Hoaks Penculikan Anak
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Hoaks Penculikan Anak

Senin, 26 Nov 2018 14:28 WIB
Suryati
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Foto: Erliana Riady
Jakarta - Beberapa pekan terakhir para orangtua resah dan gelisah. Kabar tentang penculikan anak-anak beredar luas (viral) di media sosial dan grup-grup WhatsApp. Warga Jabodetabek pun dibuat heboh. Kabar penculikan anak masif terjadi di Cakung, Kemayoran, Jakarta Utara, dan Kabupaten Kerinci.

Namun, rupanya,setelah ditelusuri pihak kepolisian, kabar itu hoaks belaka. Kendati begitu, kabar hoaks penculikan anak telah memakan korban nyawa. Salah satunya tragedi nahas di Kendal, Jawa Tengah. Sekelompok warga dengan brutal mengeroyok Ahmad Fauzi Muslih (1/11). Orang tersebut dicurigai telah melakukan penculikan anak.

Setelah diusut, ternyata Ahmad Fauzi Muslih punya gangguan jiwa. Tapi, nasi sudah jadi bubur. Ia sudah telanjur dikeroyok warga. Tentu peristiwa semacam ini tidak tunggal. Tahun lalu, histeria massa yang disulut hoaks tentang penculikan anak juga memakan korban beberapa orang dengan gangguan jiwa.

Kabar bohong penculikan anak memang meresahkan. Selama 4 bulan terakhir, data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan bahwa jumlah berita tentang penculikan anak trennya makin meningkat. Pada Juli, terdapat 635.000 berita penculikan anak. Angka tersebut naik jadi 969.000 pada Agustus. Naik lebih dua kali lipat pada September menjadi 2.150.000 berita. Pada Oktober naik lagi dua kali lipat menjadi 4.300.000 berita. Bahkan pada hari kedua November saja, sudah ada 1.010.000 berita tentang penculikan anak.

Meskipun kabar bohong tentang penculikan anak ini bukan hal baru lantaran hampir terjadi saban tahun, namun publik tampaknya belum bisa dengan segera menyadari tentang pola-pola penyebaran hoaks. Warga yang terbius dengan berita bohong jumlahnya malah makin naik. Ini sangat memprihatinkan.

Persoalan ini tentu tidak boleh dibiarkan terus berlarut. Harus ada langkah tegas dan preventif untuk mengatasi persoalan hoaks di negeri ini. Apalagi menurut data yang ada, merebaknya hoaks telah menjadi keresahan bagi publik. Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Oktober 2018 lalu menyebutkan, sebanyak 75 persen publik makin khawatir dengan maraknya hoaks. Dan, sebanyak 74,5 persen publik ingin ada tindakan nyata dalam upaya membersihkan hoaks di media sosial.

Literasi Masyarakat

Sebagai persoalan serius, penyebaran kabar bohong perlu tindakan yang terarah. Pertama, penegakan hukum yang mampu menimbulkan efek jera perlu dilakukan. Penegakan hukum berfungsi memberikan pesan kepada warga masyarakat lain tentang bahaya dan larangan menyebarkan kabar bohong. Sekaligus perlunya bersikap hati-hati dalam menyebarkan informasi.

Sejauh ini, polisi sudah menangkap empat pelaku penyebar hoaks penculikan anak yang ramai di media sosial. Keempat pelaku yang ditangkap polisi adalah EW (31) seorang satpam, RA (33) sopir, DNL (21) seorang perempuan pemilik akun Facebook berinisial DNL, serta JHHS (31) yang merupakan pemilik akun Facebook dengan inisial JHHS.

Mereka ditangkap pada Kamis (1/11) di empat lokasi di wilayah Jakarta, Tangerang, dan Kabupaten Bekasi. Keempat pelaku tersebut diduga dengan sengaja mem-posting gambar, video, dan tulisan dengan konten tentang penculikan anak di Ciseeng, Bogor, Sawangan-Depok, dan Ciputat-Tangerang melalui media sosial Facebook (detikcom, 2/11).

Penangkapan penebar kabar hoaks penculikan ini juga berdasarkan imbauan KPAI. Dasarnya adalah pelaku yang dengan sengaja menyebarkan hoaks untuk meresahkan masyarakat ini bisa dijerat Undang Undang Nomor 11 Tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Kedua, literasi masyarakat. Literasi perlu dilakukan karena ada kecenderungan masyarakat Indonesia sangat instan dalam menyerap informasi alias tidak detail. Alih-alih membaca buku, saat membaca surat kabar yang tulisannya sangat pendek saja, masyarakat kita cenderung hanya membaca judulnya.

Fenomena itu terkonfirmasi data UNESCO 2012 yang menyebut bahwa indeks minat baca di Indonesia hanya 0,001 atau satu orang yang memiliki minat baca berbanding dengan seribu penduduk. Padahal, berdasarkan data penelitian Nielsen, penduduk Indonesia yang menghabiskan waktu berselancar di dunia maya menggunakan komputer sebanyak empat jam 42 menit, browsing lewat smartphone sekitar tiga jam 33 menit, dan menghabiskan waktu di media sosial sebanyak dua jam 51 menit.

Itu artinya durasi yang lama dalam berselancar di dunia maya tidak berbanding lurus dengan meningkatnya daya literasi masyarakat. Apa sebabnya? Karena masyarakat Indonesia masih menjadikan dunia maya ataupun media sosial sebagai media hiburan, bukan media informasi. Kalau pun ada informasi di dunia maya, kecenderungan hanya dibaca sekilas.

Di sinilah mengapa ketahanan masyarakat untuk menelusuri dan mencerna tentang berita hoaks masuk kategori rapuh. Apalagi jika menyangkut isu keimanan, keamanan, keselamatan, dan kesehatan. Pada isu-isu tersebut, rasionalitas dan objektivitas seseorang tenggelam tertutupi dengan emosional yang ada.

Karena itu, masifnya penyebaran hoaks tentang penculikan anak harus diakhiri. Penegakan hukum yang mampu menimbulkan efek jara perlu terus dijalankan, sementara literasi masyarakat sebagai langkah preventif harus dimaksimalkan.

Hoaks penculikan anak tidak hanya mendorong histeria massa yang menjurus pada korban jiwa. Dalam eskalasi yang besar, histeria massa tersebut juga dapat menimbulkan kekacauan di mana-mana. Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap negara akan runtuh, sehingga praktik barbar di masyarakat sulit dihindari.

Suryati alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, peminat isu gender dan anak

(mmu/mmu)




Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads