Tokyo terkenal sebagai salah satu kota terbersih di dunia. Di Tokyo relatif jarang ditemui sampah berserakan di jalan atau di tempat umum. Namun, seperti halnya Jakarta, Tokyo pernah mengalami masalah sampah yang akut.
Pada tahun 1950-an, Jepang mengalami masa pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat. Seiring dengan itu, barang-barang diproduksi secara massal, konsumsi masyarakat pun bertambah, dan akhirnya jumlah sampah pun menjadi berlipat ganda. Tempat pengolahan atau pembakaran sampah pun akhirnya tidak mampu menampung sampah yang masuk, sehingga sampah yang tidak terolah ditimbun (landfill) di distrik bernama Koto-ku.
Tokyo sendiri memiliki 23 distrik. Lebih dari 5000 truk sampah per hari masuk ke distrik itu, menimbulkan banyak permasalahan seperti kemacetan, bau, munculnya banyak lalat, dan banyaknya permasalahan lingkungan dan kesehatan di distrik tersebut.
Untuk mengurangi beban sampah distrik Koto-ku, pemerintah Tokyo mulai membangun tempat pengelolalan sampah yang tersebar di beberapa distrik. Namun, di beberapa tempat muncul penolakan warga yang tidak ingin daerahnya dijadikan tempat pengolahan sampah yang bercitra negatif. Saking kesalnya warga Koto-ku terhadap distrik yang menolak, muncullah gerakan penghadangan oleh warga terhadap truk sampah yang berasal dari distrik yang menolak.
Dengan semakin akutnya permasalahan sampah dan timbulnya ketegangan antarwarga, Minobe Ryokichi, Gubernur Tokyo saat itu mendeklarasikan "gomi sensou", perang terhadap sampah. Deklarasi ini juga ditujukan untuk meningkatkan kesadaran warganya akan permasalahan sampah ini. Kebijakan yang diambil oleh Gubernur Minobe adalah sampah yang dihasilkan harus diolah di distrik tersebut, atau disebut desentralisasi pengolahan sampah. Selain itu, sampah --khususnya sampah organik-- harus diolah atau dibakar di distrik masing-masing sebelum dikirim ke tempat pembuangan terakhir.
Desentralisasi Pengolahan Sampah
Dimulai sejak tahun 70-an, saat ini hampir semua distrik di Tokyo memiliki tempat pengolahan atau pembakaran sampah masing-masing.
Sampah di Tokyo dibagi menjadi tiga jenis, yaitu sampah terbakar (organik, kertas, popok, dll), sampah non-terbakar (plastik, panci, payung, dll), dan sampah besar (rak, kasur, barang elektronik, dll). Sedangkan PET botol, kaleng dan botol gelas, kardus, koran/buku bekas tidak dianggap sebagai sampah, namun sumber material yang bernilai dan akan di-recycle. Sampah-sampah oleh warga akan dipisahkan berdasarkan jenisnya dan dikumpulkan pada tempat dan hari yang telah ditentukan. Sampah kemudian akan dibawa oleh truk sampah yang tertutup menuju tempat pengolahan sampah.
Sampah terbakar akan dikirim ke tempat pengolahan di masing-masing distrik, kemudian akan dibakar dengan teknologi ramah lingkungan sehingga tidak terbentuk dioksin, dan meminimalisasi terbentuknya zat-zat berbahaya seperti Merkuri, SOx, dan NOx. Dengan pembakaran, volume sampah berkurang menjadi 1/20-nya. Abu yang dihasilkan sebagian bisa di-recycle menjadi bahan semen dan bahan bangunan. Sisa abu yang tidak bisa di-recycle digunakan untuk bahan reklamasi pulau buatan.
Selain itu, semua tempat pembakaran sampah di Tokyo berfungsi juga sebagai pembangkit listrik dan panas, atau lebih dikenal dengan pembangkit listrik tenaga sampah. Dari hasil penjualan listrik dan panas, total pemasukan yang diterima mencapai 10 miliar yen (setara Rp 1.3 triliun) per tahun.
Berbeda dengan sampah terbakar yang dikelola di setiap distrik, sampah non-terbakar dan sampah besar dikirim ke tempat pengolahan khusus yang terpusat. Setelah dihancurkan menjadi ukuran kecil, logam besi dan aluminium yang masih terkandung kemudian dipisahkan dengan magnet untuk di-recycle. Sisanya yang bersifat terbakar, seperti kayu, dikirim ke tempat pembakaran sampah, sedangkan yang tidak bisa diolah akan dikirim ke tempat pembuangan terakhir atau ditimbun di pulau buatan.
Sampah plastik menjadi sampah terbakar pada 2008 karena perkembangan teknologi yang memungkinkan pembakaran plastik tanpa menimbulkan zat berbahaya seperti dioxin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belajar dari Tokyo
Permasalahan sampah di kota Tokyo tahun 70-an sangat mirip dengan kota Jakarta saat ini dimana tempat pembuangan sampah terpusat di satu tempat. Sampah-sampah yang dihasilkan warga Jakarta dikirim ke kota tetangga yaitu Bekasi, namun sayangnya sebagian besar ditimbun tanpa diolah. Sering kali muncul keluhan warga Bekasi akan bau dan dampak lingkungan dan kesehatan lainnya.
Sudah saatnya sampah yang dihasilkan oleh warga Jakarta diolah di Jakarta tanpa membebankan kota tetangga. Dengan terbatasnya lahan yang ada di Jakarta, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah merupakan salah satu opsi terbaik untuk mengatasi masalah sampah organik dan plastik di ibukota. Teknologi ini tidak memerlukan tempat yang luas, dan proses konversi ke energi jauh lebih cepat dibanding teknologi lain seperti biogas. Selain mampu mengurangi volume sampah secara drastis, dampak lingkungan dan kesehatan bisa jauh diminimalisasi, serta listrik yang dihasilkan bisa dimanfaatkan untuk menerangi kota Jakarta, atau dijual ke PLN.
Dengan tingkat pendidikan warga yang relatif tinggi, Jakarta juga bisa mempelopori gerakan pemilahan sampah secara masif. Pemilihan sampah ini akan sangat berguna selain untuk meminimalisasi proses dan biaya pengolahan sampah, juga untuk mengoptimalkan proses recycle material bernilai ekonomi tinggi seperti kaleng, PET botol, dan gelas. Perlu diketahui, proses pembuatan logam seperti aluminium dan besi memerlukan energi yang sangat besar.
Dedy Eka Priyanto Ph.D peneliti di IHI Corporation Jepang, berdomisili di Tokyo