Presiden Jokowi memberikan teguran keras kepada BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan. Teguran disampaikan Presiden di hadapan para pimpinan rumah sakit saat membuka Kongres Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) di Jakarta. Hal tersebut kemudian memunculkan opini-opini di tengah masyarakat terkait kompleksnya permasalahan defisit BPJS Kesehatan yang hingga saat ini belum terpecahkan solusinya.
Dalam teguran tersebut, Presiden Jokowi menyinggung soal pembayaran utang rumah sakit dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yang seharunya urusan tersebut tidak sampai mengemuka sampai di tingkat presiden. Pernyataan tersebut kemudian ditanggapi BPJS Kesehatan sebagai hal yang wajar dan bentuk perhatian serta kepedulian Presiden terhadap BPJS Kesehatan agar jajaran Direksi BPJS Kesehatan dapat bekerja lebih keras lagi.
Begitupun dari Kementerian Kesehatan, menanggapi positif teguran Presiden tersebut dan berkomentar bahwa memang sudah menjadi tugas pemerintah untuk menjamin keberlangsungan program JKN. Kementerian Kesehatan dapat membantu dengan cara menekan angka penyakit melalui promosi hidup sehat. Berbagai pemeriksaan gratis juga digalakkan agar masyarakat lebih sadar akan pentingnya menjaga kesehatan. Harapannya, dengan masyarakat yang lebih sehat angka beban penyakit yang harus ditanggung BPJS Kesehatan juga akan berkurang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagaimana diketahui bahwa relasi antara BPJS Kesehatan dan Presiden sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Pada Pasal 7 ayat 2 disebutkan bahwa BPJS bertanggung jawab kepada Presiden. Hal tersebut dapat dipahami bahwa teguran yang dilakukan Presiden menjadi salah satu bentuk tindakan untuk menggerakkan jajaran di tingkat bawahnya untuk bergerak lebih cepat, meningkatkan koordinasi dengan semua pemangku kepentingan, khususnya dengan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Keuangan.
Pilihan Kebijakan
Isu terkait defisit BPJS Kesehatan selalu menjadi perbincangan yang menarik. Pemerintah sendiri telah memutuskan untuk memberikan suntikan dana kepada BPJS Kesehatan sebesar Rp 4,9 tiriliun, meskipun besaran tersebut dinilai masih kurang karena sebenarnya kebutuhan untuk menutupi defisit sebesar Rp 7,05 triliun. Opsi tersebut sebagai solusi sementara karena sebelumnya pemerintah telah memutuskan untuk tidak menaikkan iuran dengan pertimbangan bahwa kondisi masyarakat masih dinilai berat, sehingga opsi terbaik yang dapat diambil adalah dengan melakukan suntikan dana.
Isu terkait defisit BPJS Kesehatan selalu menjadi perbincangan yang menarik. Pemerintah sendiri telah memutuskan untuk memberikan suntikan dana kepada BPJS Kesehatan sebesar Rp 4,9 tiriliun, meskipun besaran tersebut dinilai masih kurang karena sebenarnya kebutuhan untuk menutupi defisit sebesar Rp 7,05 triliun. Opsi tersebut sebagai solusi sementara karena sebelumnya pemerintah telah memutuskan untuk tidak menaikkan iuran dengan pertimbangan bahwa kondisi masyarakat masih dinilai berat, sehingga opsi terbaik yang dapat diambil adalah dengan melakukan suntikan dana.
Meskipun demikian, opsi untuk menyesuaikan iuran sebenarnya masih sangat dimungkinkan. Sesuai peraturan perundang-undangan, bahwa maksimal dalam kurun 2 (dua) tahun iuran Program Jaminan Kesehatan dievaluasi. Hal ini diperkuat dengan dukungan dari Kementerian Kesehatan melalui pernyataan Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan yang menyatakan bahwa kenaikan iuran akan meningkatkan manfaat pelayanan kesehatan dan akan berdampak langsung terhadap kualitas layanan kesehatan. Namun, untuk saat ini alternatif solusi tersebut masih menjadi pertimbangan pemerintah dan dinilai cukup dilematis, apalagi saat ini merupakan tahun politik yang membuat keputusan penyesuaian iuran itu dianggap terlalu berat.
