Revitalisasi Data Kakao
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Revitalisasi Data Kakao

Rabu, 28 Nov 2018 15:02 WIB
Hari Poerna Setiawan
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Revitalisasi Data Kakao
Perkebunan kakao di Yogyakarta (Foto: Hasan Alhabshy)
Jakarta -

Baru-baru ini pemerintah memutuskan memperbaiki dan merevitalisasi data beras agar lebih kredibel sebagai dasar pengambilan kebijakan (22/10). Menyusul langkah tersebut, beberapa kalangan minta agar pemerintah merevisi data produk pertanian lainnya. Berikutnya data jagung menuai kontroversi karena keputusan impor 50 ribu-100 ribu ton, anomali dengan data produksi yang surplus. Produk perkebunan lain yang datanya kacau adalah kakao.

Indonesia adalah penghasil biji kakao terbesar ketiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Pemerintah tak ingin hanya memasok bji kakao pada produsen cokelat dunia. Berbagai upaya dilakukan untuk meraih nilai tambah kakao di dalam negeri. Salah satu upaya pemerintah adalah hilirisasi kakao pada 2010 dengan pengenaan bea keluar biji atas ekspor kakao dengan Peraturan Menteri Keuangan No 67/PMK.011/2010.

Aturan tersebut terbukti efektif. Industri pengolah kakao global mulai masuk untuk investasi. Dua investor besar Eropa telah merealisasikan investasinya. Disusul satu raksasa pangan Amerika resmi investasi di sektor kakao. Industri domestik ikut bangkit dan bergairah, ditandai dengan naiknya kapasitas produksi.

Berdasarkan data Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), akumulasi investasi naik dari 200 juta dolar AS (2010) menjadi 635 juta dolar AS (2017). Kapasitas terpasang naik dari 345 ribu ton (2010) menjadi 800 ribu ton (2017).

Dua tahun terakhir muncul polemik data. Pangkalnya, data produksi biji kakao berbeda antara Kementerian Pertanian dan pihak lain. Industri sulit memperoleh biji kakao. Hal ini dibuktikan kapasitas terpasang 800 ribu ton hanya terpakai separuh saja, yakni 465.797 ton (2017).

Alih-alih memperoleh kemudahan supply, data Kementerian Pertanian yang menyebut produksi biji kakao aman bagi industri ternyata tak didapati di lapangan.

Polemik Data

Kementerian Pertanian mencatat, data produksi biji kakao pada 2014 sebesar 728.414 ton, dan pada 2015 turun akibat El Nino yang melanda Indonesia, menjadi 593.331 ton. Pada 2016 dan 2017 produksi naik lagi, masing-masing menjadi 658.339 ton dan 688.345 ton.

Sementara itu, AIKI dan International Cocoa Organization (ICCO --organisasi kakao internasional) mencatat jumlah yang berbeda. Menurut AIKI, pada 2014 produksi biji kakao sebesar 400.687 ton, lalu pada 2015 turun menjadi 377.345 ton. Pada 2016 dan 2017 makin menurun masing-masing menjadi 340.072 ton dan 260.183 ton.

ICCO merlis data biji kakao Indonesia sebagai berikut: pada 2014 produksi sebesar 350.000 ton, 2015 turun menjadi 325.000 ton. Pada 2016 dan 2017 makin anjlok, masing-masing menjadi 320.000 ton dan 290.000 ton. Bahkan, ICCO memprediksi pada 2018 produksi biji kakao Indonesia hanya 260.000 ton.

Data tiga pihak menyajikan angka yang berbeda satu dengan yang lain. Sebagai organisasi kakao di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ICCO tentu tidak merilis data sembarangan. ICCO merangkum seluruh supply-demand karena berpengaruh pada harga kakao di pasar global. Turunnya produksi Indonesia telah dicatat ICCO. Ini menjadi rujukan seluruh pemangku kakao. Tidak aga gunanya melanjutkan polemik data karena investor yang sudah telanjur masuk menunggu kepastian dan kejelasan.

Salah satu indikator industri kekurangan di dalam negeri adalah adanya kenaikan impor biji kakao. BPS mencatat, impor biji kakao 2009 sebesar 27.230 ton. Pada 2010, supply dalam negeri bertambah karena bea keluar menjadi beban bagi ekspor biji kakao. Petani dan pedagang menjual kepada industri di dalam negeri. Impor biji kakao turun menjadi 19.100 ton pada 2011. Namun, sejak 2014 impor biji kakao naik menjadi 109.410 ton. Pada 2015 impor turun menjadi 53.372 ton, lalu naik pada 2016 menjadi 61.016 ton. Hal yang merisaukan adalah impor 2017 melonjak menjadi 266.613 ton. Naiknya impor membuktikan industri kekurangan supply bahan baku.

Industri mengusulkan agar pemerintah menghapus bea masuk impor biji kakao 5 persen. Ini bertujuan agar impor tidak membebani industri. Indonesia tak punya perjanjian perdagangan bebas dengan negara Afrika sehingga impor berlaku tarif bea masuk umum sebesar 5 persen.

Selain Afrika, industri terpaksa impor dari Malaysia karena bea masuknya nol persen mengingat Indonesia punya perjanjian perdagangan bebas ASEAN (ATIGA). Namun, harga biji kakao Malaysia relatif mahal sebab sebagian berasal dari Afrika.

Jika data Kementerian Pertanian dipakai, mestinya tidak terjadi kekurangan. Namun, industri teriak kekurangan bahan baku. Ke mana perginya biji kakao? Bagaimana akurasi datanya? Kacaunya data ini menghambat pengambilan kebijakan, baik fiskal maupun sektoral.

Berkaca pada data beras, pemerintah perlu segera bertindak membenahi data kakao agar investor tak merasa terjebak karena telah berinvestasi membangun industri kakao di Indonesia.

Revitalisasi

Pemerintah bisa menempuh beberapa langkah dalam upaya revitalisasi data kakao. Pertama, informasi bahwa di beberapa wilayah telah terjadi alih fungsi lahan akibat harga kakao kurang menarik perlu dipastikan kebenarannya. Sebagaimana perbaikan data beras, pemerintah perlu menghitung kembali luas lahan kakao dengan kondisi terkini. Akurasi luas lahan penting dalam penghitungan produksi.

Data luas lahan kakao menurut Kementerian Pertanian adalah 1,6 juta hektar (2017), BPS 1,73 juta hektar (2017), sementara Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) memprediksi luas lahan kakao turun menjadi 1,1 juta hektar (2018). Selisih 0,6 juta hektar mesti diklarifikasi oleh pemerintah. Untuk itu urgensi penghitungan luas lahan tanaman kakao tak bisa ditunda lagi.

Dalam skala kecil pemerintah perlu melibatkan pihak-pihak yang memiliki wewenang atas pertanahan, seperti Kementerian Agararia dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Luas lahan berpengaruh pada jumlah produksi dan produktivitas.

Haruskah data kakao disikapi layaknya beras? Kakao memang bukan produk pangan pokok, tapi ini pertaruhan pemerintah di mata investor. Setelah investor menapaki karpet merah investasi, pemerintah wajib menjaga agar mereka betah.

Kedua, Kementerian Pertanian bersama seluruh pemangku kakao turun bersama ke lapangan melakukan survei ke daerah penghasil kakao. Meski butuh biaya tambahan, namun langkah ini mampu memberi pencerahan para pengambil kebijakan setelah melihat langsung kondisi riil di lapangan. Beberapa wilayah penghasil biji kakao dipilih menjadi sampel untuk dikunjungi. Dilakukan wawancara dengan petani, pihak pemerintah daerah, serta pelaku usaha setempat. Seluruh hasil survei dicatat, dan menjadi bahan pengambilan keputusan terkait produksi biji kakao. Semua pihak yang terlibat mesti meyakini hasilnya karena terlibat langsung dalam pelaksanaan survei.

Ketiga, menghitung produksi biji kakao menggunakan metode konversi. Jumlah produk hilir (kakao olahan) baik ekspor maupun konsumsi domestik dikonversi pada jumlah bahan baku yang digunakan. Data ekspor dan impor biji kakao maupun kakao olahan BPS dipakai sebagai basis penghitungan terbalik ini, ditambah dengan data proses produksi dari pihak industri. Jumlah kakao olahan ekspor plus konsumsi domestik dikonversi ke biji kakao yang dipakai. Hasilnya ditambah ekspor lalu dikurangi impor biji kakao, maka diketahui jumlah biji kakao yang diproduksi tahun tersebut.

Ketiga langkah tersebut bisa dilakukan simultan dan saling melengkapi. Data yang dihasilkan merupakan buah kerja ilmiah serta bisa dipertanggungjawabkan. Pada gilirannya pemerintah bisa memakai hasil revitalisasi data kakao sebagai dasar pengambilan kebijakan untuk meneruskan hilirisasi kakao.

Kepercayaan investor hendaknya tidak dicederai dengan ketidakmampuan Indonesia menyediakan bahan baku. Jika itu terjadi, pemerintah akan kesulitan membangun kembali kepercayaan investor yang pernah diperoleh sebelumnya.

Hari Poerna Setiawan analis di Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan; tulisan ini tidak mewakili pandangan organisasi

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads