Ketika Polarisasi Menyantap Nyawa Manusia

Sentilan Iqbal Aji Daryono

Ketika Polarisasi Menyantap Nyawa Manusia

Iqbal Aji Daryono - detikNews
Selasa, 27 Nov 2018 15:36 WIB
Iqbal Aji Daryono (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Akhirnya, polarisasi politik memakan korban nyawa. Berawal dari "duel" di layar gawai terkait dukung-mendukung kubu politik, dua lelaki di Sampang melanjutkan pertarungan mereka secara offline. Pisau ditebaskan, pistol rakitan ditembakkan. Salah satu tersungkur, dan tewas seketika.

Menjelang Pilpres 2014, kejadian yang hampir sama terjadi pula. Bermula dari debat pendukung Jokowi vs pendukung Prabowo di medan Twitter, dua pemuda di Jakarta bersepakat menyelesaikannya dengan gebuk-gebukan. Untung cuma tangan kosong, sehingga tak perlu ada nyawa melayang.

Cuma dua kasus ekstrem itulah yang saya ketahui, mudah-mudahan tak ada yang lain lagi. Selebihnya, berbagai perkelahian kata-kata dan baku pukul ejekan terus berjalan. Sebagian masih dalam koridor kesehatan sosial, sebagian lainnya sudah membawa kepada perpecahan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Rasanya, kalau kita bicara tentang perpecahan dan efek negatif pada kohesi sosial, tiba-tiba kalimat kita jadi terkesan moralis dan agak-agak norak-utopis. Padahal, dengan bukti nyata tumpasnya nyawa manusia, pantaskah situasi seperti ini dibiarkan terus begini-begini saja?

Lalu, siapa yang salah? Tentu saja banyak sekali pihak yang bersalah. Jujur, barangkali saya juga termasuk di dalamnya, karena saya pun sering terlibat dalam keributan di media sosial.

Namun, pernyataan Raja Juli Antoni yang merespons kasus Sampang tersebut cukup menarik. Sekjen partai yang kerap di-bully di mana-mana itu menduga bahwa ini merupakan dampak dari kelakuan elite politik yang kerap mempertontonkan gaya agresif untuk menyerang lawan politik.

Hmmm, baik, mari kita bicarakan para elite terlebih dahulu.

Beberapa bulan lalu, saya seforum dengan salah seorang elite politik nasional. Selepas forum, dia menceritakan banyak hal di belakang layar.

"Sebenarnya, kami ini ya biasa saja kalau di belakang, Mas. Ngobrol biasa, merokok bersama. Nah, tapi kalau Si X dan Si Y, mereka memang marahan beneran hahaha," katanya sambil menyebut dua nama tokoh yang kerap saling berhantaman di media massa. Soal seperti itu saya rasa sebagian orang sudah tahu.

Satu hal yang bagi saya sendiri agak baru adalah cerita berikutnya, tentang bagaimana para pengelola program dialog politik di televisi memang menghendaki suasana panas penuh gontok-gontokan.

"Jadi, kalau dialognya adem-adem saja, waktu kami rehat iklan, host-nya akan bilang, 'Ayo Pak, kurang panas nih, nanti rating kita jatuh,' begitu. Maka berantemlah kami pada sesi setelahnya, dengan kata-kata yang lebih keras dan tajam."

See? Anda tahu sekarang, bahwa ternyata media pun dengan sengaja ambil peran besar dalam panasnya situasi pertempuran kedua kubu dalam polarisasi ini. Apa yang sebenarnya adem ayem saja, ternyata dipaksa jadi panas. Semua demi rating acara televisi, sebab rating berarti iklan, dan iklan berarti uang.

Sementara itu, para penonton dialog tersebut dari berbagai kalangan membawa suasana pertarungan hingga ke kehidupan riil mereka. Dalam segenap keterbatasan akses informasi, mereka menyangka bahwa apa yang mereka tonton itu betulan, lalu dalam semangat yang begitu partisipatoris mereka melanjutkan semuanya hingga ke titik darah penghabisan.

Pendek kata, banyak dialog dan debat politik di televisi itu sesungguhnya berkelas sama belaka dengan sinetron. Bedanya, selepas menonton sinetron biasa, masyarakat awam tidak bertengkar beneran dengan tetangga. Lain halnya dengan apa yang mereka jalani seusai menyimak "sinetron-sinetron politik" itu.

Jadi, siapa yang kurang ajar di sini?

Selain media yang memang menghendaki suasana mendidih demi akumulasi kapital, para elite politik rasa-rasanya tidak memiliki semangat dan nilai moral dalam edukasi publik. Secara retorika memang mereka punya. Namun, orientasi pendidikan publik itu baru akan mereka laksanakan kelak setelah mereka menang dan memegang tampuk kekuasaan.

"Visi pendidikan kami nanti adalah...." Nanti, nanti. Lha wong mereka itu sebenarnya bisa mendidik publik sejak sekarang lho, sejak masa kampanye!

Tapi, apa mereka mau? Tentu saja sulit. Dalam masa kampanye, cara apa pun akan ditempuh. Ada sumber daya belasan ribu triliun rupiah yang akan bisa diakses oleh sang pemenang pertarungan. Jadi yang penting menang dulu, sedangkan rencana yang baik-baik ditaruh belakangan. Bagaimana mau mendidik publik dengan serius sejak sekarang, kalau bagi pihak lawan toh segala cara dihalalkan?

Begitu kira-kira jalan pikiran para elite, dalam imajinasi saya.

