Paul Marshall sebetulnya ingin menegaskan pentingnya semangat menghargai perbedaan dalam sebuah kontestasi politik. Indonesia sebagai sebuah negara yang hidup dalam keberagaman perlu membangun sebuah sistem politik yang menghargai keunikan dan perbedaan. Namun, berbicara tentang sikap saling menghargai dan menghormati keunikan dan perbedaan dalam kehidupan berpolitik saat ini bukanlah suatu hal yang mudah.
Dengan kata lain, ideal untuk mewujudkan semangat keberagaman dalam panggung politik negara Indonesia saat ini adalah sebuah utopia belaka, sebab panggung politik telah didominasi oleh praktik politik kebencian dan politik anti-keberagaman. Sentimen-sentimen keagamaan digunakan oleh aktor-aktor politik tertentu untuk meraup dukungan rakyat. Tidak mengherankan jika Budi Hardiman mengubah nama demokrasi kita menjadi "demokrasi sentimentalis" (Hardiman, 2017).
Praktik politik kebencian bukanlah sebuah praktik politik yang etis, sebab ia menentang semangat keberagaman. Kita pastinya tidak menginginkan praktik politik kebencian ini terus-menerus terjadi. Oleh karena itu, kita perlu mencari sebuah strategi untuk dapat menghilanglenyapkan praktik politik kebencian ini dari panggung perpolitikan kita. Salah satu strategi yang dapat kita lakukan adalah dengan membangun politik pengakuan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Politik Pengakuan
Secara etimologi, pengakuan berarti "menemukan" atau "mengetahui sesuatu atau seseorang sekali lagi" yang berasal dari kata kerja Latin cognoscere yang berarti mengetahui dan prefiks "re". Menurut etimologi ini, pengakuan berarti tindakan untuk memperoleh pengetahuan sekali lagi, yang membuka kemungkinan untuk melihat seseorang yang kita temui dalam keseharian hidup kita dalam cara pandang yang baru, dengan "mata yang baru".
Dengan kata lain, ada perhatian yang benar pada ciri atau sifat dan aspek yang barangkali tidak kita sadari atau lihat saat perkenalan awal. Konsep pengakuan ini masuk dalam diskursus politik sejak akhir abad ke-20. Diskursus ini kemudian berkembang menjadi topik yang hangat dalam etika politik postmodern pada awal abad ke-21 ini. Salah satu filsuf yang getol membicarakan konsep politik pengakuan ini adalah Charles Taylor.
Secara etimologi, pengakuan berarti "menemukan" atau "mengetahui sesuatu atau seseorang sekali lagi" yang berasal dari kata kerja Latin cognoscere yang berarti mengetahui dan prefiks "re". Menurut etimologi ini, pengakuan berarti tindakan untuk memperoleh pengetahuan sekali lagi, yang membuka kemungkinan untuk melihat seseorang yang kita temui dalam keseharian hidup kita dalam cara pandang yang baru, dengan "mata yang baru".
Dengan kata lain, ada perhatian yang benar pada ciri atau sifat dan aspek yang barangkali tidak kita sadari atau lihat saat perkenalan awal. Konsep pengakuan ini masuk dalam diskursus politik sejak akhir abad ke-20. Diskursus ini kemudian berkembang menjadi topik yang hangat dalam etika politik postmodern pada awal abad ke-21 ini. Salah satu filsuf yang getol membicarakan konsep politik pengakuan ini adalah Charles Taylor.
Charles Taylor menjelaskan konsep politik pengakuannya dengan bertolak dari perjuangan kelompok orang berbahasa Prancis di Provinsi Quebec, Kanada untuk mempertahankan identitas kulturalnya. Tujuan perjuangan warga Quebec adalah untuk melindungi budaya minoritas berbahasa Prancis yang terancam punah di bawah hegemoni budaya berbahasa Inggris di Amerika Utara (Madung, 2017).
Dengan mengacu pada perjuangan masyarakat Quebec, Taylor menegaskan pentingnya memberikan pengakuan terhadap keunikan dan perbedaan yang dimiliki oleh suatu kelompok tertentu. Pengakuan yang kita berikan dapat menjadi jaminan bagi suatu kelompok tertentu untuk tetap mempertahankan identitasnya.
Menurut Taylor, identitas adalah sebuah pemahaman akan diri, tentang karakteristik fundamental yang mendefenisikan kemanusiaan seorang individu. Ketiadaan pengakuan menghalangi individu untuk merealisasikan diri sebagai manusia.
Dalam artikelnya yang berjudul The Politic of Recognition Taylor menulis, "Identitas kita sebagiannya dibentuk oleh pengakuan atau ketiadaan pengakuan, sering oleh kesalahan pengakuan dari orang lain sehingga seorang pribadi atau sekelompok orang bisa menderita kerugian, distorsi, kalau orang atau komunitas sekitar mereka memberikan gambaran yang mengikat atau merendahkan atau menghina. Ketiadaan pengakuan atau pengakuan yang salah dapat mendatangkan kerusakan dan memenjarakan orang dalam model yang salah, distorsif dan reduktif." (Gutman, 1994).
Tesis Taylor di atas menggarisbawahi konsep antropologis Taylor bahwa pengakuan merupakan kebutuhan vital manusia. Ketiadaan pengakuan tidak saja menunjukkan ketiadaan penghormatan melainkan menciptakan luka yang mendalam dalam diri manusia. Jadi, konsep politik pengakuan Taylor pada dasarnya lebih menekankan pentingnya penghargaan terhadap kekhasan identitas yang dimiliki oleh setiap individu atau kelompok.
Pemahaman tentang identitas ini juga berkelindan dengan prinsip otentisitas. Prinsip ini menuntut keberadaanku yang asli sebagai individu dan kelompok budaya. Akibatnya, identitas individu dan kelompok budaya tidak bergantung pada hirarki sosial atau kondisi eksternal melainkan sebuah ziarah kembali ke dalam diri.
Pemahaman tentang identitas ini juga berkelindan dengan prinsip otentisitas. Prinsip ini menuntut keberadaanku yang asli sebagai individu dan kelompok budaya. Akibatnya, identitas individu dan kelompok budaya tidak bergantung pada hirarki sosial atau kondisi eksternal melainkan sebuah ziarah kembali ke dalam diri.
Konsep politik pengakuan seperti yang digagas oleh Taylor ini tentunya sangat relevan dengan realitas politik saat ini. Dalam kaitan dengan pertarungan politik, para aktor politik biasanya berusaha untuk memperoleh dukungan dalam kelompok mayoritas dan mengabaikan dukungan dari kelompok minoritas. Alhasil, ketika mereka berhasil meraih kursi kekuasaan politik, kepentingan kelompok mayoritaslah yang lebih mereka utamakan.
Selain berkaitan dengan keragaman budaya yang dimiliki oleh seorang pribadi atau kelompok, konsep pengakuan sebagai jaminan identitas Taylor juga berkaitan dengan pengakuan akan kualitas-kualitas pribadi yang dimiliki oleh seorang individu.
Oleh karena itu, dalam setiap pertarungan politik, khususnya dalam pemilu (nanti), hal utama yang perlu diperhatikan oleh setiap aktor politik adalah pengakuan akan kualitas-kualitas yang dimiliki oleh setiap pribadi. Itu berarti, setiap aktor politik yang bertarung untuk merebut kekuasaan politik harus membangun sikap saling menghargai dan mengakui berbagai kualitas-kualitas yang ada dalam diri masing-masing.
Oleh karena itu, dalam setiap pertarungan politik, khususnya dalam pemilu (nanti), hal utama yang perlu diperhatikan oleh setiap aktor politik adalah pengakuan akan kualitas-kualitas yang dimiliki oleh setiap pribadi. Itu berarti, setiap aktor politik yang bertarung untuk merebut kekuasaan politik harus membangun sikap saling menghargai dan mengakui berbagai kualitas-kualitas yang ada dalam diri masing-masing.
Sikap saling mengakui dan menghargai berbagai kualitas yang ada dalam diri dapat menjadi pemicu lahirnya politik yang bersih dan jauh dari beraneka macam kebencian. Dengan mengakui kualitas dari pribadi yang lain, seorang aktor politik dapat membangun daya juang dalam diri untuk menampilkan kualitas dirinya dan bertarung secara sehat dengan aktor politik yang lain itu. Dengan begitu, terciptalah kontestasi politik yang bersih dan sehat.
Dalam Gereja Katolik ada sebuah ritus yang disebut ritus pengakuan. Ritus ini dilakukan untuk mengakui segala macam kelemahan dan dosa kepada Sang Pencipta. Tentu tidaklah salah jika kita menempatkan konsep pengakuan ini juga dalam konteks pertarungan politik saat ini.
Ritus pengakuan pada dasarnya lebih terarah ke kedalaman diri masing-masing pribadi. Ritus pengakuan mengajak setiap pribadi untuk kembali ke dalam diri sendiri, merefleksikan segala keburukan yang ada dalam diri.
Dalam kaitan dengan realitas politik, konsep pengakuan seperti ini perlu ditumbuhkan juga dalam diri setiap aktor politik. Aktor-aktor politik yang akan bertarung dalam perhelatan pemilu yang akan datang hendaknya tidak hanya membanggakan dirinya dalam setiap kampanye, tetapi juga dengan rendah hati mengakui kesalahan dan keburukan yang pernah dilakukannya pada masa lalu sambil membangun niat untuk berubah dan membawa perubahan.
Edo Putra mahasiswa STFK Ledalero, alumnus Serikat Jurnalis Keberagaman (SEJUK)
(mmu/mmu)











