Opsi lain yang juga mengemuka adalah terkait dengan pemanfaatan penerimaan rokok untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan. Gambaran sederhananya, penerimaan dari rokok terdiri dari cukai hasil tembakau dan pajak rokok, dari pungutan cukai hasil tembakau 2 persennya diserahkan kepada provinsi yang penggunaannya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai.
Kemudian dari pajak rokok, sebesar minimal 50 persen penggunaannya digunakan untuk mendanai program daerah dan peningkatan layanan kesehatan sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pada tahap implementasinya, masih banyak kendala dalam pemanfaatan dana bagi hasil cukai hasil tembakau dan pajak rokok di daerah. Berangkat dari hal tersebut, kemudian menjadikan opsi ini untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan dinilai dapat lebih mengoptimalkan pemanfaatan penerimaan rokok.
Permasalahan yang muncul kemudian adalah bahwa pemanfaatan penerimaan rokok ini dinilai tidak berimbang karena prevalensi penyakit berbahaya yang membebani BPJS Kesehatan tidak hanya disebabkan oleh rokok, melainkan juga disebabkan oleh konsumsi lain yang juga menyebabkan penyakit seperti diabetes dan jantung. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa sebenarnya pemerintah bisa saja memperoleh pembiayaan dari sumber lain yang lebih beragam seperti misalnya dengan melakukan ekstensifikasi objek cukai, sehingga nantinya dalam jangka panjang tidak bergantung pada penerimaan rokok saja.
Langkah Strategis
Terlepas dari pilihan-pilihan sumber pembiayaan untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan, pemerintah sudah seharusnya berpikir lebih ke arah jangka panjang. Kebijakan-kebijakan yang diambil saat ini dinilai sebagai kebijakan jangka pendek yang sifatnya hanya sementara dan selalu berdampak pada munculnya reaksi negatif dari masyarakat. Kebijakan-kebijakan yang dipilih masih berkutat pada isu-isu kenaikan iuran, pengurangan manfaat, hingga ujung-ujungnya adalah dengan mengalokasikan dana tambahan dari APBN.
Terlepas dari pilihan-pilihan sumber pembiayaan untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan, pemerintah sudah seharusnya berpikir lebih ke arah jangka panjang. Kebijakan-kebijakan yang diambil saat ini dinilai sebagai kebijakan jangka pendek yang sifatnya hanya sementara dan selalu berdampak pada munculnya reaksi negatif dari masyarakat. Kebijakan-kebijakan yang dipilih masih berkutat pada isu-isu kenaikan iuran, pengurangan manfaat, hingga ujung-ujungnya adalah dengan mengalokasikan dana tambahan dari APBN.
Penanganan masalah dari sisi hulu menjadi penting untuk dipertimbangkan daripada selalu berfokus pada penanganan di sisi hilirnya, seperti bagaimana mengurangi angka kesakitan pada penyakit-penyakit yang menyebabkan pembiayaan kesehatan menjadi sangat besar. Memprioritaskan tindakan promotif dan preventif kesehatan daripada tindakan kuratif dan rehabilitatif juga perlu dipertimbangkan. Selain itu, harus ada kesadaran bersama bahwa permasalahan ini bukanlah permasalahan satu sektor saja (kesehatan) melainkan permasalahan lintas sektor. Sebagai contoh, bagaimana meningkatkan tingkat kepatuhan masyarakat dalam membayar iuran?
Dari pertanyaan tersebut kemudian akan muncul pemikiran lain terkait bagaimana cara meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat sehingga ketika ada kebijakan pemerintah untuk menaikkan iuran yang ideal sesuai dengan hasil analisis perhitungannya, masyarakat tidak akan "kaget".
Sudah saatnya pemerintah memasukkan permasalahan nasional ini dalam agenda kebijakan untuk kemudian menjadikannya sebagai prioritas utama untuk diselesaikan. Bersama para pemangku kepentingan dan melibatkan partisipasi masyarakat, menyusun langkah-langkah strategis yang bersifat jangka panjang menuju sistem pembiayaan kesehatan yang berkelanjutan, sehingga program JKN melalui BPJS Kesehatan akan dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat tanpa mengorbankan masyarakat dan pihak-pihak tertentu.Septa Adi Prasetya mahasiswa Magister Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, ASN di Kementerian Kesehatan
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini