Menguji Kemandirian Partai Politik
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Menguji Kemandirian Partai Politik

Selasa, 06 Nov 2018 12:07 WIB
Bambang Arianto
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Foto: Lamhot Aritonang
Jakarta - Kemandirian partai politik kembali diuji setelah muncul usulan pembiayaan dana saksi untuk Pemilu 2019. Angka yang diajukan lewat Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat untuk dana saksi di Pemilu 2019 mencapai Rp 3,9 triliun. Anggaran sebesar itu akan digunakan untuk membiayai satu orang saksi tiap partai politik.

Mahfum diakui bahwa dalam kontestasi politik tentu kehadiran para saksi dari partai politik sangat penting demi terciptanya pemilu yang jujur dan adil. Tapi, usulan dengan pembiayaan saksi partai politik dengan dalih untuk meminimalkan kecurangan di setiap tempat pemungutan suara (TPS) jelas sangat berlebihan.

Terlebih lagi saat ini fungsi pengawasan pemilu yang dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dari tahun ke tahun kian meningkat. Artinya, untuk alasan kecurangan dalam pemungutan suara dapat ditekan. Sebab selain publik, relawan dan tim pemantau independen lainnya akan berusaha mengawasi jalannya pemilu dengan saksama.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain itu pula, usulan anggaran untuk pembiayaan saksi partai tidak memiliki dasar hukum. Sebab, pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang dibiayai negara hanya untuk pelatihan saksi oleh Bawaslu, tidak ada klausul mengenai dana saksi.

Meskipun DPR mengusulkan dana tersebut agar dikelola oleh Bawaslu, tapi gejala ini kian menegaskan bahwa partai politik belum juga beranjak dari kemandirian dalam mengelola manajemen kampanye. Bahkan bila kita merujuk TPS pada Pemilu 2019 tercatat 805.075, sedangkan jumlah peserta pemilu ada 16 parpol, maka bila setiap partai politik memiliki satu saksi di tiap TPS, akan ada sekitar 12.881200 saksi.

Dana saksi partai politik juga rawan kecemburuan sosial. Sebab, dana saksi ini tak meliputi dana saksi bagi calon anggota DPD pada Pemilu 2019. Sedangkan, saat ini tercatat ada sekitar 807 calon DPD dari 34 daerah pemilihan provinsi yang memperebutkan 136 kursi DPD.

Artinya, bila benar saksi partai politik dan diikuti oleh saksi DPD juga dibiayai oleh negara, bisa dibayangkan betapa besar anggaran negara yang harus dikeluarkan hanya untuk saksi saja. Identifikasi tersebut menggambarkan bahwa partai politik belum juga bisa beranjak menjadi partai modern yang tampil mandiri. Padahal partai politik harus memiliki sumber dana sendiri untuk membiayai aktivitas mereka. Salah satunya dengan memaksimalkan para kader, relawan dari setiap calon anggota legislatif.

Peran relawan politik sebagai tim sukses selain bisa didorong untuk mendongkrak elektabilitas kondidat politik, sekaligus bisa diminta untuk menjadi saksi di setiap TPS. Apalagi, selama proses verifikasi keanggotaan semua partai politik acapkali mengklaim memiliki ribuan kader bahkan belasan ribu di setiap provinsi.

Dengan kata lain, partai politik nyatanya belum bisa memanfaatkan bonus demografi terutama para generasi milenial untuk direkrut menjadi relawan politik. Padahal bila partai politik bisa menarik partisipasi aktif generasi milenial dengan dukungan teknologi informasi, bisa dipastikan diskursus perihal dana saksi tidak perlu lagi terjadi.

Gejala ini kian membuktikan bahwa partai politik belum dapat membangun kemandirian dengan baik. Setiap partai politik sejatinya harus terus berproses dalam upaya pelembagaan partai. Sebab salah satu aspek dari pelembagaan partai adalah memperkuat sistem keanggotaan dan kaderisasi. Artinya, tanpa harus diberi honor pun, partai politik sudah seharusnya tetap menjamin dan memiliki kesiapan logistik untuk menyediakan saksi bagi partai politiknya masing-masing.

Dalam upaya konsolidasi demokrasi, partai politik sesungguhnya bisa berperan sebagai salah satu pilar yang menopang berdirinya suatu negara tanpa harus dibiayai oleh negara. Oleh sebab itu kita berharap, usulan pembiayaan dana saksi segera dihentikan dan tidak lagi dilanjutkan. Tujuannya tidak lain agar bisa menguji kemandirian partai dalam manajemen kampanye politik.

Partai politik ke depan harus bisa memberdayakan kembali para kader, simpatisan dan relawannya secara signifikan. Dengan begitu, diyakini partai tidak lagi hanya bisa meminta kepada negara hanya untuk membayar dana saksi partai politik.

Bambang Arianto peneliti LPPM dan Dosen Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads