Menyoal Dukungan Kepala Daerah di Pilpres 2019
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Menyoal Dukungan Kepala Daerah di Pilpres 2019

Senin, 05 Nov 2018 12:10 WIB
Abdul Hakam Naja Naja
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Sebuah acara deklarasi dukungan kepala daerah terhadap capres (Foto: dok. Istimewa)
Jakarta -

Fenomena dukungan sejumlah kepala daerah terhadap calon presiden dan wakil presiden tertentu menimbulkan polemik baru menjelang pesta politik akbar Pilpres 2019. Sejumlah kepala daerah bahkan secara vulgar mendeklarasikan dukungannya secara terbuka hingga masuk ke struktur tim kampanye di daerah. Masuknya jajaran kepala daerah ke dalam tim kampanye capres dan cawapres bukan hanya akan mengganggu jalannya roda pemerintahan di daerah, tetapi juga berpotensi memunculkan konflik di tengah masyarakat.

Proses pemilihan umum yang semestinya dijalani dengan jujur, adil, dan damai justru berpotensi dirusak oleh perilaku kepala daerah yang tidak menjunjung tinggi aturan dan etika dalam tata kelola pemerintahan. Keterlibatan kepala daerah dalam politik praktis tersebut dapat membuka celah penyalahgunaan kekuasaan hanya untuk sekedar memenangkan pasangan capres dan cawapres tertentu. Padahal, kepala daerah mestinya dapat bersikap lebih bijak dengan tidak mendeklarasikan dukungannya sehingga dapat meminimalisir terjadinya konflik kepentingan dan benturan sosial.

Sejauh ini dukungan para kepala daerah yang paling mencolok adalah kepada pasangan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin. Pasangan tersebut mendapat telah mendapatkan dukungan secara terbuka dari beberapa kepala daerah seperti 31 kepala daerah di Jawa Timur, 22 kepala daerah di Jawa Barat, 10 kepala daerah di Sumatera Barat, seluruh kepala daerah di Kalimantan Tengah, Gubernur Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan, Papua, serta Wakil Gubernur Maluku Utara.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di sisi lain, pasangan Prabowo dan Sandiaga Uno melarang para kader partai pendukungnya yang menjabat sebagai kepala daerah untuk menjadi bagian dari tim sukses. Alasannya demi menjaga fungsi pelayanan publik berjalan dengan baik.

Secara legal formal, kepala daerah memang memiliki hak untuk mendukung salah satu kandidat namun hak tersebut diatur secara ketat dalam undang-undang. Misalnya dalam Pasal 59 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tertuang hak kepala daerah dalam berkampanye. Namun demikian, kepala daerah tersebut diwajibkan mengambil cuti dalam masa kampanye sebagaimana tertulis dalam Pasal 60, 64, serta 281 UU tentang Pemilu.

Lebih jelas lagi, Pasal 60 mengatur pejabat daerah yang berkampanye wajib memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan pemerintah wilayahnya. Lalu Pasal 64 melarang kepala daerah menggunakan fasilitas negara saat berkampanye. Sementara, Pasal 281 menyatakan bahwa kepala daerah wajib cuti di luar tanggungan negara saat berkampanye.

Lebih lanjut lagi, dalam Peraturan KPU No.23 Tahun 2018, Pasal 62 juga menyebutkan bahwa Menteri dan Kepala Daerah yang terlibat sebagai anggota Tim Kampanye dan/atau Pelaksana Kampanye dapat diberikan cuti di luar tanggungan negara. Lebih tegas lagi, dalam Pasal 63 disebutkan bahwa kepala daerah dilarang menjadi Ketua Tim Kampanye.

Implikasi Negatif

Keberpihakan sejumlah kepala daerah terhadap pasangan capres dan cawapres memiliki implikasi negatif yang sangat luas. Pertama, politisasi birokrasi. Keterlibatan kepala daerah sebagai bagian tim kampanye sangat potensial menyebabkan pelanggaran aturan berupa arahan atau ajakan kepada Aparatur Sipil Negara (ASN). Kepala daerah tersebut secara sengaja atau tidak sengaja memberikan arahan atau imbauan bernuansa kampanye kepada para bawahannya ketika rapat.

Padahal, UU No.5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Pasal 2 huruf f secara tegas telah memperingatkan para ASN bahwa salah satu asas penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN adalah "netralitas". Asas netralitas ini bermakna bahwa setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.

Kedua, terganggunya penyelenggaraan pemerintahan. Meskipun kepala daerah pendukung capres masih dapat melakukan kampanye dengan syarat cuti terlebih dahulu namun dalam praktiknya kepala daerah yang masih berpakaian dinas tetap berpotensi melakukan kampanye terselubung. Baik cuti maupun tidak cuti, kepala daerah bisa saja memanfaatkan berbagai program dan infrastruktur yang dimiliki untuk memenangkan pasangan capres dan cawapres yang didukung.

Akibatnya, konsentrasi aparatur pemerintahan di daerah yang semestinya menjalankan fungsi pelayanan publik secara baik justru terganggu konsentrasinya dan bahkan ikut terseret politik praktis kepala daerah.

Ketiga, diskriminasi program daerah. Keberpihakan kepala daerah juga berpotensi menimbulkan masalah maladministrasi yakni penyalahgunaan kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Misalnya dengan melakukan diskriminasi pemberian pelayanan publik kepada masyarakat sebagai akibat dari tercemarnya netralitas dan tatanan birokrasi di daerah. Hal yang paling ditakutkan adalah timbulnya pemaksaan kepada masyarakat untuk memilih calon presiden tertentu jika ingin mendapatkan manfaat dari program pemerintah daerah seperti bantuan sosial.

Keempat, munculnya ketidakharmonisan kebijakan antarkepala daerah dalam level provinsi. Perbedaan dukungan politik antara Gubernur dengan Walikota dan/atau Bupati di suatu Provinsi tidak hanya akan menimbulkan perseteruan secara politik praktis tapi juga dapat menciptakan benturan kebijakan antara daerah. Persaingan politik antarkepala daerah misalnya, dapat menghambat perencanaan dan implementasi kebijakan pembangunan infrastruktur lintas daerah.

Kelima, disharmonisasi dan diskriminasi kebijakan antara pusat dengan daerah. Imbas politik praktis kepala daerah lainnya adalah terjadinya disharmonisasi dan diskriminasi program pemerintah pusat terhadap daerah. Bisa dibayangkan ketika capres dan cawapres tertentu yang didukung kepala daerah tidak berhasil memenangkan kontestasi politik pemilu. Maka pemerintah pusat yang dikuasai oleh lawan politik kepala daerah tersebut berpotensi akan melakukan "balas dendam" dengan menciptakan kebijakan yang diskriminatif, misalnya berupa pengurangan dana transfer ke daerah dan bantuan sosial kepada daerah tersebut.

Keenam, benturan sosial. Hal yang paling ditakutkan dari perilaku politik praktis kepala daerah adalah timbulnya gesekan dan benturan horizontal antar kelompok masyarakat. Dalam masa kampanye misalnya, kelompok masyarakat yang berseberangan dengan pilihan politik kepala daerah dapat memunculkan persepsi bahwa kepala daerah berupaya menghambat dan mengganggu proses kampanye kelompok tersebut dengan mengerahkan pasukan keamanan secara berlebihan.

Jalan Tengah

Dalam jangka pendek, alangkah bijak jika kepala daerah tidak memberikan dukungan secara terbuka kepada capres cawapres tertentu. Namun, jika kepala daerah tersebut tetap ingin mendukung maka harus disiarkan bahwa dukungan tersebut bersifat pribadi dan bukan sebagai pimpinan daerah. Meskipun dalam praktiknya akan sangat sulit sekali memisahkan antara dukungan personal dengan jabatan publik yang melekat pada sosok kepala daerah.

Selain itu, kepala daerah juga mestinya tidak hanya melihat dari sisi hukum positif (legal-formal) yang menjamin hak kepala daerah dalam mendukung salah satu capres dan cawapres. Kepala daerah juga semestinya memperhatikan ketaatan kepada nilai etika atau asas kepatutan dalam sikap, perilaku, dan tindakan sebagai penyelenggara dan pelaksana pelayanan publik.

Langkah berikutnya yang bisa ditempuh oleh pemerintah dengan legislatif adalah segera merampungkan Rancangan Undang-Undang tentang Etika Penyelenggara Negara. RUU tersebut urgen untuk segera diterbitkan mengingat termasuk dalam paket reformasi negara dan birokrasi, melengkapi UU No.5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Seluruh instrumen peraturan tersebut diharapkan dapat menjadi landasan yang kokoh dalam penyelenggaraan pemilihan presiden yang jujur, adil, dan damai.

Abdul Hakam Naja anggota Badan Anggaran DPR Fraksi PAN

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads