Polarisasi kontestasi Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019 dalam samudera digital sebagai lokus komunikasi, sebagaimana terjadi lima tahun lalu pada Pilpres 2014, mewarnai dinamika dalam budaya demokratisasi di negeri ini. Pada saat itu --kaum "cebong" yang berada di belakang Jokowi-Jusuf Kalla, sedangkan kaum "kampret" berada di belakang Prabowo-Hatta Radjasa-- sebagaimana sekarang ini, kedua kubu juga melancarkan perang kata-kata di media sosial guna memberi pembelaan atas setiap isu yang muncul guna membela blunder-blunder manuver atau capaian-capaian positif dari sepak terjang pasangan kandidat masing-masing.
Kita bisa saja mempertanyakan tentang kualitas konten persoalan dan bagaimana cara mereka menyikapi permasalahan politis yang menjadi objek dalam perang kata-kata itu. Kita pun bisa menjadi saksi betapa nalar sehat tertundukkan emosi yang asal bisa mengangkat citra sosok pasangan kandidat yang mereka bela mati-matian. Kita bisa mengelus dada soal diksi yang tidak terkontrol dengan pikiran jernih dan hanya mengumbar cela, hujatan, dan caci maki. Meski demikian, bukan hal yang mengada-ada jika kita pada akhirnya masih bisa tetap berharap adanya proses pendewasaan dalam mengomunikasikan gagasan dengan tanpa menimbulkan benturan frontal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengelola Perbedaan
Mencari kaum die hard yang rasional. Itulah sesungguhnya yang muncul dari gua harapan dari realitas eksistensi kiprah kaum "cebong" dan "kampret" (marilah kita melupakan barang sejenak bahwa sebutan itu pada mulanya memang untuk mengungkapkan rasa ketidaksukaan satu kelompok terhadap kelompok yang lain). Semua itu tentu saja dalam kerangka memperjuangkan sikap social gentlemen bangsa Indonesia yang agaknya perlu terus-menerus belajar mendewasakan diri untuk mengelola perbedaan pendapat.
Mengelola perbedaan pendapat sudah pasti tidak bisa menemukan iklim yang kondusif, manakala semangat merasa ada kebenaran absolut hanya terdapat di genggaman pandangannya sendiri. Sementara itu, pandangan liyan yang berlainan dan berada dalam perspektif berseberangan adalah sebaliknya. Persoalan yang mengemuka selanjutnya, seberapa jembar seseorang atau sekelompok orang mampu memberikan ruang toleransi yang relatif lebar untuk mencerna perbedaan-perbedaan itu dengan kepala dingin.
Semakin jembar ruang toleransi itu, semakin tersedia kemungkinan dialog yang tidak saja mempertimbangkan aspek kualitas konten. Tetapi, juga cara mengomunikasikannya dengan cara-cara yang tidak menyakiti atau bahkan menebar aum ancaman yang merepresi secara psikologis.
Mengelola perbedaan pendapat itu merupakan salah satu persyaratan yang sudah selayaknya menjadi bagian kemampuan yang terjalin erat dengan kiprah para die hard yang rasional. Kemampuan ini akan menjadikan para kesatria yang berjuang dalam pertempuran kata-kata di media sosial memiliki amunisi pemahaman yang memadai dan komprehensif dalam memandang secara arif isu-isu yang tergoreng sebagai nyamikan dalam adu pergulatan opini yang dapat menanamkan persuasi tanpa harus mengobarkan kebencian.
Biasanya tatkala hujatan atau caci maki lebih terkedepankan dalam adu pergulatan opini untuk tujuan persuasi politik, itu pertanda yang sangat mudah dibaca betapa si pelaku komunikasi belum menguasai persoalan hingga ke akar-akarnya. Nah, kosmetika sumpah serapah lantas memainkan peran untuk menutup ketidaksanggupannya menata opini dengan pertimbangan kekayaan referensi dan fokus pada substansi isu.
Dalam pertempuran kata-kata, pergulatan opini yang seolah tiada henti-hentinya di media sosial terkadang memang tidak selamanya bisa dipertemukan dalam konsensus-konsensus dalam tipe yang paling semu sekalipun. Ada kalanya puncak penjolan suatu isu itu pada gilirannya hanya mampu mendeskripsikan dua kubu yang saling berseteru dalam wujud pertarungan gagasan. Dan, itu bukan tidak mungkin memang seolah sudah mewujud menjadi semacam suratan realitas yang memang harus bergulir sedemikian adanya. Tidak lebih dan tidak kurang.
Kejujuran Politik
Saya berpikir, terkadang ada kebaikan pula menjadi sosok yang hanya mampu beretorika gagasan secara sederhana, lurus-lurus saja, tetapi tetap setia pada kejujuran. Bagi saya, itu lebih mulia daripada entitas personal yang memiliki kegeniusan dalam meretorikakan gagasan, namun terbungkus kegenitan, kepalsuan, dan kebohongan yang membiuskan pesona persuasi. Ini sesungguhnya wilayah yang sangat menakutkan dalam dunia yang mempolitisasikan setiap jengkal wilayah isu yang beredar di masyarakat.
Nah, tentu saja kaum die hard yang rasional seharusnya tidak memanjakan diri dengan kepalsuan retorika. Kejujuran menjadi bagian terpenting, kendati tentu saja tidak perlu harus terucapkan lewat kejujuran yang naif. Siapa pun yang terlibat dalam pertempuran kata-kata di media sosial yang memanfaatkan teknologi digital sebagai lokus komunikasi, terkait dengan pertaruhan perebutan suara rakyat dari kubu mana pun, "cebong" atau "kampret", pastilah masih mungkin menyisakan kejujuran tanpa harus terjebak menjadi naif.
Retorika politik yang sehat pastilah dari sisi mana pun tak pelak lagi harus didukung "kejujuran politik" yang sehat pula. Mencari kaum die hard yang rasional tentulah teruntuk bagi mereka, "cebong" atau "kampret", yang seharusnya mampu mengangkat citra sosok yang teryakini merupakan terbaik dari pilihan nurani (pada zaman ini bisa pula jalinan hubungan itu hanya dalam tautan kontraktual profesional), tanpa sikap oportunistis berlebihan terhadap sang junjungan dan tanpa kobaran kebencian terhadap sang lawan. Mengangkat citra kawan tanpa harus membunuh citra lawan. Itulah substansi sikap rasional itu.
Mohamad Jokomono alumnus Magister Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro Semarang
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini