Eskalasi pertumbuhan ekonomi digital menciptakan inklusi ekonomi. Ratusan ribu peluang bisnis anyar terbuka. Jutaan lapangan kerja berhasil diciptakan. Riset Michael Page pada 2016 bahkan mencatat serapan tenaga industri digital tumbuh 60 persen per tahun. Hingga 2025, ekonomi digital dipercaya bisa menciptakan 3,7 juta lapangan kerja. Bila jaringan broadband serat optikPalapa Ring Timur beroperasi akhir 2018 sesuai target pemerintah, pertumbuhan ekonomi digital dipastikan mendapatkan injeksi energi kuantum.
Tak berlebihan rasanya bila industri digital digadang-gadang sebagai kunci pertumbuhan berbagai sektor industri. Pertumbuhan ekonomi nasional bahkan diprediksi bertumpu pada industri digital. World Market Monitor memperkirakan ekonomi digital menyumbang 9,5 persen PDB pada 2025. Angka itu mungkin terbilang konservatif dibanding ambisi pemerintah yang menargetkan kontribusi ekonomi digital terhadap PDB sebesar 22 persen.
Berbagai statistik tentang capaian dan ramalan yang memotret ekonomi digital menabur optimisme. Tidak ada yang menyangsikan bagaimana kuatnya primadona industri digital sehingga mampu menarik berbagai pelaku bisnis dari tingkat lokal hingga konglomerasi global untuk melabuhkan sauh bisnis digitalnya negeri ini. Masyarakat, terutama dipelopori oleh generasi milenial bahkan berada di garda terdepan menghela industri digital. Daya pikat ekonomi digital merupakan instrumen betapa besar harapan yang diletakkan di pundak industri anyar ini.
Terbukti, industri digital tidak butuh waktu lama untuk melahirkan miiarder dan triiuner baru. Istimewanya, mereka datang dari kalangan anak-anak muda. Kaum muda tajir ini bukan mewarisi kekayaan dari konglomerasi bisnis orangtua mereka. Namun, menuai berkah ekonomi digital yang lingkungan bisnisnya telah diformat akseleratif dengan berbagai regulasi dan kebijakan.
Bahkan dalam rentang tiga tahun terakhir, Indonesia berhasil melahirkan empat startup "Unicorn" . Mahkota gelar yang diberikan kepada perusahaan rintisan dengan valuasi di atas 1 miiar dolar AS atau setara Rp 15,2 triliun. Di singgasana itu ada GoJek, Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak. Pemerintah melalui Kementrian Komunikasi dan Informatika bahkan menargetkan Indonesia punya 44 "Unicorn" lagi hingga 2020.
Target yang menurut saya amat realistis untuk dicapai, mengacu pada positioning industri digital saat ini. Dukungan pemerintah sudah jelas dan konkret, sambutan pasar amat antusias, kucuran dana venture capitalist juga amat deras. Ringkasnya, lingkungan industri digital di Indonesia sudah on the track.
Untuk kemudahan memulai startup, Indonesia bahkan mendapat banyak pujian. Indonesia berada di peringkat 6 negara yang paling produktif melahirkan startup. Indonesia juga dinobatkan sebagai Global Digital Hub, di mana lingkungan bisnis di Indonesia amat mendukung industri digital. Menurut riset Young & Rubicam dan Wharton School of the University of Pennsylvania, Indonesia adalah satu dari 12 of The Most Startup Friendly Countries.
Apresiasi yang tinggi terhadap ekonomi digital di Indonesia tidak lepas dari besarnya perhatian pemerintah. Ekonomi digital diberi lampu hijau dan karpet merah sekaligus. Konsiderasi ikhtiar pemerintah mendorong laju industri digital tertuang dalam Road Map Ecommerce Indonesia 2017-2019 di mana Indonesia digadang-gadang jadi jawara ekonomi digital di Asia Tenggara. Peta jalan itu menabur optimisme batapa masa depan ekonomi Indonesia akan bertumpu di ekonomi digital.
