Pernyataan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang menolak keberadaan peraturan daerah (perda) berlandaskan dengan hukum salah satu agama tertentu adalah pernyataan sikap yang paling menohok dari semua partai politik baru di Indonesia. Bahkan, sangat jarang kita temukan ada partai yang dengan tegas menyatakan sikap seperti demikian.
Biasanya kita temukan kecenderungan partai politik yang bergelut di percaturan politik di Tanah Air hanya mengangkat isu populis, bersikap politik abu-abu atau tidak jelas, bahkan tak memiliki sikap politik apapun, karena pada dasarnya partai politik tersebut lahir hanya sekadar buah dari ego sang pencetus tanpa ideologis yang kuat.
Oleh karena itu, patut diacungi jempol bahwa sebagai partai baru PSI sudah berani menunjukkan tajinya, bahkan tak main-main, PSI langsung mengambil studi kasus perda berlandaskan agama yang dianggap sangat tidak mencerminkan nilai kebangsaan yang plural. Maksud dan tujuan PSI menyinggung perda agama lebih disebabkan oleh banyaknya politisasi agama untuk kepentingan politik khususnya kepentingan elektoral. Dengan menyerang perda berbasis agama, PSI to the point, PSI ibarat tak mau basa-basi bermain dengan asap, namun langsung memadamkan api yang berkorbar pada sumbernya.
Tentu selayaknya setiap sikap non-populis, pro dan kontra akan selalu membanjiri ruang publik. Terbukti, tak lama sejak pernyataan Ketua Umum PSI di acara ulang tahun partainya terkait sikap penolakan terhadap perda keagamaan jika ia berhasil duduk di parlemen, Sekretaris Jenderal Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) Zulkhair dengan pengacaranya yang juga seorang politisi PAN, Eggi Sudjan melaporkan Grace Natalie ke kepolisian. Dengan laporan bahwa dalam pidatonya Grace Natalie telah menista agama.
Saya tidak membela PSI, atau Grace Natalie khususnya. Tulisan ini murni pandangan objektif saya sebagai seorang peneliti, dan harapannya tulisan ini dapat membantu masyarakat untuk menarik benang merah dalam kasus tersebut.
Agama dan Politik
Saya rasa, pembahasan terkait agama dan politik, selain merupakan kajian yang cukup seksi secara ilmiah, juga merupakan pembahasan yang sangat sensitif. Wajar, karena pada realitasnya, ketika agama diseret dalam kontestasi politik, masyarakat kerap terpantik dan mudah menjadi emosional apabila ada pernyataan yang sekiranya beraroma keagamaan atau lebih tepatnya cenderung mengarah pada politik identitas.
Perihal penolakan atas perda berbasis agama yang mengapung ke permukaan, hal tersebut sebenarnya sudah bukan barang yang baru karena tidak terjadi untuk pertama kalinya. Hanya saja, pada kasus PSI ini, segelintir oknum yang berkepentingan mulai memelintir isu tersebut untuk kepentingan elektoral. Sebenarnya, ada dua sisi yakni positif dan negatif hasil dari pernyataan Grace Natalie. Negatifnya sudah jelas, salah satunya Grace dilaporkan sebagai oknum yang telah menista agama.
Secara politis, pernyataan yang kontroversial akan menjadi viral dan jelas akan sangat berdampak kepada popularitas, yang juga bisa menjadi positif maupun negatif. Tidak semua hal yang populer itu adalah positif. Pihak yang melaporkan Grace pun tentu mendapatkan efek yang sama. Agar sebuah pernyataan yang kontroversial tersebut menjadi positif, maka salah satu pihak harus mampu meyakinkan publik bahwa argumen yang ia sampaikan rasional, realistis, dan juga penting.
Dalam hal ini, PSI sendiri harus gencar menekankan kepada masyarakat akan pentingnya argumen yang disampaikan oleh Grace Natalie. Tentu sebagai suatu kelompok, Grace Natalie tak begitu kuat untuk meyakinkan publik bahwa argumennya sangat rasional dengan kondisi nilai kebangsaan. Oleh karena itu, argumen Grace perlu didukung banyak pihak. Ketika PSI mampu meyakinkan publik, maka narasi soal penolakan terhadap perda berbasis agama akan mendapat dukungan yang setimpal, dan ini positif.
Namun, apakah bisa PSI mempertahankan rasionalitas argumennya di tengah himpitan pihak yang berkepentingan untuk menjatuhkan argumen tersebut? Inilah tantangan untuk PSI.
Persoalan perda berbasis agama, dulu, Kiai Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sering menyatakan bahwa bangsa ini memiliki UU, peraturan, dan kebijakan yang berbenturan dengan konstitusi. Menurut Gus Dur jumlah regulasi yang saling bertabrakan ribuan. Salah satunya adalah perda berbasis agama. Dalam hal ini pula, Kiai Hasyim Muzadi menuturkan bahwa soal perda agama, Indonesia sudah cukup memenuhi nilai dari keagamaan itu sendiri yakni dengan Pancasila. Oleh karena itu Hasyim Muzadi menyatakan bahwa perda-perda agama tidak perlu dilahirkan.
Dewasa ini, kita tak perlu kaget jika pernyataan Grace menjadi viral. Sebab, zaman sudah begitu berkembang, akses untuk saling bertukar informasi sudah dapat dikatakan semudah membalik telapak tangan. Sebagai partai baru, PSI harus pandai dalam memanfaatkan berbagai kemungkinan serta mampu melihat tren yang berkembang.
Mendongkrak Elektabilitas
Sudah tak perlu kita pertanyakan lagi mengapa PSI menyinggung persoalan agama khususnya terkait perda. Di tengah tren politik identitas yang begitu kuat, masyarakat seolah mabuk dalam buaian politik identitas tersebut. Sedikit-sedikit, politik menyinggung agama. Dalam kondisi elektabilitas PSI yang baru-baru ini dinyatakan sangat tidak memuaskan berdasarkan riset dari LSI Denny JA, PSI butuh stimulus untuk mendongkrak elektabilitasnya di tengah masyarakat.
Pernyataan bahwa PSI menolak perda berbasis agama bukan berarti ia tidak konsisten. Banyak yang bilang, dengan mendukung pasangan Jokowi-Amin, PSI dianggap sangat agamais, lalu menolak perda berlandaskan agama adalah pernyataan yang tidak konsisten. Hemat saya, pandangan tersebut sangat tidak tepat, dan tentu yang menyatakan hal tersebut pasti adalah orang-orang yang memiliki kepentingan politik yang berseberangan. Tentu argumen tersebut politis.
Dengan menolak perda berlandaskan agama, PSI mulai mengikuti arus yakni arus politik identitas. Pada kenyataannya, dengan gencar mengkampanyekan milenial, elektabilitas PSI tak begitu memuaskan. Kini terlihat, PSI sedang fokus untuk pemilihan legislatif. PSI sendiri sempat mengakui bahwa tak dapat "efek ekor jas" dari Jokowi. Wajar jika PSI butuh daya gedor alternatif. Oleh karena itu, menurut hemat saya, PSI sudah memilih sikap yang sama dengan Jokowi yakni sikap yang sama ketika Jokowi memutuskan memilih Ma'ruf Amin sebagai wakil presiden, dibandingkan memilih Mahfud MD yang sempat digadang-gadang.SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(mmu/mmu)