Hanya saja, perkembangan kampanye Pilpres akhir-akhir ini tampaknya menjauh dari harapan publik. Bahkan jauh dari kata bermartabat. Ruang publik justru disesaki oleh beragam drama dari soal kasus operasi plastik, pembakaran bendera, "wajah Boyolali", "politik sontoloyo", "genderuwo", "negara tanpa impor", hingga politik identitas. Tim Kampanye Nasional masing-masing kubu justru sibuk berbalas "puisi politik", yang lebih dominan menggosok sentimen kebencian. Sebagian media massa turut mendorong viral-nya berbagai isu di luar konteks soal bagaimana mengelola negara. Masyarakat disuguhi akrobat politik dari kedua kubu yang kontraproduktif bagi pendidikan politik.
Narasi yang disampaikan para calon ke publik juga belum menyentuh persoalan nyata dan sebagian hanya retorika. Beberapa janji surga lebih dominan diperbincangkan daripada program yang realistis dalam konteks sumber daya yang dimiliki negara, perangkat, maupun regulasi yang ada. Selama ini, tidak hanya pilpres namun juga pilkada, selalu saja para calon menjanjikan angin surga yang kemudian ketika calon tersebut menang menjadi mustahil untuk mewujudkannya karena terkendala beberapa hal terkait sumber daya, perangkat, dan regulasi yang ada.
Salah satu contoh misalnya, terdapat calon di pilpres yang menjanjikan listrik murah, BBM murah, semua murah dan sejahtera. Bahkan utang negara dilunasi. Namun, calon tersebut lupa menyebut bagaimana cara melakukannya. Bagaimana cara melakukan ini menjadi penting karena mereka harus mempunyai rencana untuk mengoperasionalkan gagasan mereka. Untuk itu, perlu ada cara untuk mengatur agar kampanye itu menjadi lebih realistis, yang membuat pemilih tahu konsekuensi pilihannya. Lalu, bagaimana caranya?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menjadi pemimpin, baik di pusat maupun daerah, berarti akan mengelola anggaran negara yang disebut dengan APBN/APBD. Meskipun "mengurus" negara tidak hanya perkara APBN/APBD, namun setidaknya keberpihakan calon menjadi terang benderang ketika membahas soal ini. Untuk itu, pengetahuan para calon soal APBN dan APBD ini menjadi mutlak dibutuhkan agar janji-janji angin surga yang tidak memperhitungkan kemampuan keuangan negara tak berdesakan mengisi ruang publik.
Oleh sebab itu, penting untuk UU Pemilu dan KPU mengatur bahwa setiap calon wajib mempublikasikan rencana kebijakan pengelolaan APBN atau APBD saat dirinya terpilih nanti. Hal ini penting karena APBN/APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi.
Para calon tersebut memang tidak perlu menguasai isu ini sepenuhnya, namun harus menyiapkan tim yang merumuskan bagaimana kebijakan pengelolaan APBN/APBD, jika mereka memenangkan kontestasi. Mereka harus menyiapkan rencana pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, serta bagaimana postur APBN. Rencana tersebut harus menegaskan tujuan, strategi, dan arah APBN/APBD. Sebab, sebagaimana diatur dalam berbagai regulasi, terdapat kewajiban yang harus dipenuhi oleh APBN/APBD, seperti 20% untuk anggaran pendidikan, 5% untuk anggaran kesehatan, serta berapa maksimal defisit yang diperbolehkan, dan seterusnya.
Postur APBN yang harus disiapkan para kontestan setidaknya memuat belanja pemerintah pusat, belanja kementerian/lembaga, belanja menurut fungsi (anggaran pendidikan, kesehatan, infrastruktur, ekonomi perlindungan sosial, subsidi, dll), transfer daerah dan dana desa, defisit anggaran, pembiayaan anggaran, serta belanja pegawai. Hal ini dapat digunakan sebagai tolak ukur kewajaran dari sebuah janji politik.
Salah satu contoh, apabila ada calon yang berjanji akan membuat harga listrik dan BBM menjadi murah, maka akan memiliki konsekuensi terhadap anggaran sektor lain, seperti infrastruktur, kewajiban membayar utang, maupun menyediakan berbagai subsidi untuk perlindungan sosial. Dengan begitu dapat diukur adakah gap antara janji dengan realitas kemampuan keuangan negara.
Kemudian dalam konteks pendapatan, bagaimana para calon akan merumuskan cara mereka mengumpulkan pundi-pundi kekayaan negara. Hal ini juga penting karena berguna bagi para pelaku usaha maupun masyarakat luas untuk dapat meneropong bagaimana kebijakan perpajakan akan diberlakukan. Dengan begitu, masyarakat akan dapat menilai bagaimana keberpihakan mereka dan janji surga pun bakal tergerus dengan sendirinya.
Tidak hanya itu, janji menaikkan gaji pegawai negeri, misalnya, tentu akan membuat calon mendapat simpati dari para pegawai tapi hal itu belum tentu menguntungkan dalam perhitungan elektoral bagi calon secara keseluruhan karena pasti sebagian masyarakat tidak setuju dengan langkah itu. Cara semacam ini akan lebih mendidik para calon pemilih untuk lebih mengenal gagasan serta mengetahui rencana kebijakan pengelolaan APBN/APBD sehingga lebih memiliki alasan untuk dapat menentukan pilihan.
Kampanye model ini memang dapat dianggap sedikit menguntungkan petahana karena memiliki pengalaman mengelola keuangan negara, namun dapat pula sebaliknya. Proyeksi kebijakan pengelolaan APBN/APBD ini justru dapat digunakan sebagai senjata dari calon penantang jika mampu membuat perencanaan yang realistis dan berpihak kepada mayoritas masyarakat. Rencana kebijakan pengelolaan APBN/APBD memang tidak menggambarkan seluruh kebijakan dan tergantung pula terhadap implementasinya.
Namun, setidaknya para calon pemilih akan terpapar informasi yang bermanfaat daripada perdebatan yang tidak substansial atau puisi politik yang justru mengasah kebencian. Pada akhirnya, kampanye pemilu akan menjadi lebih realistis dan ruang publik tidak lagi disesaki janji-janji yang tidak realistis.
Desto Prastowo, S. Fil mahasiswa Magister Administrasi Publik FISIPOL UGM, penerima beasiswa Pusbindiklatren Bappenas
(mmu/mmu)











