Kendati ekonomi digital sarat dengan prestasi membanggakan, capaian empat tahun kinerja pemerintahan Jokowi-JK di sektor ekonomi secara umum memang tak sepi dari perdebatan. Berbagai isu ekonomi sektoral jadi santapan kritik dan sudah pasti jadi amunisi kelompok oposisi untuk menyerang pemerintah. Mulai dari capaian pertumbuhan ekonomi di bawah target, tingkat inflasi yang mempengaruhi daya beli, penciptaan lapangan kerja, hingga pembangunan infrastruktur. Yang paling anyar dan panas tentu saja perdebatan soal nilai tukar rupiah. Namun, semua sektor yang disorot oleh kelompok kontra pemerintah itu tidak ada apa-apanya bila dibanding dengan langkah maju ekonomi digital.
Dampak Elektoral
Pertanyaannya, adakah electoral benefit yang dituai oleh pemerintah dan juga partai-partai pendukung pemerintah dari kinerja kinclong ekonomi digital tersebut? Pertanyaan ini menarik diketengahkan dan dianalisis lebih jauh memasuki tahun politik. Sebab kurang absah rasanya berbicara mengenai kinerja pemerintah tanpa disangkutpautkan dengan pesta demokrasi yang digelar pada 2019 mendatang. Pemilu dan Pilpres 2019 merupakan momentum bagi rakyat untuk mengevaluasi lima tahun kepemimpinan pasangan Jokowi-JK. Juga, jadi ajang legitimasi bagi petahana untuk melanjutkan ke periode berikutnya, atau cukup sampai di sini saja.
Menilik secara spesifik kinerja di sektor ekonomi digital, tampaknya kita semua nyaris satu kata bahwa kinerja pemerintah sudah memuaskan. Menjawab ekspektasi berbagai kalangan, bila tidak mau dikatakan "pencapaian yang amat luar biasa". Kalau begitu, secara logis tentu ada dampak elektoral dari prestasi di sektor ekonomi digital ini. Seperti juga dukungan arus bawah yang menguat seiring pertambahan anggaran sosial yang dikucurkan pemerintah.
Temuan menarik yang bisa memandu kita menjawab dampak elektoral ekonomi digital ini datang dari survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang dirilis belum lama ini. Menurut survei tersebut, pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin paling populer di kalangan milenial. Tingkat elektabilitasnya juga berada di posisi tertinggi. Senada, survei CSIS akhir 2017 yang lalu juga memotret optimisme 82,5 persen milenial terhadap kemampuan pemerintah meningkatkan pembangunan. Sebanyak 75,3 persen menilai pemerintah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sementara di kalangan parpol, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) merupakan partai yang paling populer bagi milenial. PDIP jauh meninggalkan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang justru berada di posisi terbawah meski paling getol mem-branding diri sebagai partainya anak muda. Positioning PDIP di kalangan milenial ini tentu saja mengejutkan. Sebab, secara simbolik PDIP tidak termasuk parpol yang latah mencap diri sebagai partai yang dekat dengan generasi milenial.
Temuan riset tersebut sebetulnya menyanggah cap atributif yang kerap dilekatkan ke kaum milenial. Tampaknya, ini pengecualian bagi milenial Indonesia yang masih dipengaruhi oleh latar sosio-kultural yang kuat dan sarat sikap respek serta apresiatif.
Bila kita percaya bahwa ekonomi digital identik dengan milenial, dan milenial adalah populasi yang kenyang dengan segala macam informasi sehingga logis dalam menentukan sikap politik, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pesona ekonomi digital telah memikat pemilih milenial dalam menilai Jokowi. PDIP yang diasosiasikan memiliki kedekatan kuat dengan Presiden Jokowi turut menuai apresiasi dari pemilih milenial yang paling banyak menjadi pelaku ekonomi digital.
Berbagai catatan di atas merupakan pegangan bagi pemerintah dan partai pendukung, terutama PDIP untuk memastikan dukungan dari pemilih milenial di pesta demokrasi tahun depan. Ekonomi digital adalah tempat anak-anak milenial bergumul sehari-hari. Intensitas kehadiran pemerintah dan parpol pendukung yang dirasakan oleh kaum milenial tentu saja bakal menuai apresiasi. Termasuk dikonversi menjadi keuntungan elektoral.
Jusman Dalle Direktur Eksekutif Tali Foundation dan praktisi ekonomi digital(mmu/mmu)