Mengalami Sumpah Pemuda
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Mengalami Sumpah Pemuda

Jumat, 26 Okt 2018 13:57 WIB
Mario Hikmat
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Museum Sumpah Pemuda (Foto: Ari Saputra)
Jakarta -

Jangkar bangsa Indonesia dilarung. Namun, keras debur ombak buat hidup tak melulu lancar. Pada 27 hingga 28 Oktober 1928, Kongres Pemuda II digelar. Agenda itu serupa tindak lanjut dari putusan Kongres Pemuda I pada 1926. Di hajatan itu, pemuda-pemudi antarpulau bertungkus-lumus menyusun siasat. Mereka berdebat. Merangkai argumentasi. Menelaah resep apa yang cocok demi masa depan Hindia Belanda. Ada yang gemetar, tapi berusaha tetap khidmat.

Dialektika para pemuda-pemudi terjaga. Gagasan diadu-benturkan. Sesekali suara peserta kongres meninggi. Ada emosi, juga kemarahan. Mereka berkelahi ide, nyaris fisik. Kesukuan belum sepenuhnya runtuh. Tapi, mereka saling baku tahan. Menjunjung tinggi etika dan menyunggi rasa saudara. Peserta kongres tak akan hadir di situ jika hanya ingin adu jotos. Ada yang lebih penting dan sakral. Semacam cita-cita terbebas dari perasaan tertindas.

Mulanya Kongres Pemuda dianggap remeh oleh pejabat kolonial. Van Der Plass orangnya. Baginya agenda itu barangkali hanya diskusi biasa. Tak akan berefek besar. Tak ada bau-bau ancaman yang berarti. Namun, sayangnya perhitungan Van Der Plass luput. Takdir bicara lain.

Yang enteng tak berarti mungil. Kongres Pemuda memang tak diikuti ribuan orang. Tapi, ia menyulut api abadi. Yang membakar semangat pemuda-pemudi untuk bersatu dalam bhineka. Egoisme etnis lantas ditanggalkan. Perasaan sebagai bangsa lalu muncul, meski tak pernah betul-betul berinteraksi, bertatap muka dengan seluruh masyarakat di Hindia Belanda.

Apa yang diandaikan Ben Anderson tentang komunitas terbayang, "imangined communities", menemukan aktualitasnya. Imaji tentang satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa persatuan, tak muncul lewat sekadar perasaan saling memiliki, atau saling tersiksa. Gairah kebangsaan juga muncul seperangkat pengalaman dan melalui penyemaian bibit-bibit gagasan.

Terbentuknya bangsa Indonesia, dalam kacamata Ben Anderson, sangat dibantu oleh media surat kabar dengan menggunakan bahasa ibu. Bahasa yang dipahami rakyat marjinal, ketika bahasa dominan -bahasa Belanda- hanya dikuasai orang tertentu. Koran Sinar Hindia Semarang pada 1918 menerbitkan propaganda dan literatur garapan Mas Marco Kartodikromo berjudul Student Hidjo secara serial. Lalu, pada 1920 giliran Hikajat Kadiroen anggitan Semaun yang terpublis. Student Hidjo maupun Hikajat Kadiroen memuat pengisahan antikolonial. Pembaca koran terguncang. Tergugah tak tinggal diam. Usaha itu dinilai politis. Menggerakkan dalam menyuarakan hasil olah pikir dan pembelajaran bahasa persatuan.

Dalam buku Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan (2009), Yudi Latif mewartakan kisah para pemikir pra-ikrar Sumpah Pemuda. "Yang pertama mereka ciptakan adalah nama. Tanda pengenal diri, yang memberi kesadaran eksistensial. Jika tak suka dengan rumah kolonial, hal pertama yang harus dirobohkan adalah tanda-tanda yang diciptakannya."

Merumuskan nama, tentu saja menggunakan perangkat bahasa. Pencarian nama tak berperspektif imaji kolonial. Pemuda-pemudi menggunakan bahasa ibu. Maka, ketika tanah-air disebut kolonial sebagai Hindia-Belanda, mereka menggantinya dengan 'Indonesische'. Tapi, nama itu hanya bertahan sekitar 2 tahun. Sebab, masih mencerminkan dialek ala kolonial. Para pemuda-pemudi lantas berunding. Dan, pada akhirnya, lewat nama 'Indonesia', bangsa, tanah-air dan bahasa dipertemukan dalam ikrar monumental Sumpah Pemuda.

Sumpah Pemuda tak hadir dari rasa nyaman. Ada gejolak. Ada yang menerima dan saling tolak. Di balik teks ikrar yang sungguh puitis itu, ada orang-orang bergumul dan alot. Bangsa ini menolak tumbuh dan berkembang terburu-buru. Banyak rintangan, juga belokan perlu lamat-lamat dipikirkan.

Hingga para kolonial Belanda angkat kaki, deru perjuangan bangsa belum berhenti. Nasionalisme dari pusparagam budaya masih terpatri dan menolak luntur. Jepang yang secara narsis mengaku sebagai saudara tua, pada 1943 kemudian datang. Jepang itu penjajah kelas kakap, meski tampil dengan kurun waktu yang lebih singkat. Penindasan kembali terjadi. Eksploitasi. Sedikit lebih keras. Lebih menyiksa.

Tetapi, gelora kebangsaan bukan setapak jejak di tanah, yang mudah tersapu debu atau hujan, atau bahkan darah. Pemuda-pemudi Indonesia telah kenyang terbentur, terbentur, dan terbentur oleh riwayat kejahatan kolonialisme Belanda bertahun-tahun lamanya. Pemuda-pemudi tak tumbang. Spirit sebangsa, setanah-air, dan sebahasa persatuan, jauh melampaui rasa sakit luka fisik. Bangsa ini harus merdeka dari eksploitasi manusia atas manusia, kata Bung Karno. Bangsa ini harus bebas dari jerat penigsapan. Semangat perlawanan itu dijaga. Berumah di sukma manusia Indonesia.

Meledaknya persitiwa Proklamasi Kemerdekaan pada medio 1945, barangkali, merupakan efek dipegangnya bara api, bukan abu, Sumpah Pemuda. Dua peristiwa itu tak terpisah. Pada 28 Oktober 1928, bangsa Indonesia memancangkan akar ambisi nasionalisme. Dan, pada 17 Agustus 1945, cita-cita itu meletus sejadi-jadinya.

Sumpah Pemuda itu janji. Terpekik tanpa gaduh. Namun, bersimbiosis sunyi dalam nadi. Menghidupi. Hingga sampai kemudian hari, sumpah itu tak bisa hilang, selalu terngiang. Menyentak. Mengentak. Dan, sekarang, tatkala umur Sumpah Pemuda sudah 90 tahun, ikrar kebangsaan itu tetap bertahan, melampaui faktisitas.

Kongres Pemuda I dan II yang mencetuskan Sumpah Pemuda, dalam kenyataan mutakhir, mestinya tak kita kenang sebagai nostalgia kronologis sejarah semata. Kita perlu menziarahinya. Meneroka petuah filosofis para pelaku, pemikir, yang membentuk identitas bangsa kita.

Hari ini kohesivitas sosial kian renggang. Percaturan politik carut-marut. Payah membimbing pada pembangunan bangsa bermartabat. Egoisme kelompok menjadikan spirit Sumpah Pemuda kehilangan elan vitalnya. Sumpah Pemuda jadi sekadar gincu. Serupa ornamen pemanis penuh ilusi. Palsu.

Dari riuh malapetaka politik itu, kita mungkin butuh jeda. Tetirah beberapa jenak. Mengheningkan cipta. Menghayati sedu-sedan sejarah pergolakan Indonesia menjadi bangsa. Merenungi kembali, lalu bahu-membahu berlaku etis pada sesama. Sumpah Pemuda tak cukup diucap lewat mulut. Ia butuh dialami. Persatuan mesti dipupuk dalam rutinitas sehari-hari, di mana pun tanah dipijak langit dijunjung.

Pada hari-hari yang kian sesak ini, kita barangkali perlu rajin bertafakur. Menimbang kembali kelindan makna peristiwa Sumpah Pemuda lewat, misalnya, potongan puisi Muhammad Yamin. Seorang penyair sekaligus aktivis, tokoh yang pada secarik kertas, dengan sangat puitis menulis rumusan Sumpah Pemuda. Inilah sebuah puisi yang gamblang, cemerlang, dan jernih memagut kita meresapi arti, juga harapan sebagai sebuah bangsa. Kini bangsaku, insafkan diri/ Berjalan ke muka, marilah mari/ Menjelang padang ditumbuhi mujari/ Dicayai Merdeka berseri-seri.

Mario Hikmat pegiat literasi di Dialektika, Makassar

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads