Benarkah batu ginjal bisa dihancurkan dengan air kelapa? Kalau benar tentu dunia kedokteran tidak perlu menghabiskan dana miliaran dolar untuk berbagai riset obat dan teknologi penanganan batu ginjal. Ini memang bukan soal kebenaran, tapi soal kepercayaan. Saya ingatkan kakak saya bahwa informasi seperti ini sangat perlu diragukan kebenarannya.
Dunia medis bekerja dengan prinsip gejala-pemeriksaan-diagnosis-konfirmasi-tindakan-pemantauan. Setiap orang dengan setiap penyakit dan gejalanya ditangani secara unik. Artinya, dua orang dengan gejala sama tidak otomatis akan menghasilkan diagnosis yang sama. Kalau pun diagnosisnya sama, belum tentu pula diberi tindakan dan obat yang sama. Obat yang sama tidak otomatis memberi efek yang sama kepada dua orang yang berbeda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Itu baru satu contoh saja. Masih banyak lagi contoh lain soal informasi salah yang beredar. Yang saya contohkan tadi masih termasuk ringan. Ada jenis lain yang lebih mengerikan. Sebelum ini saya juga pernah mengoreksi informasi tentang sebuah tempat di Jawa Barat yang disebut sebagai pusat Kristenisasi, padahal itu adalah tempat retreat, pembinaan rohani bagi orang-orang Katholik.
WAG keluarga saya bukanlah WAG yang unik, dalam arti perilaku seperti itu hanya ada di situ. Sebaliknya, WAG itu termasuk kategori ringan. WAG yang lain jauh lebih deras arusnya. Tidak hanya pada WAG orang awam, di WAG orang profesional dan intelek pun situasinya tidak berbeda.
Yang sedang terjadi adalah ketidakseimbangan antara derasnya arus informasi dengan kemampuan mencerna informasi. Telepon pintar dibuat oleh orang pintar, yang punya obsesi untuk membuat setiap orang di planet ini saling terhubung, sehingga bisa berbagi informasi tanpa batas, dan itu bisa dilakukan dengan sangat cepat. Setiap saat kemampuan telepon pintar bertambah pintar, sedangkan miliaran penggunanya tetap bodoh.
Masyarakat kita adalah masyarakat yang percaya, bukan masyarakat yang tahu. Hidup mereka lebih dituntun oleh kepercayaan, bukan pengetahuan. Ada jutaan orang yang percaya bahwa kapitalisme itu adalah musuh, padahal mereka hidup dalam kolam kapitalisme. Mereka hidup di situ tanpa menyadarinya.
Orang yang tidak tahu tidak punya kemampuan untuk mencerna informasi. Mereka tidak bisa memilah mana yang benar dan salah. Mereka hanya memilahnya berdasarkan percaya atau tidak percaya. Bila ia percaya, ia akan menganutnya. Sebagian akan meneruskannya kepada orang lain.
Pada zaman dulu informasi hanya diteruskan secara terbatas secara verbal. Kini informasi bisa beredar tanpa batas, dalam format teks, suara, gambar, dan video. Orang yang tidak punya pengetahuan menjadi penyebar informasi, tanpa kemampuan untuk memilahnya. Orang meneruskan informasi yang ia percaya, bukan informasi yang ia tahu kebenarannya.
Tanpa peningkatan yang memadai di bidang literasi, kita akan semakin kebanjiran informasi palsu. Peliknya, kita tidak punya satu strategi pun untuk meningkatkan literasi itu. Sekolah-sekolah yang seharusnya menjadi garis depan untuk peningkatan literasi justru sedang bergerak ke arah sebaliknya. Sekolah sedang dibelokkan untuk menjadi agen untuk meningkatkan kepercayaan ketimbang pengetahuan. Anak-anak digiring untuk menghafal ketimbang memahami.
Yang dilakukan pemerintah, misalnya Kemenkominfo adalah mengendalikan arus informasi. Sumber-sumber informasi palsu dicoba untuk ditutup. Tentu saja mereka tidak mampu menutup semua sumbernya. Sebenarnya yang sanggup ditutupi jauh lebih sedikit. Artinya, informasi palsu akan terus mengalir, dan akan semakin deras.
Apa yang bisa kita lakukan? Saya memilih untuk membanjiri masyarakat dengan informasi yang sahih melalui berbagai tulisan saya di media sosial. Saya memilih untuk jadi produsen, bukan distributor. Saya membuat informasi yang benar, dan membagikannya. Orang-orang yang mengikuti saya akan meneruskannya.
Anda juga bisa melakukan itu, dengan syarat Anda punya komitmen yang sama. Komitmennya adalah membagikan informasi yang benar, bukan yang kita sukai. Tentu saja bukan yang sekadar kita percayai. Kita masih kalah banyak dengan orang-orang yang memproduksi informasi salah. Karena itu kita mesti lebih giat lagi.
Mulailah dari pengetahuan sederhana yang Anda miliki. Sesederhana apapun, ia masih lebih berharga ketimbang informasi yang salah. Bersikaplah untuk lebih menjadi produsen ketimbang sekadar distributor yang meneruskan. Semakin banyak yang menjadi produsen, perlahan arus informasi yang menyesatkan tadi akan melemah.
Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini