Tak Ada Sumpah Pemuda Tahun Ini

Sentilan Iqbal Aji Daryono

Tak Ada Sumpah Pemuda Tahun Ini

Iqbal Aji Daryono - detikNews
Selasa, 30 Okt 2018 15:02 WIB
Iqbal Aji Daryono (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta - Saya bukan guru sejarah SD, bukan pula guru PMP dan PPKn sebuah SMP. Jadi, agak krik-krik rasanya kalau tiba-tiba saya membicarakan semangat persatuan dan kesatuan dalam Sumpah Pemuda 1928. Semua orang Indonesia sudah tahu, dan tak ada gunanya saya sok tahu atas satu hal yang siapa pun sudah tahu.

Namun, bolehkah saya katakan bahwa spirit yang diucapkan dalam larik-larik sumpah para pemuda pada sembilan dekade silam itu adalah spirit untuk menemukan ruas-ruas persamaan dan kesamaan di tengah belantara perbedaan?

Sejujurnya, meski saya pencinta bahasa, sampai sekarang belum terang benar di kepala saya apa perbedaan antara istilah 'persamaan' dan 'kesamaan'. Anggaplah keduanya sama, sebagaimana saya anggap 'persatuan' dan 'kesatuan' juga sama belaka.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Intinya, Sumpah Pemuda 1928 menyalakan semangat agar kita sebagai bangsa yang majemuk dan terdiri atas banyak elemen ini saling menemukan hal-hal yang membuat kita sama.

Maka, yang sama itu pun ketemu sudah. Tumpah darah yang sama, bangsa yang sama, dan bahasa yang sama.

Tentu saja kesamaan-kesamaan itu bukan sesuatu yang taken for granted, tiba-tiba mak-cling bersifat sama begitu saja dari sono-nya. Semuanya dikreasi dari kesepakatan-kesepakatan yang diupayakan. Konsep nasion adalah kesepakatan, bahasa pemersatu yang berbeda dengan bahasa ibu masing-masing juga ditetapkan berdasarkan kesepakatan.

Arti lebih jauh lagi, memang para pemuda di masa itu sudah punya niat, punya orientasi, untuk menemukan titik-titik kesamaan. Dan, dari situ dibuatlah rekayasa dan upaya untuk menciptakan ceruk yang sama di antara jutaan hal lain yang memang beda.

Dengan pemahaman atas semangat para jong pada 1928 untuk menemukan kesamaan lalu mengkreasi kesepakatan, atas dasar perasaan ge-er sebesar apakah sehingga pada tahun 2018 yang hangat ini kita merasa layak memperingati Sumpah Pemuda?

Tidak, tidak ada Sumpah Pemuda tahun ini. Tidak ada semangat yang sama tahun ini. Tidak ada itikad kolektif untuk saling menemukan titik-titik yang sama dari para pemuda di tahun ini.

Yang ada adalah berjuang keras sambil berkejar-kejaran, adu cepat untuk menemukan sudut-sudut yang nyata berbeda antara satu dengan lainnya. Begitu, bukan?

"Lho, nyatanya masih ramai seruan 'Kita Indonesia Kita Pancasila'. Kita jelas memperjuangkan titik-titik yang sama, Bung! Indonesia, Pancasila!"

Iya, iya. Memang benar begitu. Tapi kenapa dengan slogan itu banyak juga yang lebih suka melupakan subjek 'kita', dan secara samar-samar mengucapkan dengan aroma lebih tajam,

"Kami Indonesia, kami Pancasila. Nah, kalian sih nggak Indonesia-Indonesia banget, dan kalian juga nggak Pancasila-Pancasila amat." Hehehe.

Selalu ada persaingan tanpa henti pada 2018 ini. Dalam sebuah rangkaian hiruk-pikuk persaingan, yang diburu memang perbedaan. (Begitulah kalau hawa kompetisi membuat kita lupa akan kooperasi, Kawan.) Ada ukuran kualitas yang tiba-tiba diracik sedemikian rupa, semena-mena, untuk kemudian dijadikan parameter secara sepihak dalam menetapkan "siapa yang lebih apa".

Kadang, ukuran-ukuran itu absurd belaka. Klaim-klaim kabur dan minim nalar semata.

"Kalian kaum sok toleran, jangan ajari kami tentang toleransi. Jika kami tidak toleran, tentu umat yang itu sudah sejak dulu tidak bisa beribadah di sini, bahkan sudah tumpas tak berbekas di tanah ini."

Tuh kan, perbedaannya ditegaskan lagi. Antara "kami" yang toleran asli, dan "kalian" yang distempel cuma toleran-toleranan.

Itu baru di wacana-wacana abstrak yang agak besar. Persaingan dalam menemukan perbedaan itu lebih sering lagi kita jumpai dalam rentetan peristiwa, yang rasanya sekarang muncul tanpa jeda dalam nafas keseharian kehidupan rakyat Indonesia.

Pembakaran bendera hitam kemarin itu, misalnya. Duduk perkaranya saja sesungguhnya lumayan terang. Yang membakar tidak berada dalam konteks niat menghina kalimat pengesaan Tuhan, dan yang dibakar merupakan simbol yang dimaknai secara ganda di dalam masyarakat yang mencernanya.

Namun, pengecam pembakaran merasa menegakkan hak berkeyakinan (di mana penegakan hak itu juga bagian dari marwah undang-undang), sedangkan pendukung pembakaran mendaku sebagai pihak yang paling perwira dalam menjaga negara.

Andai memang betul-betul ingat Sumpah Pemuda, semestinya ya dicari titiknya yang sama to, Mas. Kamu menjaga hak berkeyakinan yang dijamin negara, aku menjaga martabat negara ini dari kekuatan mana pun yang berkeinginan menggesernya. Jadi, kita ini sesungguhnya sama-sama penjaga bangsa.

Lihat, ketemulah titik yang sama, dan itulah spirit Sumpah Pemuda. Enak, kan? Enak, tapi ya tak lebih dari fiksi belaka.

Yang ada, sampai sekecil-kecilnya peristiwa, kita merayakan perbedaan dengan gegap gempita. Bahkan dalam sepedih-pedihnya nestapa, situasi yang tak pantas kita jadikan sebagai ajang pertarungan, tetap saja kita jadikan alasan untuk berdiri berhadap-hadapan dan saling menghunus kata-kata.

Coba tengok, bencana Lombok itu. Coba tengok pula Palu dan Donggala itu. Yang kiri dengan yakin bahwa pemerintah telah sempurna berbuat demi rakyatnya, yang kanan dengan penuh iman berucap bahwa azab kepada rezim zalim telah ditimpakan.

Lihat pula apa yang masih menderaskan air mata kita hingga detik ini, musibah jatuhnya pesawat cap Singa Terbang. Yang utara lagi-lagi membawa-bawa murka Tuhan kepada sebuah kepemimpinan, yang selatan ada juga yang sempat-sempatnya mengatakan: salah satu korban adalah jaksa penuntut mantan gubernur yang dibui karena tersambar pasal penistaan.

Begitulah hadiah yang terus kita panen dari polarisasi politik yang memualkan ini. Kita kehilangan selera untuk menemukan titik-titik tempat bertemu. Pernah muncul satu kali momen magis dan dramatis, ketika pesilat gaul Hanifan Yudani Kusumah sedikit membukakan pintunya untuk kita. Tapi, selanjutnya apa?

Selanjutnya, sekadar keinginan untuk sehat jiwa saja sudah akan menjadi sasaran cibiran dari para penikmat pertempuran: "Wooo dasar sok netral!"

Kemudian, deretan kalimat kutipan dari penyair Dante Alighieri itu pun muncul dengan segenap kewibawaannya.

"Tempat tergelap di neraka dicadangkan untuk mereka yang tetap bersikap netral di saat krisis moral."

Dengan berlindung di balik ayat itu, korupsi makna dijalankan dengan barbar. Seolah kalimat itu adalah legitimasi untuk menjalankan perjuangan moral dengan menyerang-nyerang, menghantam-hantam. Dikiranya yang diserang dan dihantam itu bisa kemudian berubah pikiran. Padahal, yang terjadi adalah hancur tidak, berubah sikap tidak, tambah terbakar iya.

Apa yang diharapkan dari itu semua? Sumpah Pemuda? Hellaaaw!

Tidak, tidak. Saya sendiri tidak netral. Saya bukan orang sok netral, bukan pula jenis orang yang merasa bangga dengan netralitas dalam pilihan. Saya punya preferensi, dan tidak pula ngumpet-ngumpet dengan pilihan saya.

Tapi, saya akan sangat suka kalau ada yang berani meneriakkan sesuatu yang saya tidak berani mengucapkan:

"Kami pemuda pemudi Indonesia, menjunjung sikap waras yang satu. Kewarasan demi kesehatan jiwa rakyat Indonesia."

Tanpa titik kesamaan untuk sama-sama ingin waras, tahun depan pun kita belum akan kembali memperingati Sumpah Pemuda. Yang ada adalah para pemuda yang hobi menyumpah-nyumpah sekenanya.

Makanya, jangan ge-er. Tak ada Sumpah Pemuda tahun ini.

Iqbal Aji Daryono esais, tinggal di Bantul

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads