Alih-alih mendapat pembelaan, Agni malah diberi nilai C pada mata kuliah KKN. Sedangkan HS lolos dari sanksi pemecatan karena menurut kampus, apa yang dilakukan HS bukan pelanggaran berat. Yang lebih memiriskan, ada salah satu pejabat UGM yang menyudutkan korban dengan menganalogikan korban sebagai "ikan asin" yang mancing-mancing kucing.
Pihak UGM memang sempat merespons dengan berjanji akan membawa kasus tersebut ke ranah hukum. Tim investigasi sebelumnya juga telah memberikan rekomendasi ke pimpinan universitas agar HS dievaluasi nilai KKN-nya, diberikan hukuman, serta konseling psikologi. Sayangnya, sampai saat ini tidak ada tindak lanjut terhadap rekomendasi tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Preseden Buruk
Apa yang dialami Agni adalah sebuah preseden buruk yang mencederai lingkungan kampus secara khusus, dan wajah perempuan secara umum. Ketidaktegasan pihak kampus dalam bersikap dan memberi sanksi sebagai bagian dari edukasi kepada pelaku pelecehan seksual menunjukkan ada semacam toleransi civitas akademika terhadap perilaku yang menyudutkan dan melecehkan perempuan.
Institusi pendidikan semacam kampus mestinya menjadi garda paling depan yang menginisiasi penegakan etika, moral, dan kebajikan (virtue) terkait dengan penghormatan terhadap perempuan. Apalagi belum lama ini Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Susana Yembise dalam kuliah umumnya di UGM (9/11/18) yang bertajuk Gender Equality dalam Era Digital Inovation telah berkomitmen serius menggandeng perguruan tinggi agar responsif gender termasuk menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan, lewat pelbagai program edukasi seksual.
Menurut Yohana, satu dari tiga perempuan usia 15-64 tahun di Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual. Bahkan 1 dari 10 perempuan pernah mengalaminya dalam 12 bulan terakhir. Data Komnas Perempuan menunjukkan angka tingkat kekerasan seksual yang menimpa perempuan cukup tinggi. Pada 2014 tercatat 4.475 kasus, kemudian meningkat pada 2015 menjadi 6.499 kasus, dan sedikit menurun pada 2016 dengan 5.785 kasus.
Hasil pemantauan MaPPI FH-UI berdasarkan pemberitaan melalui media online dalam rentang waktu Agustus-Oktober 2017 dari 367 pemberitaan mengenai kekerasan seksual, 275 di antaranya terjadi di Indonesia. Sebesar 73 persen terjadi di Pulau Jawa, diikuti di Sumatera (13 persen), Papua (5 persen), Bali, NTB, NTT (4 persen), Sulawesi (3 persen), dan Kalimantan (2 persen). Masih menurut MaPPI FH-UI, kekerasan seksual paling besar terjadi di rumah (37 persen), kemudian di sekolah (11 persen), dan di hotel (10 persen). Usia korban tindak kekerasan seksual bervariasi. Korban anak-anak (1-10 tahun) mencapai 9,5 persen, sedangkan korban dewasa (11-20 tahun) mencapai 58,9 persen. Data tersebut sudah cukup untuk melukiskan betapa kekerasan seksual terus menjadi ancaman bagi kaum perempuan dengan jumlah kasus yang terus bereskalasi.
Menurut Komnas Perempuan, pelecehan seksual merupakan tindakan bernuansa seksual yang disampaikan melalui kontak fisik maupun non-fisik yang menyasar pada bagian tubuh seksual atau seksualitas seseorang. Misalnya siulan, main mata, komentar, ucapan, humor yang bernuansa seksual, mempertunjukkan materi-materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual dan lain sebagainya.
Salah satu faktor yang membuat ruang kekerasan seksual terhadap perempuan semakin melebar karena perempuan korban kekerasan seksual kerap menerima stigma dari masyarakat jika berusaha melaporkan apa yang dialaminya ke pihak yang berwajib. Stigma tersebut bisa berupa stempel negatif sebagai perempuan yang tidak becus menjaga kehormatan diri, keluarga, mencoreng kultur perempuan secara agama dan moral, bahkan mengkambinghitamkan perempuan sebagai penyebab utama terjadinya kekerasan seksual.
Apa yang dialami Agni, di mana ia sempat disamakan dengan "ikan asin" yang memancing kekerasan seksual laki-laki, menegaskan bahwa kaum perempuan selalu dikerangkeng oleh superioritas berpikir kultural sekaligus struktural yang melahirkan keterbatasan daya dan keberanian kaum perempuan untuk melakukan perlawanan terhadap ancaman kekerasan yang merenggut keselamatan dan masa depannya. Termasuk, untuk melawan nalar lembaga yang semestinya bersenyawa di dalam membela nilai kemanusiaan terutama hak-hak perempuan.
Respons lambat pihak UGM terhadap kasus Agni sangat disayangkan. Hal tersebut menunjukkan kuatnya watak maskulinitas di balik tembok institusi kampus yang mencoba berlindung di balik prosedur dan sistem akademis yang serbarumit, bertele-tele, hingga menjaga kehormatan lembaga itu sendiri.
Harus Direspons
Agni kini harus menahan getir dan siksaan batin. Proses kuliah dan pergaulannya pasti akan terpengaruh karena penyesalan diri dan viktimitas yang dialaminya di hadapan teman-teman, orangtua, dan keluarga. Tak terbayangkan pula sebesar apa kekhawatiran yang menggelayutinya kelak setelah menyelesaikan kuliah, saat berhadapan dengan lingkaran setan stigma sosial yang akan mempengaruhi karier dan jalan hidupnya sebagai seorang perempuan.
Tidak sedikit perempuan terpelajar seperti Agni yang akhirnya harus mengubur cita-cita dan idealismenya lebih cepat, dengan kembali ke 'dapur' (menjadi ibu rumah tangga) karena tak kuasa menahan penderitaan berjiid-jilid; sudah jatuh, mengalami pelecehan dan kekerasan, masih pula tertimpa tangga, distigma, dan direndahkan. Padahal justru dari rumahlah benih kekerasan baru terhadap kaum perempuan itu lahir dalam wujud kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Dengan ketimpangan gender --daya tawar status sosial-ekonomi yang rendah-- perempuan mudah sekali dikendalikan dan dieksploitasi termasuk direndahkan dan dilecehkan dengan label sebagai kaum kelas dua yang dianggap hanya pantas melayani suami, mengurus anak dan rumah. Data Komnas Perempuan tahun 2017 menguak bahwa kekerasan di ranah personal/rumah tangga, yaitu kekerasan terhadap istri mencapai 5.784 kasus (berupa kekerasan terhadap fisik, psikis, seksual, dan penelantaran) sebagai yang tertinggi di banding kekerasan di level komunitas dan ranah negara.
Desakan untuk mengusut dan menyelesaikan tuntas kasus kekerasan seksual yang dialami Agni perlu direspons secara serius dan tegas oleh pihak universitas, dengan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan gender. Jangan sampai kelambanan menyelesaikan kasus tersebut semakin membenarkan rahasia umum selama ini bahwa banyak kasus kekerasan seksual di kampus yang didiamkan begitu saja, bahkan kampus ikut memproduksi statemen-statemen bias-gender, yang berbalik menyudutkan perempuan sebagai pemicu.
Kampus mestinya tumbuh dalam semangat zaman mematrikan dan menyebarkan nilai-nilai kebenaran yang humanis, termasuk menjadi institusi terdepan yang menangkap angin spirit pembebasan kemanusiaan ala Nadia Murad yang berhasil meraih Nobel Perdamaian 2018 sebagai penyintas korban kekerasan seksual dan perdagangan manusia.
Fransisca Ayu K Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini