Perkenalan saya dengan kota Mebourne terjadi sejak 1995. Waktu itu saya kerap melakukan perjalanan jurnalistik ke berbagai kota di Australia. Saya lebih mengamati ketika 1998 dalam rangka penulisan desertasi untuk program doktor saya, saya diizinkan kantor untuk cuti tiga bulan. Di Melbourne dua bulan, kemudian satu bulan keliling Amerika Serikat.
Di Melbourne, berkat bantuan Prof. Dr. Arief Budiman yang waktu itu mengajar di Melbourne University, saya difasilitasi untuk menggunakan kantor seorang profesor yang sedang cuti mengajar di luar negeri. Kantor tersebut berada di Gedung John Medley, Melbourne University. Di lantai 6 itulah saya mulai menyusun dasar-dasar disertasi saya.
Selama masa itu saya mulai mengamati kota Melbourne, yang saya anggap sebagai salah satu kota paling indah di Australia. Kota itu dibangun oleh sekelompok pemukim liar yang tidak sengaja mendarat di Phillip Bay pada 1851. Dalam perkembangannya kemudian, di New South Wales di negara bagian Victoria ditemukan emas yang mendorong terjadinya "rush" orang-orang Australia dari berbagai wilayah untuk mengadu nasib baik. Sama seperti era "gold rush" di California, Amerika Serikat pada abad ke-18.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 1 Januari 1901, lewat konstitusi, dikeluarkan kebijakan Australia Putih yang membatasi imigran Australia hanya khusus untuk orang-orang kulit putih dari Eropa (White Australian Policy).
Setelah Perang Dunia II kebijakan tersebut dihentikan. Sejak saat itu Australia telah menjadi rumah bagi penduduk yang berasal lebih dari 200 negara. Ekonomi Australia tumbuh pesat pada 1950-an, terutama didukung oleh pembangkit listrik tenaga air di Snowy Mountains, dua jam perjalanan mobil dari Melbourne. Sejak itu, ekspor meningkat dengan cepat, khususnya produk industri logam, wool, daging, terigu, yang pada gilirannya bersamaan dengan itu mendongkrak kemakmuran Melbourne dan sekitarnya. Pemilikan rumah naik, dari 40% pada 1947, menjadi lebih dari 70% pada 1960-an.
Di bawa pimpinan visioner dari Partai Buruh, Gough Whitlam, Australia pada 1970-an berkembang pesat setara dengan negara-negara Eropa.
Menurut saya salah satu daya tarik Melbourne adalah kebersihannya. Hal ini pula yang menyebabkan Melbourne menjadi the most liveable city --negara yang paling cocok untuk tempat tinggal-- di dunia selama 7 tahun berturut-turut yaitu dari 2011 hingga 2017.
Perihal faktor kebersihan kota Melbourne, saya beruntung mendapat jawabannya. Minggu lalu, dalam perjalanan pulang ke Jakarta, di pesawat saya sempat berdiskusi dengan penumpang di sebelah saya, dr. Adit. Ia sudah 11 tahun bermukim di Australia. Bekerja di perusahaan sanitasi yaitu perusahaan yang membersihkan air limbah, khususnya dari gedung-gedung perkantoran, mall, stasiun kereta api, gereja, gedung pertemuan, kafe, restoran, hotel, dan apartemen di pusat kota Canberra.
Siapapun yang menggunakan air harus mengirimkan limbahnya ke pabrik-pabrik pengolahan limbah. Di tempat itu, air dibersihkan oleh perusahaan tempat ia bekerja dengan menggunakan campuran bahan kimia yang tidak berbahaya serta menyaring berbagai bahan limbah, khususnya plastik untuk kemudian dikirim ke pabrik sanitasi air milik pemerintah untuk diolah sekali lagi sebelum dibuang ke sungai atau laut.
Menurut Adit, Melbourne bersih bukan hasil sulap sekejap, namun diawali dengan didirikannya environment protection authority (EPA) pada 1971 berdasarkan Environment Protection Acts 1970. Visi EPA ini adalah menciptakan lingkungan sehat yang mendukung kemakmuran dan kenyamanan hidup di negara bagian Victoria dan menjadikan Victoria best liveable state 2011-2017.
Proses pengolahan limbah cair ini tidak sederhana. Beberapa langkah harus ditempuh, mulai dari pemisahan limbah cair dari limbah padat, penyesuaian pH dan airasi untuk memastikan bahwa air yang sudah diolah layak untuk digunakan kembali atau dibuang agar dan tidak merusak lingkungan.
Konsep ini diterima baik oleh seluruh penduduk Australia. Apalagi ketika diberlakukan sanksi hukum yang berat kepada mereka yang melanggar Environment Protection Act, dan adanya dukungan media, LSM serta politisi yang secara terbuka mendukung konsep undang-undang kebersihan ini.
EPA juga sadar bahwa kotoran limbah terbesar adalah sampah di rumah tangga. Bersama dengan peraturan itu diberlakukan aturan bahwa setiap rumah tangga wajib untuk menyediakan tiga macam tong sampah yang berbeda. Masing-masing berwarna hijau, merah, dan kuning. Tong sampah merah untuk mengumpulkan semua bahan sampah yang tak bisa didaur ulang, seperti bekas sayuran, makanan, buah (rubbish). Warna kuning untuk bahan sampah yang bisa di-recycle: plastik, kertas, botol, kaleng. Sedangkan, tong warna hijau khusus untuk sampah halaman dan kebun seperti potongan rumput, daun, dan ranting.
Tong sampah merah diangkut oleh perusahaan pengangkut sampah setiap Rabu pagi, sementara tong warna hijau dan kuning dua minggu sekali. Truk pengangkutan sampah bekerja setiap minggu tanpa mengenal hari libur. Berkat cara ini Melbourne menjadi kota yang bersih, sungai, pantai, dan laut jernih, tidak ada bekas sampah maupun kotoran, sehingga bisa dihuni ribuan ikan tawar dan laut, serta dapat digunakan rekreasi, berenang setiap hari, terutama akhir pekan.
Awalnya tentu ada penentangan, khususnya dari sektor biaya serta infrastruktur pendukung. Perlahan namun pasti akhirnya segenap penduduk Melbourne dan hampir seluruh kota di Australia mengikuti apa yang diperintahkan oleh EPA dan menjadikannya bagian dari gaya hidup.
Australia yang memiliki panjang pantai 25.760 km, 1/3 garis pantai Indonesia yang panjangnya 99.093 km, jika Indonesia ingin menerapkan konsep EPA, tentunya diperlukan waktu yang lama, khususnya karena harus mengubah gaya hidup dan perilaku kebersihan.
Namun, semuanya sesungguhnya bisa dilakukan asalkan diawali dengan undang-undang tentang kebersihan, diiringi persiapan pendidikan sejak taman kanak-kanak, khususnya peningkatan disiplin.
Sekarang ini Indonesia diklaim merupakan negara dengan limbah plastik terbesar kedua di di dunia. Amat sulit mengawalinya. Namun, bagaimanapun juga harus dimulai. Mengapa? Karena, sampah tidak saja merupakan barang yang kotor dan harus dihindari, namun kalau dikelola secara baik, bisa menjadi bahan daur ulang yang bermanfaat, sekaligus memperbaiki tingkat kesehatan rakyat secara keseluruhan.
So, siapa yang berani memulai? Paling tidak ikut memikirkan sebuah rancangan undang-undang tentang kebersihan. Bukankah menurut agama Islam, kebersihan adalah bagian dari iman?
Ishadi SK Komisaris Transmedia
(mmu/mmu)











































