Memaknai 90 Tahun Sumpah Pemuda

Kolom

Memaknai 90 Tahun Sumpah Pemuda

Andhika J.J. Tambunan - detikNews
Minggu, 28 Okt 2018 10:36 WIB
Foto: Ari Saputra
Jakarta - 28 Oktober 1928 merupakan titik di mana anak muda pada zamannya bersatu dengan semangat nasionalisme dan patriotisme yang tinggi yang berjuang di berbagai wilayah demi mengangkat harkat dan martabatnya mendeklarasikan diri sebagai Satu Tanah Air, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa yaitu Indonesia yang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda. Pergerakan ini mematahkan politik devide et impera kolonial saat itu; rasa kesukuan dan kedaerahan yang menjadi sekat-sekat yang memisahkan perjuangan terpatahkan, anak muda dari berbagai daerah memilih bergandengan tangan demi terwujudnya cita-cita kemerdekaan Indonesia.

Namun, bagaimana anak muda sekarang memandang bangsa dan negaranya? Beda zaman beda juga perilakunya. Sekarang, anak muda yang ngetren disebut kaum milenial yang berbicara tentang bangsa dan negara dianggap sebelah mata; begitu juga apabila berbicara tentang politik, anak muda memilih apatis, padahal segala aspek kehidupan manusia, bangsa, dan negara ini terkait dengan politik. Saya tertarik nasihat dari Berthold Brecht:

"Buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional yang menguras kekayaan negeri."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apabila kita melihat dari hasil survei terbaru Alvara Research Center, hanya ada 22 persen kaum milenial yang mengikuti politik. Sisanya, mereka lebih banyak mengikuti seputar olahraga, musik, film, lifestyle, medsos, kemudian IT (teknologi informasi). Padahal kurang lebih 40% pemilih pada Pemilu 2019 nanti terdiri dari kaum milenial ini. Kebanyakan masih memilih menjadi objek politik semata dibandingkan menjadi subjeknya pada politik. Anak muda sekarang lebih memilih "berjuang" di media sosial daripada terjun langsung di politik praktis.

Memang, dengan perkembangan zaman, teknologi, dan globalisasi media sosial menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan saat ini. Pertukaran informasi sangat cepat, begitu juga perselisihan bahkan letupan-letupan konflik sangat cepat menjalar di media sosial. Dahulu, anak muda menyatukan perbedaan yang ada demi Indonesia. Sekarang justru anak muda memperdebatkan perbedaan yang ada, suku, agama, bahkan ras.

Dahulu, negara asing yang memecahbelahkan kita. Sekarang, kita sendiri yang memecahbelahkan sesama saudara setanah-air.

Bukan Jargon

Nilai-nilai Sumpah Pemuda sebaiknya tidak hanya sebagai jargon semata, dengan meng-update status di media sosial, dengan mengutip kata-kata mutiara. Namun, harus diimplementasikan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Tidak cukup hanya dengan berbicara, berdebat, protes, tapi berikanlah aksi nyata. Minimal, tidak apatis terhadap politik, bila perlu terjun ke politik. Saya teringat sebuah kalimat dari Erdogan, "Jika politik tidak diisi oleh orang baik, maka politik akan diisi oleh orang jahat".

Kebanyakan anak muda di Indonesia memandang politik itu jahat, hanya mementingkan individu atau kelompoknya saja; berarti bisa dikatakan bahwa politik itu telah terisi oleh orang jahat. Sehingga, banyak orang merasa apa perlunya politik itu. Lalu, apa kita hanya bisa melihat, menyesali, memprotes di media sosial?

Harus diakui, ada yang salah pada bangsa dan negara ini sampai anak muda begitu apatis terhadap politik. Wajar saja ketika kita sering melihat kinerja eksekutif, legislatif maupun yudikatif yang mengecewakan. Di setiap media pasti ada saja oknum yang tertangkap karena korupsi. Banyak drama yang dipertontonkan daripada kinerja; rakyat merasa tidak terkena langsung manfaat positif dari para politisi Tanah Air. Ada dan tanpa politisi dianggap sama saja. Padahal itu tidak semuanya benar; tidak semua politisi seperti itu, masih ada segelintir yang memang benar-benar negarawan.

Sebaiknya kita sebagai anak muda yang memiliki akal budi dan rasionalitas melihat hal tersebut tidak hanya pada satu sisi. Kita harus lebih fair dalam mengamati politisi kita; tidak semua politisi hanya mementingkan kekuasaan semata.

Memang pada dasarnya, politik itu sendiri terkait dengan kekuasaan. Namun, tidak hanya kekuasaan semata; kekuasaan ini digunakan untuk kepentingan banyak orang. Ketika berada di dalam sistem pemerintahan, maka kepentingan banyak orang dapat kita akomodasi dan seharusnya memberi manfaat bagi banyak orang. Tetapi, kadang politisi berhenti berpikir sampai di kekuasaannya saja, sampai lupa bahwa ada nilai-nilai yang lebih besar di balik kekuasaan itu.

Di balik semua itu, kita pun harus menyadari kondisi setiap anak muda tidaklah sama. Kadang ada candaan yang dilontarkan, "Memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja masih sulit, kok mau memikirkan negara." Kondisi ekonomi masyarakat kita memang menjadi momok yang sangat rumit. Kalau kita menggunakan perspektif dari Lipset, semakin tinggi tingkat kemakmuran ekonomi sebuah negara, maka semakin besar peluang mewujudkan demokrasi, atau dengan kata lain, modernisasi sosial ekonomi akan menghasilkan demokrasi politik.

Penjelasan umum atas korelasi dua variabel itu menyebutkan bahwa kemakmuran ekonomi mendorong peningkatan jumlah penduduk berpendidikan, menumbuhkan kelas menengah yang sadar akan hak-hak politiknya sebagai warga negara, dan menumbuhkan kelompok borjuasi dan kelas menengah yang menginginkan kepentingan ekonomi mereka terjamin dalam masyarakat dengan penegakan hukum yang baik dan kompetisi ekonomi yang jujur. Kemakmuran ekonomi juga akan menurunkan radikalisme dan menumbuhkan toleransi sehingga demokrasi lebih mudah dilaksanakan.

Kalau memang menjadi politisi bukanlah pilihan, paling tidak mengerti dan pahamilah proses politik itu, maka tidak ada sedikit celah bagi "bandit-bandit" politik menjalankan proses pembodohan politik. Menolak untuk "Golput" bisa menjadi budaya yang baik dalam demokratisasi kita, memberikan support untuk anak muda yang mau berkorban mengabdikan dirinya sebagai politisi. Dibutuhkan jiwa muda yang memiliki virtue, idealis, dedikasi, intelektualitas, serta niat baik untuk mendobrak paradigma politik itu jahat, bobrok dan sebagainya.

Tidak mungkin seorang diri; anak muda harus bersatu, bergandengan tangan, bergotong royong agar cita-cita kita bersama dapat terwujud dan nilai-nilai Sumpah Pemuda tetap abadi.

Andhika J.J. Tambunan, S.E Caleg DPRD DKI Jakarta Partai Golkar, mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads