Yang paling disorot dari keseluruhan adegan itu adalah bagaimana cara si pedagang menyiapkan dan menyajikan dagangannya. Dia mengaduk-aduk adonan isi panipuri dengan tangan telanjangnya, lalu tangan yang tertempel adonan itu ia cuci dengan kuah di wajan, sehingga wajan berisi kuah itu ia jadikan sebagai semacam air kobokan. Padahal, adonan dan kuah itulah yang kemudian ia masukkan ke sejenis cangkang kerupuk, dan cangkang berisi adonan berkuah itulah sajian final yang langsung disantap di TKP oleh para pembeli.
"Hiiiii menjijikkaaan. Kok doyan ya? Aduh, itu air kobokan diserupuuut!" Ratusan komentar semacam itu, bahkan yang jauh lebih sadis lagi, bermunculan di bawah video.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diriwayatkan, suatu kali Kiai Agus Salim bergabung di dalam sebuah konferensi. Konferensi itu dihadiri oleh delegasi Indonesia maupun asing, entah dari Belanda saja atau juga dari negara-negara Eropa lainnya.
Yang jelas, pada sesi istirahat makan siang, semua anggota delegasi makan bersama. Sajian dihidangkan, piring dan sendok-garpu disiapkan. Giliran Kiai Agus Salim mulai makan, beliau menyingkirkan sendok-garpu dari hadapannya, lalu makan menggunakan tangannya. Itulah lazimnya cara makan orang Nusantara.
Seketika, para peserta konferensi yang berasal dari negara Eropa membelalakkan mata, lalu mengejek cara makan Agus Salim sebagai cara yang menjijikkan.
Tak dinyana, Kiai Agus Salim menjawab dengan gagahnya,
"Tanganku ini cuma kupakai untuk menyuapi mulutku sendiri. Adapun sendok-garpu yang kalian pakai itu digunakan untuk menyuapi ratusan mulut. Jadi, mana yang lebih menjijikkan?"
***
Sampai di sini, tentu Anda sudah paham ke mana arah perbincangan ini. Saya tidak hendak mengatakan bahwa makan dengan sendok lebih menjijikkan daripada dengan tangan. Namun, ada relativitas yang diabaikan ketika kita menilai standar-standar subjektif dari kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan milik kita.
Benar, perasaan jijik itu sesuatu yang sangat subjektif. Ia tidak bersifat universal, dan tidak dapat ditetapkan ukurannya secara ilmiah. Beda halnya dengan urusan bersih dan kotor, juga sehat dan tidak sehat. Perkara sehat dan tidak sehat sangat bisa diukur secara ilmiah, dengan cara dihitung risiko medisnya, misalnya.
Repotnya, saya sendiri pernah terkena hepatitis gara-gara makan batagor di kaki lima, saat wabah menyerang lingkungan kampus UGM dan sekitarnya, padahal saya makan batagor pakai sendok. Memang sih ya, sendoknya itu kira-kira dicuci di dalam seember air, dan di ember itulah dicelupkan ratusan sendok lainnya hahaha!
Kita kembali ke pedagang panipuri di jalanan India. Apakah cara dia menyajikan dagangan itu tidak sehat? Saya tidak yakin. Tangan si abang panipuri hanya ditampakkan menyentuh tiga hal saja, yakni adonan isi, kuah, dan cangkang kerupuk. Tidak tampak dia menggunakan tangan itu untuk, misalnya, menggaruk-garuk keteknya.
Jadi, secara objektif tidak ada informasi apa pun di video tersebut yang membuktikan bahwa cara penyajian panipuri itu tidak higienis. Tidak ada pula keterangan bahwa abang panipuri tidak mencuci tangan sama sekali sebelum mulai bekerja.
Lalu, apa bedanya si abang panipuri dengan nenek-nenek pedagang pecel di Pasar Beringharjo? Bukannya Mbah Pecel juga memakai tangan telanjangnya untuk menjumputi sayur dan kecambah rebusan yang agak becek itu? Apa bedanya pula dengan tukang bakso yang menjumputi mie, irisan tahu, dan segenap unsur bakso dengan tangan telanjang, sebelum kemudian mengguyurkan kuah panas ke atasnya?
Saya kira, bedanya cuma satu, yakni si abang panipuri menyentuhkan tangannya ke elemen makanan yang basah, sementara nenek-nenek penjual pecel tidak menempelkan tangannya ke kuah pecel yang sama basahnya. Di situlah kesan jijik kita muncul.
Tapi ingat, lagi-lagi perasaan jijik bukanlah sesuatu yang ilmiah. Apakah ada keterangan medis yang menyebutkan bahwa mikroba tidak bisa berpindah dari tangan jika cuma disentuhkan ke sayur rebus, sementara kuman-kuman itu bergerak dengan sangat cepat saat tangan menempel di kuah?
***
Setiap tempat dan setiap budaya memiliki ukuran masing-masing untuk menetapkan apa yang pantas dan apa yang tidak, apa yang indah dan apa yang tidak, apa yang baik dan apa yang tidak, apa yang menjijikkan dan apa yang tidak, bahkan apa yang kejam dan apa yang tidak.
Semua itu merupakan bagian dari sistem norma, dan sistem norma dibangun dari kesepakatan-kesepakatan sosial yang terbatas pada lingkup kebudayaan tertentu dan lingkup masa tertentu. Semuanya sangat mungkin berubah jika keluar dari konteks kebudayaan terkait, juga ketika zaman sudah berganti.
Bukan cuma soal cara penyajian makanan. Tentang jenis makanan pun demikian. Coba, berapa di antara orang-orang di lingkungan saya yang merasa jijik saat melihat orang Papua menjadikan ulat sagu sebagai makanan harian mereka, misalnya. Padahal di sebagian wilayah Jogja pun ulat dari pohon jati dijadikan kudapan.
Dulu waktu kecil, nenek saya menggoreng larva tawon, badan laron, juga beberapa jenis serangga tanah. Sekarang hewan-hewan itu tidak dijadikan pilihan konsumsi, barangkali karena norma yang sudah berubah, akses makanan lain yang lebih mudah, sehingga apa-apa yang semula wajar dan aman sekarang dianggap menjijikkan.
Saya juga ingat betapa gondoknya saya ketika pada suatu kali acara reality show Amerika, yakni Fear Factor, menyajikan tantangan bagi pesertanya untuk menyantap satu buah menjijikkan: durian! Ya ampun. Salah satu buah favorit saya di muka bumi dianggap menjijikkan, dan orang-orang itu berjuang keras mencicipinya sambil memasang wajah ngeri dan menahan muntah. Sialan.
Kita bahkan bisa mengembangkannya menjadi perdebatan antara kejam dan tidak kejam.
Mohon maaf, saya ambil contoh Tomohon. Sudah sangat sering kita bertemu foto atau video tentang komoditas yang digelar di Pasar Tomohon, Sulawesi Utara. Ada daging ular, tikus, kalong, anjing, dan sebagainya. Bagi orang-orang di luar masyarakat mereka, konsumsi atas jenis-jenis daging tersebut selain dianggap menjijikkan juga dilihat kejam dan mengerikan.
Kenapa begitu? Sebab masyarakat lain yang sedang menilai saudara-saudara di Tomohon itu adalah masyarakat pengonsumsi daging ayam, kambing, sapi, kerbau, atau babi. Karena sudah telanjur terbiasa makan daging sapi, maka masyarakat yang makan daging ular dan tikus dianggap, maaf, tidak beradab.
Sementara itu, saya sendiri makan daging sapi. Pada waktu Idul Adha kemarin, di dinding Facebook saya, saya memajang foto-foto daging sapi ketika sudah kami cacah dan digelar di serambi masjid. Lalu tiba-tiba muncullah satu komentar mengenaskan. "So sad to see this...."
Saya terkesiap. Komentar itu datang dari sahabat saya di Australia, Satinder Singh. Dia orang Punjab, India. Masyarakat Punjabi India mayoritas beragama Sikh. Ajaran Sikh mengajarkan vegetarian total, melarang daging hewan apa pun untuk dikonsumsi.
Sejak hari itu, Satinder lenyap dan tidak mau muncul lagi di dinding Facebook saya. So sad....
Dari situ tampak jelas, bahwa kejam dan tidak kejam pun bukan perkara universal. Kawan-kawan di lingkungan saya mungkin menganggap orang Tomohon kejam. Namun, semestinya mereka juga sadar bahwa bagi orang Punjab, pemangsa daging sapi seperti saya pun sungguh tidak kalah kejam.
***
Akhirul kalam, ada satu hal penting yang bisa kita ambil dari semua cerita di atas, yaitu komunikasi budaya. Kita sangat perlu mengajarkan pemahaman inter-kultural kepada anak-anak kita, demi tumbuhnya situasi saling memahami satu sama lain. Tanpa langkah itu, kadang kita akan mudah terjatuh ke dalam perasaan superior yang tidak berdasar.
Dengan bekal perasaan superior dari suatu budaya atas budaya lain, tanpa kehadiran ISIS pun, kita sudah cukup gampang dipecah belah.
Iqbal Aji Daryono esais, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini