Poin itu berbeda dengan kedua poin sebelumnya yang memakai formula "mengaku ber... satu". Putra-putri Indonesia di masa silam mengaku berbangsa dan bertanah air satu, namun tidak secara tegas mengaku berbahasa satu. Mereka memilih menyatakan menjunjung bahasa persatuan: bahasa Indonesia.
Salah kaprah Sumpah Pemuda terjadi di masa kemudian. Soeharto, pada perayaan 50 tahun Sumpah Pemuda, mengawali pidato tentang sejarah Sumpah Pemuda dengan berkata, "Tepat 50 tahun yang lalu, di Jakarta ini, lahirlah Sumpah Pemuda yang sangat terkenal: mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia; mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia; mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kami poetera dan poeteri Indonesia mengakoe bertoempah-darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kami poetera dan poeteri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Kami poetera dan poeteri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Selain Soeharto, salah kaprah Sumpah Pemuda pada 1970-an dialami pula oleh pakar semiotika Indonesia, Benny H. Hoed. "Sumpah Pemuda hasil 'Kongres Pemuda-pemuda Indonesia' pada 1928 menyatakan kita berbahasa satu, yaitu bahasa Indonesia," demikian ia mengawali paragraf terakhir esai berjudul Ada Ancaman Bahasa Indonesia Akan Menjadi seperti Tahun 1928 (Kompas, 28 Oktober 1970). Benny barangkali sungkan pada Soeharto, sehingga ia ikut-ikutan keliru sajalah. Tapi, kita perlu menyoal klaim Hoed ihwal bahasa Indonesia yang terancam menjadi seperti pada 1928. Jawaban sementara Hoed, "Pada waktu itu kedudukan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi resmi hanya di atas kertas."
Jawaban lebih rinci didapat dari Foulcher, "Bahasa utama yang digunakan sebagai pengantar pada Oktober 1928 adalah bahasa Melayu atau Indonesia. Keputusan untuk menggunakan bahasa Melayu atau Indonesia ternyata menimbulkan kebingungan di antara peserta konferensi." Foulcher mengutip catatan pengamat resmi Belanda, Van der Plas, yakni, "Pemimpin kongres, pelajar Soegondo, tidak dapat memenuhi tugasnya dan kekurangan otoritas. Ia mencoba untuk berbicara bahasa Indonesia, tetapi tidak mampu membuktikan dirinya mampu melakukannya dengan baik."
Soegondo Djojopoepito, sebagai orang Jawa, kesulitan berbahasa Indonesia yang berakar Melayu. Orang Jawa, Sunda, dan suku lain dalam kongres itu merasa tidak leluasa dengan keinginan bahwa seseorang harus melepas bahasanya sendiri demi bahasa Melayu (bahasa Indonesia).
Salah satu peserta kongres yang menerima kenyataan diri tak mampu berbahasa Indonesia menyampaikan pidato dalam bahasa Belanda−bahasa kaum terdidik saat itu. Namun, pada akhirnya ia meminta maaf karena pilihan bahasanya. "Sampai tahun 1928, penggunaan bahasa Belanda dalam konteks nasional tidak pernah menjadi sebab sebuah permintaan maaf," tulis Sutrisno dan Kartadamadja (1970).
Sitti Soendari, yang juga memakai bahasa Belanda di kongres itu, membuktikan kehendak berbahasa Indonesia dalam Kongres Perempuan Nasional, 25 Desember 1928. Soendari menegaskan, "Kami sebagai poetri Indonesia jang lahir dipoelaoe Djawa jang indah ini berani memakai bahasa Indonesia dimoeka ra'jat kita ini. Boekankah kerapatan kita kerapatan Indonesia, ditimboelkan oleh poetri Indonesia dan dioentoekkan bagi seloeroeh kaoem istri dan poetri Indonesia, beserta tanah toempah darah dan bangsanja."
Pada 1928, kendati telah dinyatakan sebagai bahasa persatuan yang wajib dijunjung, orang Indonesia belum siap menjadikannya sebagai bahasa nasional: bahasa yang dituturkan oleh segenap rakyat Indonesia. Klaim Hoed bahwa bahasa Indonesia pada 1928 "hanya di atas kertas"−untuk menyebut "formalitas belaka", tentu saja ada benarnya. Sumpah Pemuda−harus diakui−tak ubahnya ketetapan-ketetapan khas Indonesia: ditetapkan saja dahulu, praktik mengikuti kemudian. Pernyataan menjunjung bahasa Indonesia ditetapkan manakala bahasa Indonesia masih belum dijunjung sebagai bahasa yang menyatukan. Sejauh itu, kaum terdidik Indonesia berbahasa satu sama lain dengan bahasa Belanda, atau bahasa daerah masing-masing. Mereka belum Indonesia.
Kini, kita sudah Indonesia, dan tantangan berbahasa tentu selalu ada. Misalkan, di masa silam bahasa Belanda dipraktikkan dalam percakapan kaum terdidik, hari ini kita memilih−mengikuti konsensus internasional−bahasa Inggris sebagai bahasa mutakhir kaum terdidik. Setiap beasiswa pendidikan tingkat lanjut menuntut kemampuan calon penerima beasiswa berbahasa Inggris. Penerimaan kita terhadap bahasa Inggris lantas meluas ke ranah publik, menjalari keseharian. Orang-orang Indonesia mulai percaya diri menggunakan bahasa Inggris dalam keseharian, di ruang privat maupun publik. Bahkan, penerimaan terhadap bahasa Inggris kadang tak disertai dengan penguasaan yang cukup terhadap bahasa terkait.
Menurut Ivan Lanin (2018), kita terjangkiti "keinginan untuk menggantikan suatu kata bahasa Indonesia dengan bahasa asing karena dirasa lebih keren". "Gejala ini, mungkin sesuai dengan apa yang oleh Pak Hipyan (Nopri, penerjemah -red) disebut dengan xenoglosofilia, yaitu suatu kecenderungan menggunakan kata-kata yang aneh atau asing terutama dengan cara yang tidak wajar," tulisnya.
Apakah penerimaan kita terhadap bahasa Inggris−juga bahasa asing lain−menunjukkan kekalahan bahasa Indonesia terhadap bahasa asing? Tidak juga. Memang, bahasa Indonesia belum selalu berhasil menawarkan padanan kata untuk bahasa asing yang relatif baru dan referennya belum terkenali dalam kebahasaan kita. Masalah utama sebetulnya ada pada penutur bahasa Indonesia. Bahasa kita kaya, dan semakin lama akan semakin kaya, kita saja yang malas menjelajah kekayaan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia bukan untuk diakui keesaannya−sebagaimana tanah air dan bangsa di Sumpah Pemuda, melainkan dijunjung dan dipraktikkan dalam keseharian.
Udji Kayang Aditya Supriyanto penulis lepas, tinggal di Jakarta
(mmu/mmu)