Enam bulan sebelum pemilu legislatif, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menunjukkan nyalinya sebagai partai progresif. Sebagai partai baru yang diawaki oleh para anak muda, mereka mengumumkan bahwa salah satu misi PSI di DPR nanti adalah tidak mendukung perda syariah, perda Injil, atau perda apapun yang berlandaskan salah satu agama.
Sikap ini jelas lebih berani ketimbang PDIP yang belum pernah selugas dan sefrontal ini menghadapi pendukung perda syariah. Kita ingat dua tahun silam, ketika Mendagri Tjahjo Kumolo hendak menertibkan aneka perda yang dianggap menyimpang. Ternyata kemudian ia bilang perda syariah tidak termasuk yang ditindak. Mudah ditebak bahwa PDIP masih punya pertimbangan politik pragmatis.
Bukan Hal Mudah
Menentang perda syariah memang bukan hal mudah. Berbagai pihak bakal langsung memberikan cap sangat negatif. Direktur Pencapresan PKS Suhud Aliyudin misalnya, menyebut semangat menolak agama bertentangan dengan Pancasila. Hanya PKI yang menolak agama, tambahnya. Hal senada juga disampaikan oleh Novel Bamukmin dari FPI. Kami duga ini adalah gaya-gaya komunis mau dihidupkan kembali, katanya.
Dewan Penasihat Persaudaraan Alumni 212 Eggi Sujana, lebih keras lagi. Mulanya ia bilang, MUI harus merekomendasikan kepada pemerintah untuk membubarkan PSI. Tapi, kemudian ia sendiri yang melaporkan Ketua Umum PSI Grace Natalie dengan tuduhan penistaan agama. Benarkah tuduhan tersebut?
Pertama, pertama perlu kita simak dulu Pancasila. Kita tahu bahwa Pancasilaβyang disahkan sebagai dasar negaraβadalah perubahan dari Piagam Jakarta. Dalam Piagam Jakarta, sila pertamanya adalah Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat bagi Para Pemeluknya. Sedangkan, sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Namanya perubahan, maka bagian yang dihilangkan tak lagi berlaku.
Dalam era Bung Karno, sang perumus Pancasila, tak ada kolom agama di KTP, tak ada konsep agama resmi negara yang dibatasi jumlahnya, agama tidak dijadikan pelajaran wajib di bangku sekolah, serta pihak yang hendak mengubah dasar negara jadi syariah Islam diperangi dengan kekuatan militer. Dari sini kita bisa melihat bahwa tuduhan "menolak syariah berarti melanggar Pancasila" tidaklah benar.
Kaum pro-syariah sudah berkali-kali kalah di negeri ini. Dalam Sidang Konstituante 1955, mereka gagal memenangkan syariah. Mereka mencoba lagi pada Sidang Umum 1999 seusai jatuhnya rezim Soeharto, tapi dijegal oleh Gus Dur. Sejak itu, strategi mereka berubah. Jargon "Pancasila itu thaghut" perlahan-lahan ditinggalkan. Sebagai gantinya, mereka memelintir makna sila pertama agar kembali seperti Piagam Jakarta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Korban pun berjatuhan. Ada perempuan baik-baik yang kena razia hanya karena keluar rumah larut malam. Ada siswi Kristen yang dipaksa ikut pakai jilbab, padahal di sekolah umum negeri. Ada warung yang dirusak oleh gerombolan, yang berpayung larangan berjualan di bulan puasa. Dan, ada kelompok masyarakat yang dianiaya, bahkan hingga tewas, karena menjalankan keyakinan minoritas. Itu masih belum termasuk para calon korban perda ngawur yangβuntungnyaβsempat dihadang, misalnya tes keperawanan bagi siswi.
Dari sini, pilihan sikap PSI jadi semakin mudah dipahami. Sudah belasan tahun aneka perda syariah menimbulkan masalah. Novel Bamukmin tidak menyembunyikan ambisinya. "Syariat Islam sudah 75 persen diterapkan secara nasional dan khusus di Aceh sudah hampir 100 persen," begitu katanya. "Adapun secara nasional tinggal 25 persen lagi, untuk hukum kenegaraan yang belum terwujud." Sungguh mengkhawatirkan.
Padahal negara kita punya formula yang adil, yaitu daerah istimewa. Ada Yogyakarta yang keistimewaannya ada pada kepala daerahnya yang monarki. Dan, ada Aceh yang diberi keistimewaan boleh menerapkan hukum syariah. Jadi, bagi yang ingin hidup dalam sistem syariah, silakan pindah ke Aceh. Sebaliknya, warga Aceh yang tidak suka syariah sebaiknya pindah ke provinsi-provinsi lain. Tentu saja, hanya Aceh yang dapat keistimewaan tersebut. Daerah lainnya tidak boleh.
Sikap PSI menolak perda syariah adalah sikap membela kebhinnekaan, demi keutuhan bangsa dan negara Indonesia. Sebagai partai politik resmi yang sudah disahkan oleh negara, merupakan hak penuh bagi PSI untuk mengambil sikap tersebut. Jika logika Eggi Sujana dituruti, maka ketika ada voting dalam sidang paripurna di DPRD tentang perda syariah, maka semua anggota dewan yang tidak mendukung perda akan dipolisikan dan partainya dibubarkan. Absurd kan?
Menarik Garis
Dari kubu sendiri, sikap PSI juga tak langsung dapat sambutan. Erick Thohir, Ketua Tim Kampanye Nasional, segera menarik garis bahwa sikap PSI merupakan sikap partai, bukan sikap koalisi. Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siraj menyatakan berbeda pendapat dengan PSI. Ia dukung perda syariah, asalkan tentang hal-hal seperti perjudian ataupun minuman keras. Yang ini cukup moderat. PPP, lewat Wakil Ketua Umum Arwani Thomafi, bersuara lebih keras lagi. Ia menyebut PSI lebih ekstrem ketimbang kebijakan hukum era kolonial yang masih mengakomodasi syariah.
Wakil Sekjen Partai Demokrat Andi Arief menganggap PSI tidak serius duduk di parlemen. Wajar jika pengurus partai oposisi seperti dirinya bilang begitu. Ia terbiasa dengan partainya yang sangat pragmatis, tak pernah berani ambil posisi yang riskan. Baginya, sikap PSI bisa dituduh islamfobia dan mempersulit dapat dukungan untuk meraih kursi dalam pemilu. Atau, sebaliknya ia justru paham potensi politis sikap PSI tersebut, sehingga berusaha menurunkan semangat lawannya.
Grace Natalie sendiri menegaskan bahwa sikap PSI bertujuan mencegah ketidakadilan, diskriminasi, dan intoleransi yang seringkali menyertai perda syariah. Juru Bicara PSI Rian Ernest menambahkan, "Sila pertama Pancasila adalah bentuk pengakuan terhadap Ketuhanan, bukan dukungan terhadap agama tertentu." Sekjen PSI Raja Juli Antoni menjelaskan bahwa partainya ingin agar agama diletakkan pada posisi terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, bukannya hanya terjebak dalam penafsiran sebatas legal-formal yang sempit karena kepentingan politik tertentu.
Sedangkan Guntur Romli, kader PSI lainnya, menyindir perda syariah, "Gara-gara aturan itu, salat menjadi syirik karena takut kepada Satpol PP kalau tidak dilakukan, dan takut jenjang kariernya terhambat apabila tidak mengikuti kebijakan tersebut."
Bukan Penistaan
Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naitupospos menilai sikap PSI bukanlah penistaan agama, melainkan sikap politik yang normal dalam demokrasi. Perbedaan sikap tersebut seharusnya diselesaikan dan diperjuangkan melalui jalur politik, demikian ia menambahkan. Sementara itu, Ma'arif Instituteβmilik mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Buya Syafi'i Ma'arifβjuga bersuara. Direktur Eksekutif Muhammad Abdullah Darraz menyebut langkah Eggi Sujana melaporkan Grace merupakan suatu ketidaksiapan dalam melakukan diskursus publik terkait isu tersebut.
Dukungan paling signifikan berasal dari Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang juga Ketua Umum PP Dewan Mesjid Indonesia. Beliau mengatakan bahwa urusan agama merupakan akidah atau keyakinan yang tidak perlu diatur melalui perda, karena aturan agama sudah tertuang dalam kitab suci masing-masing.
Jadi, PSI sebenarnya sedang menjalankannya perannya secara idealis sekaligus strategis. Mereka anak muda yang siap terjun ke gelanggang parlemen, serta siap mengusung suatu agenda yang banyak penentangnya tapi sebenarnya punya banyak pendukung juga. PSI ambil ceruk yang tak berani diambil oleh partai sebesar PDIP. Bagi kubu Jokowi, sikap PSI ini merangkul kalangan yang merasa terabaikan, misalnya sebagian pendukung Ahok yang agak kecewa dengan terpilihnya Kiai Ma'ruf Amin sebagai cawapres.
Tentang seberapa banyak para pendukung bhinneka yang sedang diambil hati oleh strategi positioning dari PSI ini, biar hasil pemilu legislatif yang menentukan. Jangan sampai dihalangi oleh laporan hukum yang mengada-ada. Atau, oleh stigma bernuansa politis, apalagi yang memelintir makna Pancasila. Biarkan rakyat nanti memutuskan sendiri dengan kedaulatannya.
Radix WP pengasuh Circle of Humanitarian Studies, Surabaya