Ia dijerat Pasal 27 ayat (1) UU ITE setelah dilaporkan oleh mantan kepala sekolah SMAN 7 Kota Mataram, sekolah tempatnya pernah bekerja sebagai staf tata usaha. Kasus bermula saat Nuril kerap menerima pelecehan seksual verbal dari sang kepala sekolah, baik secara langsung maupun lewat panggilan telepon. Merasa risih, Nuril pun merekam percakapan bernada pelecehan seksual tersebut.
Sialnya, rekaman itu tersebar di kalangan kawan sesama pengajar, bahkan hingga ke lingkungan Dinas Pendidikan Kota Mataram. Buntutnya, sang kepala sekolah dimutasi dari jabatannya. Tidak terima dicopot dari jabatan dan dimutasi, sang kepala sekolah pun melaporkan Nuril. Persidangan di tingkat Pengadilan Negeri Kota Mataram memvonis Nuril tidak bersalah dan membebaskannya dari status tahanan kota.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ironi Penegakan Hukum
Kasus hukum yang menimpa Nuril adalah gambaran nyata ironi penegakan hukum di Indonesia. Perempuan penyintas pelecehan seksual yang seharusnya mendapat jaminan dan perlindungan hukum justru berakhir menjadi pesakitan lantaran dijerat UU ITE. Kasus ini sekaligus membuktikan untuk kesekian kalinya bahwa penerapan UU ITE dalam praktiknya kerapkali diwarnai oleh relasi kuasa yang timpang.
Konsep relasi kuasa (power relation) dipopulerkan pertama kali oleh filosof eksistensialisme asal Prancis, Michel Foucault. Secara sederhana, konsep relasi kuasa a la Foucoult dapat dipahami sebagai sebuah kondisi hubungan sosial yang diwarnai oleh wacana dan praktik hierarkisme.
Relasi kuasa bercorak hierarkis ditandai --salah satunya-- oleh adanya ketergantungan satu pihak (yang dikuasai) terhadap pihak lain (yang menguasai). Ironisnya, pola relasi ini lebih sering terjadi secara alamiah tanpa disadari oleh kedua belah pihak. Kekuasaan dominan, melibatkan berbagai macam variabel, mulai dari kepemilikan atas sumber-sumber ekonomi, jaringan sosial juga yang terpenting adalah akses pada pengetahuan. Dalam keyakinan Foucault, pengetahuan nyaris selalu berkorelasi dengan kekuasaan.
Dalam kasus yang dialami Baiq Nuril ini, tampak jelas bagaimana konsep relasi kuasa bermain dalam setidaknya dua konteks. Konteks pertama ialah pelecehan seksual yang dilakukan kepala sekolah terhadap Nuril merupakan bukti nyata masih adanya ketimpangan dalam hal relasi berlatarbelakang gender.
Dalam relasi kuasa gender yang cenderung timpang, perempuan kerap dilabeli secara negatif sebagai objek seks laki-laki. Nalar misoginis yang demikian inilah yang kerap menjadi dasar bagi praktik objektifikasi perempuan secara seksual.
Konteks kedua ialah pelecehan seksual yang dialami Nuril ini juga menandai adanya ketimpangan relasi kuasa yang berlatarbelakang struktural-birokratis. Seperti kita tahu, jabatan pegawai honorer adalah jabatan paling rendah dalam struktur birokrasi kita. Kondisi itulah yang memungkinkan bagi pihak yang memiliki otoritas birokratis-struktural --dalam hal ini adalah kepala sekolah-- untuk melakukan pelecehan seksual.
Asumsi ini kemudian terkonfirmasi oleh pengakuan Nuril bahwa dirinya enggan melaporkan perilaku biadab sang kepala sekolah lantaran takut dicopot dari jabatannya sebagai bendahara sekolah. Pola relasi yang timpang, di mana salah pihak mengalami ketergantungan pada pihak lain seperti ini memang rawan disalahgunakan.
Tidak sampai di situ, bahkan hingga ketika kasus ini bergulir ke ranah hukum pun, ketimpangan relasi kuasa itu tetap tampak jelas. Alih-alih mendapat perlindungan hukum, Nuril yang merupakan penyintas kasus kekerasan seksual justru dikriminalisasi melalui UU ITE.
Meninjau Kembali
Kemunculan UU ITE sebenarnya merupakan upaya pemeritah dan DPR untuk melindungi masyarakat Indonesia dari kejahatan digital serta pencurian data di internet. Sayangnya, dalam praktiknya ideal yang semacam itu justru banyak mengalami anomali dan pergeseran. UU ITE dalam banyak kesempatan justru tampil sebagai alat untuk membungkam kebebasan berbicara dan berekspresi. Tidak sedikit orang yang sebenarnya ingin menyuarakan kebenaran dan fakta justru terjerat pasal pencemaran nama baik lalu berakhir sebagai terpidana.
Dalih pencemaran nama baik dalam UU ITE kerap dipakai pihak yang sebenarnya bersalah, namun punya kuasa untuk mengalihkan substansi persoalan yang sesungguhnya. Hal ini juga terjadi dalam kasus pelecehan yang dialami Nuril. Identitasnya sebagai perempuan ditambah posisinya sebagai pegawai honorer, sebuah status terendah dalam struktur birokrasi kita, menyebabkan ia tidak memiliki posisi tawar kuat untuk mendapatkan keadilan.
Sebaliknya, modal sosial, finansial, serta struktural yang dimiliki kepala sekolah memungkinkannya untuk memutarbalikkan keadaan. Apa yang menimpa Nuril ini tentu menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Kasus ini seolah menegaskan pandangan bahwa keadilan hanyalah milik mereka yang memiliki kuasa pada sumber ekonomi dan kendali pada jaringan birokrasi-politik. Sebaliknya, bagi kaum papa keadilan hanyalah fatamorgana yang indah dalam konsep namun pahit dalam realitas.
Jalan panjang masih harus ditempuh oleh Nuril untuk menjemput keadilan. Mekanisme hukum mengharuskannya mengajukan Peninjauan Kembali (PK) agar ia terbebas dari vonis di tingkat MA. Presiden Jokowi telah menjanjikan akan memberikan amnesti jika Nuril kalah di tingkat PK. Langkah progresif ini tentu patut diapresiasi.
Namun demikian, langkah Presiden itu tentu tidak serta merta menjamin berakhirnya kontroversi terkait pasal-pasal dalam UU ITE, utamanya yang terkait dengan pasal pencemaran nama baik. Pemerintah bersama DPR idealnya melakukan peninjauan kembali atas pasal-pasal dalam UU ITE untuk menjamin sistem demokrasi dan penegakan hukum yang egaliter dan tidak dinodai dengan ketimpangan relasi kuasa.
Siti Nurul Hidayah peneliti pada Center for the Study of Society and Transformation
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini