin atau ilegal.
Kendati dituntut menyederhakan perizinan, otoritas juga mesti lebih selektif dalam mengeluarkan izin. Ketelitian dalam memberikan izin menjadi titik krusial. Terutama terkait izin yang langsung bersentuhan dengan konsumen. Misalnya untuk pengembangan fitur atau produk baru yang ditawarkan, seharusnya melalui proses screening oleh otoritas sebelum dirilis ke pasar. Meskipun secara kelembagaan, fintech yang bersangkutan sudah mendapat izin usaha.
Ringkasnya, otoritas harus cermat dan proporsional. Menempatkan kemudahan dan selektivitas dalam perizinan merupakan tantangan bagi regulator. Memastikan aspek kelayakan sebuah fintech beroperasi, termasuk juga soal fitur dan produk-produknya. Namun, pada saat yang sama proses-proses perizinan tersebut tak boleh menghambat pertumbuhan fintech yang amat dibutuhkan untuk menciptakan inklusi keuangan.
Sambutan Hangat
Presiden Joko Widodo sendiri telah menegaskan pentingnya mendukung eksistensi fintech di Indonesia. Dalam pidatonya di depan Bali Fintech Forum di sela Annual Meeting IMF-Bank Dunia yang digelar Oktober lalu, Presiden Jokowi berpesan agar fintech direspons dengan light touch. "Jadi kita harus sikapi gelombang inovasi dengan regulasi yang lembut dan ruang yang aman bagi inovasi," ujar Presiden Jokowi di hadapan Direktur IMF dan Bank Dunia.
Pesan presiden tersebut diterjemahkan sebagai sambutan hangat dan keterbukaan pemerintah dalam menerima inovasi teknologi. Pernyataan yang berulang kali disampaikan oleh Presiden di berbagai kesempatan dan konteks yang berbeda. Pemerintah sangat welcome dan memberi jalan yang landai bagi perkembangan anasir-anasir ekonomi digital. Sentrum masa depan ekonomi dunia yang juga didaulat sebagai tumpuan ekonomi Indonesia.
Sambutan terhadap fintech seperti diingatkan Presiden harus berpijak pada aspek keamanan dan kenyamanan stakeholder ekonomi digital. Terutama bagi pelaku industri dan masyarakat. Pasalnya, jika industri fintech dibelit masalah, masyarakat dan pelaku industri yang paling kena getahnya.
Jusman Dalle Direktur Eksekutif Tali Foundation dan praktisi ekonomi digital