Saya ambil contoh dunia media sosial. Dalam media-media alias pers resmi, sebrutal-brutalnya kampanye negatif tetap masih ada kekang-kekang yang mengontrolnya. Ada Dewan Pers, ada sekian kode etik, ada lingkungan sosial sesama jurnalis, ada kritik dari penonton atau pembaca. Namun, dalam media sosial, batasan-batasan itu tidak ada.

Sialnya, di era pasca-kebenaran, publik sering tidak mampu membedakan antara informasi dari media resmi dan informasi dari medsos. Landasan pengetahuan publik belum sampai ke sana, sehingga kabar dari mana pun dianggap sama saja derajatnya.

Di saat yang sama, medsos mampu melakukan penetrasi dengan jauh lebih lincah daripada media resmi, masuk ke celah-celah sempit perbincangan massa buih, menyodorkan informasi dengan berbagai framing dan aneka hoax-nya.

Jelas, medsos punya kemampuan yang tidak dimiliki media-media pers resmi. Ada sebagian yang jelas melanggar hukum sehingga dicokok polisi, namun lebih banyak yang tidak.

Nah, dengan kekuatan sedahsyat itu, politisi mana yang mau mengabaikan medsos sebagai instrumen tempur mereka? Rasanya hanya politisi bodoh dan lugu yang tidak menggunakan medsos semaksimal mungkin!

Hasilnya, selain memakai akun-akun medsos resmi, para aktor politik juga menyusun kekuatan pasukan medsos siluman. Wilayah ini sangat remang-remang, tidak dapat diverifikasi secara legal, tapi banyak orang menyaksikan.

Saya juga sedikit mengerti wilayah itu, karena saya pun mengenal beberapa pemainnya, bukan cuma dari satu kubu. (Bahkan saya sendiri pernah ditawari masuk ke sebuah tim untuk melejitkan nama seorang tokoh, dengan tarif sangat menggiurkan, dengan syarat harus mau membikin berita dusta ini-itu. Hampir saya tergoda, untunglah saya ingat bahwa tanpa ikut bisnis begituan pun alhamdulillah saya masih bisa makan.)

Ringkasnya, perang opini dengan menghalalkan segala cara itu dijalankan lewat pasukan-pasukan medsos siluman, akun-akun bodong, akun-akun riil tapi berbayar, yang tidak terkekang dengan ketat oleh beragam aturan. Bagaimana bisa kita mengharapkan nilai-nilai moral dalam edukasi publik dapat berjalan?

Lalu, bagaimana solusinya?

Saya selalu membayangkan cara paling efektif, yaitu solusi struktural. Harus ada pemantauan tegas atas pengerahan akun-akun siluman, sebagaimana pengaturan tegas yang telah berhasil dijalankan pada slot iklan para politisi di media massa. Repotnya, memantau akun siluman tak bedanya memantau politik uang. Sulit, sangat remang-remang.

Solusi lain adalah rekayasa sosial. Langsung di hadapan Pak Ketua KPU saya pernah menyampaikan, jika para aktor politik diam-diam bisa mengerahkan laskar medsos siluman yang kian menjauhkan publik dari kesehatan jiwa komunal, kenapa pihak pemangku kebijakan yang terkait dengan ini tidak bisa menjalankan rekayasa yang sama, namun dari arah yang berbeda?

Konkretnya, negara (tolong bedakan antara "negara" dan "rezim") sangat bisa menyusun kekuatan, katakanlah pasukan medsos buzzer "kewarasan". Kewarasan di sini jangan diterjemahkan sebagai netralitas, sebab sikap netral dalam politik elektoral justru akan menjadi kegagalan negara dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pilpres.

Kewarasan yang saya maksudkan adalah: punya preferensi politik, tapi masih bisa "diajak rembukan", masih bisa saling berteman, masih bisa bercandaan, dan menolak sikap-sikap dehumanisasi dalam melihat lawan. Sesederhana itu, meski di hari ini terbukti sangat banyak orang yang tidak mampu atau tidak sudi melakukannya.

Jika dengan sebuah skema rekayasa sosial langkah itu dapat dijalankan, akan ada sedikit perimbangan yang masif dalam peta besar kericuhan media sosial.

Sekilas ide itu memang nggak mutu dan menggelikan. Sayangnya, saya belum bisa menemukan gagasan lain yang jitu dan bersifat solusi struktural.

Jika tindakan struktural tidak dijalankan, saya khawatir yang berjalan hanya langkah-langkah sporadis dari sedikit orang, juga dari beberapa komunitas yang bervisi panjang. Semua itu tidak terkoordinasi dengan baik, tidak bersinergi satu sama lain, dan tentu kalah cepat dibanding gelombang "industri polarisasi" yang terorganisasi rapi dan memutar uang miliaran.

Sampai kejadian demi kejadian yang kian mengerikan terpampang lagi dan lagi, rasanya solusi-solusi struktural memang tidak akan terpikirkan. Sembari itu, yang dapat kita jalankan sebatas sikap-sikap personal.

Oh ya, nanti malam saya mau berjumpa kopi darat dengan seorang ustaz dari Palembang, yang datang ke Jogja untuk mengikuti Muktamar Pemuda Muhammadiyah. Kami berbeda pilihan politik, namun kami bertekad membuktikan bahwa kami sama-sama suka kopi, sama-sama doyan sate kambing, dan tak perlu gebuk-gebukan dalam membela kubu pilihan.

Cuma ini yang bisa kami lakukan, dan saya tahu: inilah selemah-lemahnya iman.

Iqbal Aji Daryono esais, tinggal di Bantul

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads