Merawat Pasar Tempo Doeloe
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Merawat Pasar Tempo Doeloe

Selasa, 06 Nov 2018 10:58 WIB
Heri Priyatmoko
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Foto: Bayu Ardi Isnanto/detikcom
Jakarta - Hati menjerit, lara tak tertahankan. Ribuan bakul Pasar Legi tengah meratapi nasibnya. Demikian pula puluhan buruh gendong perempuan bermata sembab menatap nanar ratusan kios yang dijilati api sejak sore hari (29/10). Pasar legendaris di kampung halaman Presiden Jokowi ini hangus terbakar. Perlu dikabarkan ke publik, pasar induk penyangga kebutuhan bahan pangan se-Soloraya ini sanggup memutar uang miliaran dalam sehari.

Peristiwa nahas itu jelas berdampak luas. Bukan sekadar mawut-nya jaringan pelaku ekonomi yang telah teranyam ratusan tahun, namun juga ingatan sejarah lokal yang terkisis. Pasar peninggalan Mangkunegara (MN) I tersebut menjelma bak monumen yang mengekalkan kisah historis ketangkasan pembesar Praja Mangkunegaran merawat ekosistem pasar dan kepedulian terhadap wong cilik.

Arena ekonomi yang ramai saban pasaran Legi ini dibangun MN I pasca-Perjanjian Salatiga 1757. Spirit MN I dalam perkara mengelola pasar ternyata berhasil diwariskan kepada para penerusnya. Kawasan pasar diatur pula dalam regulasi dengan melibatkan pembesar kolonial Belanda sebagai pengawas. Pasalnya, pasar termasuk perusahaan praja yang menyumbang kas negara tak seupil dari hasil menyewakan berpetak-petak kios.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Baiklah, saya comotkan keterangan Th. M. Metz (1939) mengenai grafik pajak yang relatif naik, bahkan tak terganggu oleh krisis ekonomi global: f 60.000 (tahun 1917), f 100.000 (1928), f 164.000 (1929), f 141.000 (1931), f 90.000 (1932), serta f 119.000 (1933).

Merujuk Rijksblad Mangkunegaran No. 23/1917 dan Rijksblad Mangkunegaran No. 9/1918 pasar didefinisikan sebagai ruang transaksi ekonomi yang terdiri dari beberapa bagian. Pertama, los atau rumah yang ada di atas wilayah yang dijadikan pasar. Kedua, halaman pasar dipakai untuk menaruh dagangan dan jual beli. Ketiga, koplakan sebagai tempat parkir gerobag atau binatang tarikan.

Kendati hidup di alam feodal, penguasa tradisional tak main-main menggarap pasar demi kemajuan ekonomi. Ada aturan tegas dan modern bisa dijumpai dalam Rijksblad Mangkunegaran tahun 1917. Semisal, saban los atau rumah di pasar kudu ditempel papan putih memuat rincian aneka barang yang dijual serta besaran sewa tempat yang dipakai untuk berniaga. Bila terdapat barang yang tidak disuratkan di papan, lurah pasar memutuskan barang ini masuk golongan apa.

Buka-tutupnya pasar ditentukan abdi dalem Patih Mangkunegaran. Para bakul kala itu dilarang menaruh dagangannya sebelum pasar buka dan sesudah pasar tutup tanpa seizin Demang Parimpuna atau lurah pasar.

Yang menarik, barisan bakul Pasar Legi berhak pula meminta karcis kepada petugas usai ditariki ongkos sewa kios. Hal ini sebenarnya guna menghindari perilaku korup atau menyimpang pegawai istana, selain bukti diperbolehkan menjajakan dagangannya. Keamanan pasar tak luput jadi sorotan Gusti Mangkunegara dengan menerapkan aturan tidak boleh nyruput minuman keras alias mabuk-mabukan di area tersebut. Maklum, detik itu banyak buruh laki-laki yang doyan menenggak jenewer alias ciu, kulakan dari Kawedanan Bekonang. Agar pasar tidak semrawut dan tetap terjaga kebersihannya, gerobag sapi atau kuda tidak diizinkan masuk ke pasar.

Secara teoritis, sebuah sistem bisa berjalan lancar jika terdapat lembaga khusus yang mengurusi secara profesional. Dialah Kabupaten Parimpuna. Dinas ini dibentuk tahun 1917 dan disampiri tugas mengelola seluruh pasar milik Praja Mangkunegaran. Lembaga itu dinahkodai inspektur yang ditunjuk oleh Gusti Mangkunegara disertai sumpah jabatan. Sebagai pengawas pasar, ia dibantu oleh ajund inspektur, lurah pasar, dan tenaga pembantu yang diperlukan. Menjaga tata kebersihan pasar, memeriksa pengumpulan uang sewa pasar sesuai ditentukan Praja Mangkunegara, serta melaporkan keluar-masuknya keuangan ialah secuil tugas yang dipanggul inspektur bersama wakilnya. Apabila karcis habis, mereka segera meminta kepada abdi dalem di kantor sekretaris.

Kita sering melihat pemerintah kota mempercayakan pasar pada lurah pasar, dari urusan penarikan karcis hingga kondisi riil pasar. Rupanya realitas ini sudah ditemukan di masa lampau. Periode kerajaan, lurah pasar harus berada di pasar saban hari sebelum pasar buka sampai tutup. Ia tak boleh meninggalkan pasar tanpa mengantongi izin atasan. Supaya menjauhkan dari praktik penyimpangan dan aji mumpung, pembesar Mangkunegaran tanpa tedeng aling-aling menghardik lurah pasar jika turut melakukan aktivitas bisnis di pasar yang diawasinya. Seumpama kepergok korupsi atau menyeleweng, bakal di-lorot jabatan atau dipecat.

Saya comotkan penggal kasus penggelembungan dan penggelapan uang pajak pasar oleh seorang demang. Saban orang yang akan menjual hewan piaraannya di pasar ditariki pajak f. 1 atau 60 sen oleh demang Pontjojoedo. Padahal, dalam regulasi tersurat pajak sebesar 10 sen bagi sapi atau kuda dan 3 sen untuk kambing. Selain itu, ia juga melakukan pungutan liar kepada para bakul. MN VII (1916-1944) memperoleh laporan dari warga pasar, lantas menghukumnya.

Pajak pasar dikembalikan untuk kemakmuran rakyat. Contohnya, praja Mangkunegaran tahun 1924 menggelontorkan dana f 800.000 untuk pembangunan pasar yang permanen. Semula, pasar berdinding anyaman bambu diganti tembok. Selain itu, dibangun infrastruktur pendukung agar para bakul Soloraya termudahkan ngudi rezeki ke kota. Kenyataan ini termaktub dalam Sêrat Pèngêtan Kawontênan tuwin Urutipun Lêlampahan Dalêm Kangjêng Gusti Pangeran Adipati Ariya Mangkunagara kaping 6 Wiwit Miyos Dumugi Seda. Dijelaskan, “Amangun tuwin amurwani yasa krêtêg ing margi agêng ngangge wangun tuwin gagrak sapunika, kados ta: ing pêkên Lêgi, ing Srambatan, ing Gilingan, saha krêtêg alit-alit ing saurutipun margi agêng.”

Demikianlah kilas balik sejarah yang menyadarkan kita bahwa penguasa tradisional di masa lampau begitu peduli terhadap nasib pasar dan ekosistem yang hidup di dalamnya. Kearifan sejarah yang bisa diunduh ialah Pemkot Surakarta mestinya mewarisi spirit MN I, bergerak cepat menyelamatkan nasib “manusia pasar”. Pasalnya, kebakaran Pasar Legi tidak saja berdampak pada ketahanan ekonomi yang merapuh, namun juga menyangkut masalah psikologi. Mereka, si pembayar pajak ini, jangan sampai dilanda stres berat akibat ketidaksigapan dan ketidakjelasan sikap pemerintah pasca peristiwa kebakaran.

Heri Priyatmoko dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, founder Solo Societeit

(mmu/mmu)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads