Film ini bukan hanya menampilkan lagu-lagu abadi yang dikenang para penggemar seperti We Will Rock You, Love of My Life, We Are The Champions, dan lain-lain tetapi yang terutama justru kisah sang bintang, seorang ikon budaya bernama Freddie Mercury βvokalis grup band legendaris Queen asal Persia yang nama aslinya Farrokh Bulsara.
Siapa menyangka di balik kehidupan artis yang serba gemerlap, penuh dengan pesta-pora, dan juga narkoba ternyata di sana tersembunyi sosok yang rapuh? Freddie, anak muda bergigi tonggos yang di satu sisi terlalu percaya diri, namun di sisi yang lain ia sesungguhnya adalah sosok yang rapuh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai the other, Freddie digambarkan mengalami alienasi justru di tengah puncak popularitasnya. Ketika ia memutuskan menempuh karier musik sendirian dengan iming-iming honor 4 juta dolar AS, Freddie bukannya makin maju. Sisi-sisi rapuh Freddie, dan juga sikap culas manajernya, membuatnya kehilangan cinta sejati, sahabat, dan masa depannya.
Di tengah kesendirian dan alienasi yang dialami Freddie, Mary Austin muncul sebagai bidadari yang menyelamatkan masa depan kehidupannya. Freddie yang sempat meninggalkan rumah dan keluarganya, grup band Queen, akhirnya berkat bisikan Mary Austin memilih kembali pada habitat yang melahirkan dan membesarkannya. Brian May dan Roger Taylor, pionir Queen yang bersama-sama membesarkan nama grup band mereka hingga menembus pasar Amerika, berlapang dada dan kembali mau menerima kembalinya si bocah bengal Freddie Mercury yang telah menyadari kekeliruannya.
Berbeda dengan nasib ikon-ikon budaya popular yang kebanyakan tunduk pada selera pasar dan kekuasaan para pemilik industri budaya popular global, Freddie adalah sosok yang angkuh, dan tegar pada pendiriannya. Ketika produser yang mensponsori penerbitan lagu-lagu Queen meminta Freddie tidak menciptakan genre baru dengan menyanyikan lagu yang durasinya panjang --dua kali lipat lagu normal lainnya-- Freddie dengan tegas menolak.
Di mata Freddie, para pemilik modal dan pasar tidaklah boleh berlaku semena-mena dan mendikte pasar musik global. Memadukan musik rock dan opera mungkin sama sekali tidak pernah terbayangkan oleh siapa pun. Opera adalah musik kaum aristokrat yang membosankan βbahkan berlawanan dengan musik rock yang menjadi basis Queen. Tetapi, Freddie berani melawan tekanan dan keluar dari arus besar.
Dengan kepala yang mendongak, Freddie dan kawan-kawannya memilih keluar dari pakem. Produser musik yang hendak memaksakan keinginannya mereka tolak mentah-mentah. Bagi Freddie, pasar dan modal bukanlah sesuatu dapat menentukan dan menyediakan koridor masa depan seorang superstar bermusik. Lebih dari sekadar bernyanyi dan mencipta lagi demi kepentingan pasar, yang dilakukan Freddie adalah melahirkan jalannya sendiri.
Lagu-lagu Queen yang menjadi masterpiece, yang dikenang penggemar dan dinyanyikan hingga detik ini dalam berbagai event, adalah bukti bagaimana keangkuhan dan rasa percaya diri Freddie akhirnya justru melahirkan karya yang monumental. Lagu-lagu Queen yang dinyanyikan Freddie menjadi produk industri budaya yang abadi, dikenang dan dinyanyikan hingga sekarang tanpa harus kalah bersaing dengan lagu-lagu kontemporer yang serba atraktif.
Di lingkungan masyarakat postmodern, para penggemar biasanya mengkonsumsi produk-produk budaya popular karena didorong oleh konstruksi dan logika hasrat yang samar. Industri budaya yang kapitalistik, menurut Mazhab Frankfurt, membentuk selera dan kecenderungan massa, sehingga mencetak kesadaran mereka dengan cara menanamkan keinginan mereka atas kebutuhan-kebutuhan palsu.
Dua ciri utama yang menandai industri budaya adalah standarisasi dan individualisme semu. Seperti dikatakan Adorno dan Horkheimer (1979), bahwa produk budaya adalah komoditas yang dihasilkan oleh industri budaya yang meski demokratis, individualis, dan beragam, namun pada kenyataannya otoriter, konformis, dan sangat terstandarisasikan (Barker, 2004: 47).
Freddie Mercury dan Queen adalah ikon budaya populer yang berhasil keluar dari belenggu kekuasaan kapitalis. Meski sang ikon pada akhirnya harus meninggal karena HIV/AIDS, tapi nama Freddie niscaya tetap akan dikenang para penggemarnya sepanjang hayat. Lengkingan suara Freddie dan gesturnya menggoda ketika konser amal Live Aid 13 Juli 1985 adalah sebuah memori yang tidak akan pernah terhapus dari ingatan.
Rahma Sugihartati dosen Masyarakat Digital dan Budaya Populer di FISIP Universitas Airlangga
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini