Hari ini, kita merayakan Hari Santri. Terpilihnya tanggal 22 Oktober menjadi tonggak bukti keterlibatan aktif kaum santri dengan panji-panji Resolusi Jihadnya dalam mempertahankan NKRI. Berbekal kesadaran eksistensialnya, santri tak pernah menimbang untung-rugi dalam mendarmabaktikan dirinya demi bangsa dan negara. Pengorbanan berbalur keikhlasan inilah yang menjadikannya sebagai avant-garde benteng terakhir bangsa ini.
Pada tahun ini, Kementerian Agama mengusung tema Bersama Santri Damailah Negeri. Di tengah pekatnya gulita hoaks, likuifaksi moralitas, dan lolongan keserakahan yang mewabah di tahun politik diharapkan santri dapat menjadi jangkar nilai, kompas penentu arah, dan suar harapan bangsa dalam kehampaan budaya (cultural vacuum) yang ditawarkan narasi modernitas.
Menurut data Kemenag (2016), terdapat 28.194 pondok pesantren yang menampung 4.290.626 santri. Bisa dibayangkan betapa dahsyat gaung moderasinya bila jumlah pesantren sebanyak itu menjadi inkubator persemaian dan pusat penyerbukan benih-benih kedamaian. Sebab, ditengarai diaspora santri di seantero Nusantara dapat membentuk lumbung-lumbung peradaban dengan tetap berpegang teguh pada narasi Islam rahmah.
Bagaimanapun, harus diakui bahwa kurikulum pesantren telah berhasil mensintesiskan nilai-nilai kebangsaan dengan nilai-nilai luhur agama. Terbukti, tak satu pun pelaku teror yang tercatat sebagai jebolan pesantren salaf. Nilai-nilai keislaman dijadikan asupan energi dan bahan bakar teologis dalam kobaran api nasionalisme. Tidak ada kontradiksi antara pemahaman agama dengan wawasan kebangsaan, yang ada justru terumuskan melebur dalam langgam harmonis-dialektis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, pondok pesantren secara konsisten menggawangi kedaulatan moral dan supremasi nurani, tidak saja pada tataran sikap dan pikiran, lebih dari itu merasuk hingga ke relung jiwa generasi penerus bangsa. Yang tak kalah penting, pesantren berandil besar dalam menjaga daya tahan dan kekebalan jati diri bangsa, yaitu sebagai filter sekaligus sauh moral dengan merawat nilai-nilai dasar kebangsaan agar tak tersubstitusi dengan nilai-nilai asing sebagai imbas dari arus globalisasi.
Memang, stigma santri pada masa Orde Baru sempat tertekuk oleh citra sebagai kumpulan kaum sarungan yang terlupakan dan terbelakang. Bahkan Horikoshi (1999) mencatat kesan bahwa masyarakat pesantren pada Era Orba malah cenderung menerapkan politik isolasi diri.
Padahal menjadi santri sungguh merupakan atribut mulia sebab segala aktivitas yang dilakukan justru merupakan warisan agung peradaban para Nabi. Sebagai kader ulama, ia diharapkan mampu menjadi exemplary center, insinyur bagi jiwa umatnya.
Tak terhitung tokoh-tokoh bangsa yang lahir dari rahim pesantren. Dalam konteks politik kebangsaan, sebut saja misalnya K.H. Wahid Hasyim, K.H. Idham Chalid, K.H. Saifuddin Zuhri, K.H. Mustofa Bisri (Gus Mus), K.H. Hasyim Muzadi, dan klimaksnya K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menjadi Presiden (1999-2001). Untuk itu, perlu upaya mereposisi peran santri agar tidak menjerembabkan diri pada wilayah periferi, melainkan tampil sebagai Sang Begawan yang diharapkan menjadi pijar umat dalam upaya membangun karakter bangsa.
Menarik dicermati, dalam catatan Gus Mus, pemaknaan santri bukan dibatasi pada orang yang mondok di pesantren saja. Lebih luas dari itu, barangsiapa yang berakhlak seperti santri maka ia layak disebut santri. Yang disebut santri, dengan akhlak sebagai nukleusnya, merupakan pembawa kosmos nilai-nilai yang digunakan sebagai pedoman dan penuntun utama perjalanan hidup umat manusia.
Predikat santri menjadi identitas kultural yang dikonstruksi dengan menempatkan akhlak sebagai komitmen sukma. Narasi spiritualitasnya selalu menawarkan jawaban terhadap bagaimana seharusnya hidup. Nalar nasionalismenya tak pernah terkungkung oleh pikiran-pikiran sempit nan pragmatis yang kerdil. Hal ini telah terbukti melalui jiwa korsa kemandiriannya, ia tak sudi hanya menjadi alas kaki kekuasaan.
Jangan sampai lulusan pesantren terkesan dipandang sebelah mata oleh masyarakat hingga tersisihkan dalam pergaulan sosial. Untuk itu diperlukan proses transformasi yang mensenyawakan SDM santri dengan kebutuhan nasional pada era milenial, yang sebetulnya belum tentu mereka kalah dalam skill dan profesionalitasnya dibandingkan lulusan pendidikan formal.
Pun, Hari Santri selayaknya dijadikan refleksi agar kita tidak terjebak pada gelegar dan selebrasi glorifikasi masa lampau. Namun, lebih menghunus pada substansinya, yaitu menjadikan spirit Resolusi Jihad sebagai kapital sejarah dengan berperan aktif dalam menyelesaikan berbagai carut marut persoalan bangsa.
Oleh karena itu, negara harus proaktif dalam ikhtiar pengembangan SDM santri sebagai pembawa suluh peradaban Islam Nusantara. Hadirnya RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang telah ditetapkan dalam Rapat Paripurna sebagai RUU inisiatif DPR pada (16/10) lalu membawa angin segar bagi dunia pesantren. Diharapkan melalui RUU ini program-program madrasah dan pesantren bisa diakomodasi dalam struktur APBN lewat plotting anggaran pendidikan sebesar 20 persen sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Dengan demikian postur pesantren akan semakin kokoh dalam upaya pengembangan kelembagaannya.
Namun, tentunya semua itu membutuhkan roadmap sebagai pemandu keseluruhan program yang berorientasi pada kemaslahatan santri. Langkah ini amat penting agar santri tak diposisikan --meminjam istilah Cak Nur-- sebagai the corner stone of the house neglected by the builders. Semoga!
Mohammad Farid Fad pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Muta'allimin Kendal, alumni Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang, dosen FITK UIN Walisongo Semarang