Kompensasi atas Kecelakaan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Kompensasi atas Kecelakaan

Rabu, 14 Nov 2018 15:56 WIB
Hatib Abdul Kadir
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Baru-baru ini kita menyaksikan keluhan keluarga korban kecelakaan pesawat Lion Air JT 610. Para keluarga ini mengeluhkan pihak maskapai yang tidak mengambil inisiatif untuk menghubungi keluarga korban. Hal paling penting selain standar kompensasi yang menjadi acuan penerbangan adalah pentingnya pihak maskapai untuk menyatakan rasa simpati dan dukanya secara mendalam.

Selama ini, banyak sekali perusahaan menerapkan kompensasi semata sebagai transaksi ekonomi (economical transaction) ganti rugi. Perusahaan perlu melihat kompensasi sebagai ungkapan empatik dari relasi sosial (social relations) yang hilang.

Di mata keluarga besar korban, kompensasi tidaklah berarti jika tidak disertai empati. Kompensasi bukanlah transaksi ekonomi karena dengan kompensasi pihak korban tidak akan menjadi kaya raya dan bersuka ria. Pada prinsipnya, kompensasi seperti asuransi. Tidak ada yang ingin mendapatkannya dari kejadian buruk yang menimpa, seperti cacat seumur hidup atau kematian.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Peristiwa Sosial

Dalam perspektif antropologi, kematian adalah peristiwa sosial. Meninggalnya satu individu karena kecelakaan atau pembunuhan bukan hanya menorehkan duka dalam satu keluarga batih, namun juga melanda di semua kerabat besar dari pihak keluarga perempuan (istri/ibu), keluarga pihak laki/laki (suami/ayah), marga, dan seluruh komunitas.

Dalam kasus pembunuhan misalnya, berbagai data etnografi pada masyarakat Nuer di Afrika hingga Papua menunjukkan bahwa si pembunuh dan keluarga dekatnya biasanya akan menetap di rumah ketua adat agar aman dari serangan balasan. Beberapa kasus etnografi lain, seperti pada masyarakat Aborigin di Australia, mereka benar-benar melakukan asylum atau lari keluar daerah asalnya.

Dalam bahasa Indonesia, padanan kata "compensation" adalah ganti rugi. Di masyarakat Papua misalnya, kata kompensasi juga berarti "uang minta maaf". Kompensasi ini seringkali dikenakan pada kecelakaan di jalan. Pihak penabrak tidak lari ketika didatangi oleh pihak keluarga korban, apalagi jika pelaku adalah marga yang sangat dikenal. Pihak pelaku dan keluarga korban bertemu dan bicara baik-baik soal kompensasi. Kasus secara mudah dibicarakan dengan saksama, khususnya jika korban meninggal secara tidak sengaja dalam kecelakaan. Pihak keluarga korban meminta biaya penguburan, serta uang dan makanan untuk biaya upacara kematian dan undangan keluarga.

Di Papua, ketua adat dari pihak korban menjadi mediator. Ia menunggu hingga suasana benar-benar mendingin. Setelah itu ia akan membuka negosiasi untuk kompensasi terhadap kerabat korban. Kompensasi biasanya berupa puluhan babi ditambah berbagai macam kebutuhan pesta, seperti daging, beras, gula, kopi, nanas, sagu, sayuran dan ikan kering. Ketua adat hanya benar-benar sebagai mediator semata untuk mencapai kesepakatan soal kompensasi dan menjadikan suasana kembali normal seperti semula.

Membayar Keadilan

Tujuan dari kompensasi adalah membayar keadilan, memperbaiki relasi yang rusak, serta memberi pengakuan dan penghormatan terhadap perasaan masing-masing, sehingga dua pihak dapat meredam emosi dan mencegah vigilantisme atau balas dendam dari pihak keluarga korban. Jared Diamond dalam bukunya The World Until Yesterday (2013) memberikan contoh empirik tentang seorang sopir bernama Malo yang menabrak Billy, seorang anak yang tengah menyeberang, dengan tidak sengaja. Gideon, pemilik perusahaan tempat Malo bekerja, ditemani oleh tetua adat yang dihormati mengirim utusan diplomatik untuk berbicara mengenai proses kompensasi.

Setelah kompensasi disepakati, upacara pemakaman dimulai pada hari kelima meninggalnya Billy. Ketika upacara kematian diadakan, suasana duka dan emosi mulai mereda. Perwakilan pihak keluarga korban berpidato singkat, berterima kasih soal kedatangan pihak perusahaan tempat Malo bekerja. Pemilik perusahaan kemudian membalas pidato. Proses terpenting dalam pidato tersebut adalah berbagi duka. Gideon, selaku pemilik perusahaan, membayangkan seandainya yang meninggal tertabrak adalah anak kandungnya sendiri. Gideon mengatakan bahwa uang dan makanan kompensasi yang diberikan tak lebih dari sampah (trash) dibanding nyawa Billy.

Pidato menjadi tersendat-sendat karena Ibu Billy dan keluarga lainnya menangis sesenggukan. Mereka berbagi duka dan tangisan dengan Gideon. Usai upacara, keluarga dan pengunjung makan bersama ubi jalar, babi bakar, dan sayuran. Di sela-sela itu, ada banyak jabat tangan dan pelukan minta maaf.

Pada masyarakat modern, kita kesulitan mendapati peristiwa kompensasi semacam itu, di mana keluarga korban dan seluruh staf perusahaan yang menyebabkan kecelakaan duduk bersama dan berbagi duka. Baik keluarga korban dan perusahaan penyebab kecelakaan biasanya menyiapkan pengacara masing-masing, dan broker-broker asuransi juga menyiapkan diri mereka sendiri terhadap berbagai tuntutan yang dapat merugikan perusahaan asuransinya.

Rekonsiliasi Emosional

Pada masyarakat tradisional, mengingat tidak adanya peradilan modern, kompensasi mempunyai peranan penting untuk mengatur hukum keseimbangan sosial. Kompensasi diberlakukan untuk pencurian, perceraian di mana pihak keluarga pemberi harta kawin (bride price) meminta ganti rugi, dan perempuan yang meninggal akibat melahirkan di mana pihak keluarga laki-laki dianggap bertanggung jawab.

Pada masyarakat tradisional yang lebih padat penduduknya dan hierarkis seperti masyarakat Indian Navajo di Amerika atau masyarakat Polinesia, ketua adat mempunyai kekuatan politik dan sekaligus hakim yang memutuskan perselisihan. Ketua adat merangkap pengatur peradilan lebih mengkalkulasi duka dan emosional klan yang ditinggalkan, efek sosial dari individu yang ditinggalkan, dan apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki dari efek kehilangan tersebut.

Sedangkan, kompensasi dalam sistem keadilan modern tidak menghadirkan nilai emosi seperti empati. Padahal yang dibutuhkan adalah rekonsiliasi emosional antara dua belah pihak. Kompensasi modern hanya menilai kesetaraan terhadap individu yang meninggal secara standar. Magnitude kompensasi seharusnya bukan distandarkan pada nilai dari objek yang hilang, karena tidak pernah ada nilai ekuivalen antara keluarga yang meninggal dengan uang yang diganti. Uang hanya berfungsi sebagai simbol ekspresi yang tidak lengkap jika tidak dihadirkan dengan ungkapan rasa duka melalui upacara, pidato berbagi duka, dan ekspresi empatik lainnya.

Dalam masyarakat modern, ketika negosiasi kompensasi tidak dapat diselesaikan, maka tinggal berkonsultasi pada pengacara. Dalam sistem kompensasi tradisional, masing-masing pihak tidak diwakili oleh pengacara, melainkan saling bertemu dengan didampingi mediator, yakni ketua adat. Korban dan pelaku saling duduk menghadap, berpandangan mata, bercerita tentang masing-masing kehidupan mereka, dan perasaan serta motif penyebab kecelakaan.

Berbeda dengan dalam pengadilan modern. Pihak berselisih tidak bertemu langsung, melainkan diwakili oleh pengacara masing-masing. Belum lagi, di tingkat pengadilan modern, kecelakaan yang menyebabkan kematian seringkali ditangani dengan tidak efisien. Sidang berjalan lama, selalu terjadi penjadwalan ulang persidangan karena hakim atau jaksa yang sibuk. Pengadilan yang lama tanpa solusi hanya meninggalkan keluarga korban dalam kegamangan, siksaan emosional panjang dibanding kompensasi efisien dalam masyarakat tradisional.

Pengadilan sipil yang panjang juga cenderung dimenangkan oleh pihak yang lebih kuat secara finansial, entah itu di pihak penggugat atau tergugat. Ironis pula jika pihak keluarga korban kalah dalam tuntutannya karena menjadi kesedihan ganda baginya selain telah kehilangan anggota keluarganya.

Mengapa saya membandingkan kompensasi Lion Air dengan masyarakat tradisional? Dalam beberapa hal keduanya ada kemiripan. Pemilik perusahaan pesawat Lion Air, sepatutnya bertindak seperti Gideon, bos pemilik kendaraan yang anak buahnya menabrak Billy hingga meninggal. Jika pada masyarakat tradisional harapannya adalah agar relasi sosial berlangsung kembali normal dalam jangka panjang, dalam perusahaan tentu menjamin relasi kepercayaan dan memberikan rasa adil dalam melayani konsumen.

Uang kompensasi hanyalah "sampah" sebagaimana dalam pidato Gideon, karena yang bernilai adalah anggota keluarga. Nilai anggota keluarga yang meninggal tidak mempunyai padanan harga, seberapa besar pun itu, dan kompensasi tidak lebih dari simbol ekspresi berbagi duka dari pihak pelaku.

Hatib Abdul Kadir Ph.D dosen Antropologi Budaya Universitas Brawijaya (mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads