Mencuatnya kasus ini mau tidak mau membuka kembali debat klasik ihwal pernikahan usia anak di Indonesia. Merujuk pada laporan bertajuk Kemajuan yang Tertunda: Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) bekerja sama dengan UNICEF, angka kawin anak di Indonesia terbilang tinggi.
Dalam laporan bertiti mangsa 2016 itu disebutkan bahwa setiap tahunnya tidak kurang dari 340 ribu perempuan Indonesia menikah di usia di bawah 16 tahun. Secara statistik jumlah itu setara dengan 46 persen dari total jumlah perkawinan di Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Harus diakui bahwa angka dan statistik itu boleh jadi tidak valid dan tidak merepresentasikan kondisi sesungguhnya. Lantaran, di lapangan banyak kasus kawin anak yang tidak didaftarkan secara resmi sehingga sukar diidentifikasi.
Fenomena kawin anak yang marak terjadi di masyarakat kita tentu berkelindan dengan problem sosial. Salah satu yang paling umum ialah faktor kemiskinan. Hal ini setidaknya dapat dibuktikan dengan data BPS bahwa wilayah-wilayah yang selama ini identik sebagai kantung kemiskinan adalah wilayah yang menyumbang angka kawin usia anak nisbi tertinggi.
Lazimnya paradigma yang berkembang di kalangan masyarakat bawah dengan latar belakang pendidikan rendah dan ekonomi lemah, menikahkan anak pada usia anak adalah solusi melepaskan diri dari jerat kemiskinan.
Namun, seiring berjalannya waktu, fenomena kawin anak nyatanya tidak hanya mengecambah di kalangan masyarakat bawah. Hari ini, kawin pada usia muda dan anak juga merambah di kalangan masyarakat kelas menengah perkotaan. Di kalangan masyarakat kelas menengah perkotaan fenomena kawin usia anak lebih sering merupakan ekses negatif dari pergaulan bebas.
Banyak orangtua memutuskan menikahkan anak pada usia belia agar tidak terjebak pada perilaku seks menyimpang, misalnya terjadi kehamilan di luar nikah. Keyakinan bahwa nikah di usia belia adalah solusi menghindarkan diri dari pergaulan bebas bahkan dikampanyekan oleh sejumlah pihak. Tempo hari, muncul gerakan Indonesia Tanpa Pacaran (ITP) yang salah satu agendanya adalah mengamplifikasi seruan nikah pada usia belia.
Keyakinan bahwa kawin usia anak merupakan mekanisme menyelesaikan problem sosial mulai dari kemiskinan hingga problem moralitas agaknya perlu dikoreksi. Pada kenyataannya, kawin usia anak justru potensial melahirkan sejumlah simpul persoalan baru.
Argumen nikah usia anak mampu membebaskan keluarga dari kondisi kemiskinan terbantahkan oleh temuan BPS bahwa hampir 90% pasangan kawin usia anak terpaksa tidak melanjutkan pendidikan. Ini artinya, mereka melepaskan kesempatan untuk mendapat ilmu dan pengetahuan demi meraih masa depan. Seturut data itu pula, sebagian besar pasangan nikah usia anak umumnya bekerja di sektor informal dan hidup dengan upah minimum yang tidak mencukupi untuk sekadar hidup layak.
Selain simpul kemiskinan baru, fenomena kawin usia anak juga berpotensi menambah banyak jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga. Usia remaja, dalam banyak literatur psikologi, sering diidentikkan sebagai masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Masa-masa ini umumnya ditandai dengan kondisi psikologis dan emosional yang labil.
Padahal, menikah adalah sebuah fase penting dalam kehidupan yang membutuhkan kesiapan, baik finansial juga mental-emosional. Ketidaksiapan anak secara psikologis dalam menjalani kehidupan rumah tangga berpotensi memunculkan konflik, bahkan kekerasan dalam rumah tangga. Jika itu terjadi, pihak pertama yang paling mungkin menjadi korban adalah perempuan.
Tidak diragukan lagi bahwa fenomena kawin usia anak muncul karena akumulasi berbagai sengkarut persoalan. Mulai dari persoalan ekonomi, moralitas, hingga pemahaman atas ajaran agama. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang memadukan langkah yuridis dan sosiologis untuk meminimalisasi praktik kawin usia anak.
Dalam konteks yuridis, pemerintah bersama DPR sepatutnya merevisi aturan terkait batas usia perkawinan. Selama ini, UU Nomor1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur batas minimal usia untuk menikah yakni 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Bahkan anak yang berusia di bawah aturan minimal itu pun tetap bisa menikah dengan persetujuan kedua orangtua.
Sejumlah pihak mendorong pemerintah dan DPR merevisi UU tersebut dan menaikkan usia minimal perempuan menikah sama dengan laki-laki, yakni 19 tahun. Hal ini penting untuk menghindari praktik pernikahan usia anak yang dalam banyak hal cenderung berpotensi merugikan perempuan.
Tidak kalah penting dari itu, diperlukan sebuah gerakan yang mampu membangun kepedulian (awareness) publik terhadap dampak buruk kawin usia anak. Gerakan ini penting mengingat sebagian besar masyarakat kadung adaptif pada praktik kawin usia anak.
Kematian perempuan berusia 16 tahun di Indramayu di tangan suaminya sendiri idealnya bisa menjadi momentum pembelajaran dan penyadaran publik. Bahwa, menikah membutuhkan setidaknya tiga hal penting, yakni kematangan organ reproduksi, kesiapan materi dan finansial, serta kestabilan emosi dan psikologis. Tiga variabel penting itulah yang sayangnya absen dalam praktik kawin usia anak.
Desi Ratriyanti pemerhati isu sosial, bergiat di Indonesia Muslim Youth Forum
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini